Judul Buku : Konferensi Musim Sejagat
Penulis : Setyaningsih & Na’imatur Rafiqoh
Penerbit : Bilik Literasi Cilik! & Kampungnesia
Tebal Buku : 48 halaman
Cetakan I : 2018
ISBN : 978-602-531-214-4
Sungai merupakan salah satu ekosistem yang memiliki peran penting dalam ekologi lingkungan. Namun, sungai-sungai di desa maupun di kota mengalami nasib yang memprihatinkan.
Sungai-sungai mulai tercemar sampah domestik, limbah pabrik, hingga tak mampu lagi menjadi sarana untuk mengenalkan lingkungan kepada anak. Dari cerita di buku Konferensi Musim Sejagat (2018) garapan Setyaningsih & Nai’matur Rofiqoh, dapat menjadi rujukan bahwa sungai telah mengalami kerusakan dan tercemar atas ulah manusia.
Buku setebal 48 halaman tersebut memuat 6 cerita anak. Cerita itu banyak menyoroti persoalan sosial, terutama masalah sampah. Para tokoh dalam cerita anak mengalami kesedihan, menahan kemarahan, lantaran sering banyaknya bencana alam atas ulah manusia.
Seperti kisah cerita “Kota Pepe,” kota terbesar di antara kota sepanjang sungai. Sungai yang berpenduduk ribuan makhluk hidup itu, mengalami kerusakan akibat banjir bandang di musim penghujan.
Berbagai keluarga ikan wader, cetul, sepat, gabus, lele, sapu-sapu, kepiting dan keong terpaksa mengungsi ketika banjir menerjang rumah mereka. Ada yang berpindah tempat, ada yang masih bertahan tinggal di kota Pepe.
Nai’matur selaku penulis cerita, tidak hanya sekedar menarasikan nama makhluk hidup di air, tapi juga berkeinginan mengenalkan sungai masih terdapat ikan-ikan yang hampir punah akibat sampah yang berserakan.
Selain mempersoalkan sampah, Nai’matur juga mengisahkan tradisi-sosial di kota Pepe. Di kota tersebut memiliki kebudayaan-kebudayaan lokal seperti masyarakat pada umumnya. Mulai dari kehadiran kurikulum sekolah, kehadiran toko buku, dan pekan olahraga tahunan, menjadi kebudayaan di lingkungan sungai kota Pepe. Kebudayaan masyarakat kota Pepe tersebut dapat sirna seketika tatkala musim penghujan telah tiba.
“Saat musim hujan, arus mendatangkan bencana pada kota. Ia membawa serta batang pohon dan ranting-ranting, kasur raksasa, botol raksasa, begitu banyak benda asing, menimbun sampah di semua sudut kota. Saat kemarau tiba, sampah-sampah itu tak juga hanyut karena arus sungai semakin lambat. Bahkan, beberapa kota dikabarkan terjebak di Arus Nol. Sungai tak lagi berarus alias menjadi genangan karena gerbang kota tetutup gunung sampah. Anak-anak di sekolah kini mempelajari batas kota di Peta Kota-Kota Sungai dengan menghafal beberapa nama Gunung Sampah (hlm. 13).”
Dari permasalahan sungai, Nai’matur ingin memberikan wacana pada pembaca terutama anak untuk ikut memikirkan nasib sungai, sampah, dan lingkungan. Gagasan itu menjadi penting untuk diberitahukan tatkala sungai terlanjur tercemar berbagai limbah domestik maupun pabrik.
Mafhum, sungai yang dahulu menjadi tempat bermain anak yang paling digemari, kini hampir tidak ditemukan lagi. Orang-orang mulai tidak memikirkan sungai sebagai tempat pendidikan, namun menjadikan tempat pembuangan sampah dari hasil kebutuhan domestik.
Dahulu, sungai menjadi tempat yang akrab untuk anak supaya memahami pendidikan ekologi, ekosistem, air, tanah, binatang dan makhluk hidup lainnya. Sungai menjadi area bermain dan sarana mengenalkan pendidikan alam sewaktu masih bocah. Kita bisa melihat kenangan sungai di puisi Joko Punirbo.
Di buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Joko Punirbo menulis puisi tentang sungai: Ibu membekaliku sebuah sungai/ yang jernih dan berkecipak-kecipak airnya/ Sungai itu ditanam di telapak tanganku/ mimpi ibu terbawa dalam arusnya/ Bila aku tidur, sungaiku berkelana/menyusuri garis-garis nasibku/ Gemercik di tengah hutan/ Gemuruh di malam jauh/ Bila rindu meluap dan aku banjir,/ jari-jari tanganku mengucurkan air.
Narasi “Sungai” oleh Joko Pinurbo mengingatkan masa lalu saat bocah. Ibunya banyak mengajarkan kepada Jokpin tentang filosofi sungai. Sungai tidak hanya sekedar tempat untuk dijaga, dirawat, dan dilestarikan, tapi juga dapat memberi nilai-nilai sosial di kehidupannya. Mulai dari tidur, mimpi, dan nasib menjadi sangat berkaitan dengan narasi sungai yang pernah diajarkan oleh ibuknya.
Ingatan nasihat itu selalu Jokpin ingat pada sungai. Ibunya mengenalkan sungai melalui nilai empiris, realitas dan bahasa puitik sampai membuat Jokpin memahami pentingnya sungai bagi kehidupan alam.
Kehadiran cerita sungai semasa menjadi bocah juga pernah dialami oleh Daoed Joesoef. Di novel berjudul Emak (2006), Daoed mengisahkan biografi emak bersama keluarga. Di sebuah cerita yang berlatar hutan, emak dan Daoed sering berkunjung untuk mencari kayu, tanaman, sayuran yang dapat dijadikan makanan sehari-hari.
Di hutan, mereka senantiasa mengunjungi sungai yang memiliki air jernih, banyak makhluk hidup: ikan dan tetumbuhan. Di sungai yang ada di hutan itu, mereka sering kali melepas penak usai mencari bahan makanan. Sungai menjadi tempat penting untuk beristirahat.
Emak dan Daoed tidak sekadar istirahat. Dari sungai, emak dapat memberikan banyak petuah kepada sang anak. Petuah itu memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan pentingnya mencari ilmu pengetahuan. Di sungai, emak sering bercerita tentang nilai-estetika air. Emak menganalogikan air dapat menembus samudra ilmu ketika kita menyusuri arus dengan cara terus belajar.
Daoed mengingat dan mencatat petuah emak tentang sungai dan pentingnya menuntut ilmu. Petuah emak teringat dalam novel Emak. Ia telah menuntaskan tugas sebagai seorang cendikiawan yang mengabdikan diri terhadap ilmu pengetahuan. Sungai memang memiliki banyak kenangan, tempat bermain, dan mengajarkan pendidikan alam pada anak.
Kini, sungai-sungai malah menjadi tempat pembuangan sampah domestik dan dari limbah pabrik. Kehadiran buku Konferensi Musim Sejagat (2018) mengingatkan pada pembaca terutama anak, orang dewasa, dan masyarakat Indonesia.
Tercemarnya sungai dari limbah pabrik maupun sampah domestik menandakan orang-orang tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan dan alam. Sampah-sampah terlanjur berserakan di sungai yang ada di desa dan kota, cukup dibiarkan saja. Haduh!