KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau sering disapa Gus Baha saat mengisi ngaji tafsir Surat Al-Isra’ bersama para santri menerangkan tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turun) ayat, sejarah Isra’ dan Mi’raj oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Di antara pembahasan dalam ngaji ini yang diterangkan Gus Baha yakni, perbedaan pendapat tentang Nabi Muhammad saat Isra’ dan Mi’raj apakah dengan jasad atau ruh saja? Berikut penjelasan lengkap dari Gus Baha:

Peristiwa Isra’, selain sebagai ‘pelipur lara’ bagi Nabi yang ditinggal wafat oleh sang istri Khadijah dan paman Abu Thalib, juga sebagai petualangan intelektual (ilmiah), di mana Nabi Muhammad diperkenalkan oleh Allah tentang watak, pilihan hidup, dan tradisi para nabi sebelumnya.

Sehingga dalam satu riwayat hadis shahih menerangkan bahwa Nabi pada saat menambatkan tali Buraq (kendaraan Nabi saat Isra’), pada batu yang tempatnya sama persis dengan digunakan para nabi-nabi terdahulu yang menambatkan khimar (keledai) mereka.

Tradisi mengikuti nabi-nabi sebelumnya itu dimulai dari hal-hal sepele. Begitu pula saat memulai Mi’raj (naik), tempat naiknya Rasulullah ke langit juga sama yang dibuat naik para nabi yang telah lampau.

Adapun berkaitan dengan aqidah. Menurut Ahlussunnah, orang yang mengingkari Isra’ itu termasuk kafir, karena sudah disebut dalam Al-Qur’an.

Di Indonesia, sudah masyhur terkenal istilah Isra’ dan Mi’raj. Sebenarnya yang disepati adalah Isra’. Sedangkan soal Mi’raj, menurut Ahlussunnah memang terjadi, tetapi terjadi perbedaan pendapat, apakah Nabi Mi’raj dengan jasad atau ruh saja?

Hal ini kemudian menimbulkan beberapa firqah (sekte). Ada yang meyakini ruh dan jasad, ada pula yang meyakini hanya ruh.

Kalau berdasarkan buku-buku panduan Ahlussunnah yang disahkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) saat Musyawarah Besar di Jombang atau kitab Al-Kawakibu al-Lama’ah karya Kiai Fadlol Senori, Tuban, kita diperintah untuk mengikuti pendapat yang mengatakan Nabi Isra’ dengan jasad dan ruhnya.

Tenyata, salah satu orang yang mengatakan Nabi Mi’raj hanya ruhnya saja adalah Sayyidah ‘Aisyah (istri Nabi). Hanya saja itu, perbedaan pendapat ini sudah berkembang di luar firqah melainkan masuk dalam masalah sains atau ilmu pengetahuan.

Kalau dalam sudut pandang pengetahuan tentu menimbulkan masalah. Kalau iman diukur dengan akal kadang tidak nyambung. Misal, “Orang kalau dengan kecepatan sekian, maka pasti akan hancur”.

Kalau agama selalu diukur dengan akal ya repot. Seperti halnya masalah orang sudah dikubur, menjadi tulang belulang, lalu bangkit dari kubur. Akhirnya, semua masalah (agama) dipersoalkan, bukan hanya Mi’raj saja. (M. Zidni Nafi’)

Leave a Response