IQRA.ID, Ngaji Gus Baha – Setiap orang mempunyai kriteria masing-masing dalam memilih pasangan hidup. Dengan menentukan kriteria, seseorang berharap pasangannya dapat saling mendukung dalam beraktivitas, entah itu soal karier, bisnis, pendidikan dan lain sebagainya.
Begitu ulama atau orang ahli ilmu, tentu saja juga mempunyai kriteria tertentu ketika hendak melepas masa lajangnya untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu majelis pengajian kitab pernah mengisahkan tentang kriteria calon istri yang diidam-idamkan oleh Imam Syafi’i, salah satu dari empat Imam Mujtahid. Setiap kriteria yang dipilih, tentu saja ada maksud dan tujuan tersendiri. Sehingga siapa pun boleh setuju atau tidak setuju dengan kriteria pasangan dari orang lain.
Berikut ini penjelasan dari Gus Baha:
Imam Syafi’i itu tidak berani menikahi anak orang besar. Dalam konteks Indonesia, mungkin ibaratnya ia tidak berani menikahi seorang “Ning”, yakni putri kiai. Alasannya, gara-gara ia takut kalau nanti istrinya banyak menuntut.
Imam Syafi’i saat itu dikenal sebagai sosok laki-laki yang ganteng, terhormat, ahli ilmu, dan terkenal pula. Suatu waktu, ia berencana ingin menikah, lalu mengumumkan ke publik tentang kriteria calon istri idamannya.
“Siapa yang mau menjadi istriku, syaratnya ada tiga (3), yakni harus legowo tidak dikumpuli, dan siap tidak kuurus, karena aku sibuk mengajar.”
“Syarat ketiga, harus siap membuatkan makanan saat aku mengajar murid-murid.”
Kala itu Imam Syafi’i dikenal sosok ulama suka yang memberi jajan kepada para muridnya saat mengaji. Jajanan yang disuguhkan biasanya berupa halawiyat, yaitu semacam manisan.
Walhasil, ada seorang perempuan dari keturunan orang biasa yang baik dan sholeh, yang siap dinikahinya tanpa syarat apapun. Setelah menikah hingga mereka berdua menua, setiap ada murid yang mengaji mesti selalu dibuatkan jajanan oleh istri Imam Syafi’i tersebut. Begitu terus dilakukan sampai mereka berdua wafat.
Gus Baha menambahkan, ulama zaman dahulu saking cintanya kepada ilmu, sampai-sampai mereka mencari kriteria istri yang bisa menopang ilmunya.
Akan tetapi, sekarang tidak. Makanya ulama pada taqabballahu minna waminkum taqabbal ya karim. Banyak orang alim yang ‘tuntas’ gara-gara satu hal tadi. (M. Zidni Nafi’)