KH Ahmad Asrori al-Ishaqi adalah sosok panutan umat yang kharismatik. Tutur katanya begitu lembut, mampu menerobos relung-relung hati para pendengarnya. Hingga kini, rekaman pengajiannya masih sering diputar di radio-radio.
Beliau meninggalkan kesan yang mendalam kepada murid-muridnya, yang biasa disebut Jamaah al-Khidmah. Puluhan ribu orang berbondong-bondong datang setiap digelar Haul Akbar di Pesantren al-Salafi al-Fithrah Surabaya. Mereka mengenakan pakaian serba putih.
Saking banyaknya jamaah KH Ahmad Asrori al-Ishaqi dengan pakaian serba putih, Jl. Kedinding Lor No. 99 yang merupakan lokasi pesantren dijuluki sebagai kota Makkah kedua.
Ulama kharismatik tersebut dilahirkan pada 17 Agustus 1950 di lingkungan Pesantren Darul Ubudiyyah Raudhatul Muta’alimin Jatipurwo, Jawa Timur. Semasa hidupnya Kiai Asrori dikenal sebagai sosok ulama kharismatik yang mempunyai pengaruh besar di zamannya.
Ketinggian derajat Kiai Asrori telah diakui oleh berbagai ulama di segala penjuru dunia. Salah satunya ialah Habib Umar bin Hafiz Yaman yang pernah mengatakan kepada salah satu muridnya (Habib Jindan bin Novel), “Wahai Jindan, ketahuilah bahwa ulama Indonesia yang paling dekat dengan Rasulullah adalah KH Ahmad Asrori al-Ishaqi.”
Selain menduduki maqom yang tinggi di sisi Allah, Kiai Asrori juga ditakdirkan oleh-Nya untuk mewarisi jubah kemursyidan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Beliau meneruskan ayahandanya, KH Muhammad Ustman al-Ishaqi.
Dalam hal ini Kiai Asrori telah sukses memimpin umat di masanya. Namun pada akhirnya takdir berkata lain, yakni setelah berjuang dua puluh tahunan lebih akhirnya Allah Ta’ala memanggilnya pada pada 18 Agustus 2009. KH Asrori dimakamkan di lingkungan pesantren peninggalannya.
Selain menjadi pemimpin umat, beliau juga dikenal sebagai sosok sufi yang produktif. Bukti atas hal tersebut adalah banyaknya karya tulis yang telah beliau tinggalkan.
Berikut beberapa karya-karya Kiai Asrori al-Ishaqi: al-Risalah al-Syafi’iyah, Basyairul Ikhwan, al-Munthakhobat fi Ma Huwa Manaqib, Maulidul Rasul, Shalawat Husainiyyah, al-Anwar al-Khususiyah al-Khatimah.
Kemudian Bahjat al-Washah, al-Nafahat, al-Mir’atul Jinan, al-Mad Kalimat Laa-Ilaha Illa Allah, al-Wadaif fi al-Yaum wa al-Lail dan yang paling monumental ialah al-Munthakhobat fi al-Rabitat al-Qolbiyah wa Silat al-Ruhiyah.
Dalam mengarungi bahtera kehidupan, manusia sering berbuat salah dan dosa. Kata Kiai Asrori, walau bagaimanapun keadaannya; meski seseorang itu banyak salahnya, banyak dosanya, selama ia masih berstatus Muslim, ia tetap bagian dari umat Nabi Muhammad Saw yang wajib dimuliakan.
Bahkan Rasulullah pun tak dapat memungkiri akan hal tersebut. Keterangan ini penulis dapatkan dalam ceramah Kiai Asrori al-Ishaqi yang bertemakan “Apa Itu Khususi”. Sehubungan dengan hal ini, dalam berbagai literatur turast juga terdapat keterangan bahwa Rasulullah itu sangat menyayangi umatnya.
Di antara buktinya, di kala menjelang waktu sepertiga malam pipi Rasulullah selalu basah akan air mata, menangisi umatnya. Lisan beliau juga selalu memanjatkan doa-doa kepada-Nya untuk kebaikan umatnya kelak sepeninggalnya.
Kiai Asrori al-Ishaqi memberikan sebuah nasihat kepada orang yang telah melakukan banyak dosa untuk tidak meninggalkan membaca shalawat kepada Rasulullah Saw.
Lantas bagi seseorang yang banyak dosa, lebih utama membaca shalawat atau membaca istighfar (mohon ampun) kepada Allah?
Pertanyaan tersebut bisa saja muncul. Sebab secara logika orang yang banyak dosa itu harusnya memperbanyak memohon ampun (membaca istigfar kepada Allah) bukan malah membaca shalawat kepada Rasulullah Saw.
Dalam hal ini beliau menganjurkan bagi seseorang yang banyak dosanya seharunya memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Karena bacaan shalawat yang kita tujukan kepada Nabi Agung Muhammad Saw dengan tujuan agar memperoleh ampunan dari-Nya adalah media yang tepat ketimbang membaca istighfar.
Anjuran beliau terkait memperbanyak membaca shalawat bagi pendosa bukanlah sembarang jalan. Demikian ini dikhawatirkan bagi pendosa ketika membaca istighfar mengulangi lagi dosanya. Jika demikian, maka seseorang tersebut malah bisa jatuh ke istihza’ (perbuatan melecehkan) kepada Allah.
Wejangan Kiai Asrori al-Ishaqi di atas senada dengan pendapat Imam al-Ramli. Dalam fatawa al-Ramli terdapat redaksi yang berbunyi:
“Imam al-Ramli pernah ditanya, manakah yang lebih utama, dari menyibukkan diri beristighfar atau bershalawat pada Baginda Nabi Muhammad SAW? Ataukah dibedakan antara orang yang keta’atannya lebih banyak itu lebih utama membaca bershalawat dan bagi orang pendosa (banyak maksiatnya) lebih utama membaca istighfar?
Mendegar pertanyaan tersebut Imam al-Ramli menjawab; bahwa menyibukkan dengan membaca shalawat kepada Rasulullah lebih utama dari pada menyibukkan membaca beristighfar secara muthlaq. Yakni tanpa membedakan, baik itu orang yang banyak taatnya maupun maksiatnya.” (al-Fatawa al-Ramli, vol.6 h. 156)
Sebagai pungkasan, penting untuk diketahui bahwa selain tekun membaca shalawat juga tetap dianjurkan membaca istighfar. Namun dengan catatan, bahwa dalam membaca istighfar jangan sampai berhenti kepada istigfarnya saja.
Harus menyandarkan bacaan istighfar kepada Rasulullah saw. dengan membersitkan di dalam hati untuk minta dukungan dari Rasulullah agar dosa yang telah dikerjakan diampuni oleh Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bis shawab.