Pada seri tulisan pertama sudah dijelaskan mengenai pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) berkenaan dengan sejarah dan dinamika pondok pesantren pra dan pasca Indonesia merdeka. Selanjutnya, ia juga mempunyai pemikiran tersendiri tentang makna “santri, kiai, dan ngaji”. Pemahaman terhadap trilogi ini penting sebab sebagai ‘gerbang’ awal untuk lebih dalam lagi menyelami pemikiran Cak Nur tentang pesantren.

Istilah “santri” menurut Nurcholish Madjid sebagaimana dijelaskan dalam Bilik-Bilik Pesantren (1997: 28-29) digunakan untuk menunjuk pada golongan orang-orang Islam di Jawa. Golongan ini memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya. Sedangkan untuk orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum “abangan”.

Mengenai asal-usul istilah atau perkataan “santri”, Cak Nur membagi ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa dijadikan acuan.

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa kata santri itu berasal dari perkataan “sastri”. Kata ini berasal dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Pada zaman dahulu terutama pada masa permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas literary bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab.

Dari pendapat di atas Cak Nur mengasumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Dengan kata lain, paling tidak seorang santri itu bisa membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik”, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian.

Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih bisa dilihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak sekental dahulu. Misalnya, seseorang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan. Lantas, dia akan mengikuti orang lain yang sudah ahli. Dalam hal ini biasanya dia disebut “dalang cantrik”, meskipun kadang-kadang juga dipanggil “dalang magang”.

Pola hubungan “guru-cantrik” itu kemudian diteruskan dalarn masa Islam. Pada proses evolusi, istilah “guru-cantrik” selanjutnya menjadi guru-santri. Perkataan “guru” masih dipakai secara luas sekali, sehingga untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan istilah “kiai”, untuk laki-laki, dan “nyai” untuk wanita.

Menurut Nurcholish Madjid, makna “kiai” sendiri agaknya berarti tua. Istilah ini merupakan pernyataan dari panggilan orang Jawa kepada kakeknya ‘yahi’, yang merupakan singkatan dari pada kiai, dan kepada nenek perempuannya ‘nyahi’. Hanya saja, di situ terkandung juga rasa pensucian pada orang yang lebih tua, sebagaimana kecenderungan itu umum di kalangan orang Jawa.

Dengan begitu, “kiai” tidak saja berarti “tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian “syeikh” dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti “sakral”, keramat, dan sakti. Tidak heran jika terdapat benda-benda yang dianggap keramat seperti keris pusaka, dan pusaka keraton disebut juga kiai.

Proses belajarnya santri kepada kiai atau guru itu sering juga sejajar dengan sesuatu kegiatan pertanian. Cak Nur berasumsi bahwa arti sesungguhnya dari perkataan “cantrik” adalah orang yang menumpang hidup atau dalam bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelum kemerdekaan, orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai sawah-ladang untuk ikut menjadi buruh tani adalah juga disebut santri.

Bagi Cak Nur, memang bukanlah soal kebetulan jika seorang kiai adalah juga seorang pemilik sawah yang cukup luas. Umumnya memang demikian. Dengan sendirinya biasanya mereka adalah juga seorang haji.

Dalam pandangan Cak Nur, kedudukan guru atau kiai sebagai seorang “haji” (Jawa: kaji) itu kiranya dapat menerangkan, mengapa kemudian proses belajar kepada seorang kiai disebut “ngaji”. “Ngaji” adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan kaji, yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan berbahasa Arab.

Pada abad-abad yang lalu, keadaan memaksa orang-orang yang menunaikan ibadah haji untuk tinggal cukup lama di tanah suci. Hal ini kemudian memberi kesempatan pada mereka untuk belajar agama di Makkah. Dalam benak mereka, kelak ilmu yang diperoleh bisa diajarkan kepada orang lain ketika pulang.

Dalam perspektif lain, perkataan “ngaji” itu berasal sebagai bentuk kata kerja aktif dari “aji” yang berarti terhormat, mahal atau kadang-kadang sakti. Keterkaitan ini bisa dibuktikan dari adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi “ngaji” dalam hal ini berarti mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri sendiri aji, terhormat, atau berharga.

Terlepas dari apa pun asal kata-kata “ngaji”, “santri”, dan “kiai” ini, ngaji adalah memang merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada seorang kiai. Posisi kiai selain sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan haji karena kemampuan ekonominya.

Pada mulanya seorang santri atau beberapa orang dapat ditampung hidupnya di rumah seorang kiai. Mereka itu bekerja untuk kiai di sawah dan di ladang atau menggembalakan ternaknya. Oleh karenanya, kehidupan mereka ditanggung oleh kiai lantaran ikut membantu bekerja. Tetapi, lama kelamaan tanggungan tersebut tidak lagi terpikul oleh kiai. Selanjutnya, mulailah para santri mendirikan bangunan-bangunan kecil tempat mereka tinggal.

Dalam bahasa Jawa (juga Indonesia), bangunan-bangunan kecil tempat tinggal mereka yang semula sementara itu kemudian disebut “pondok”. Oleh sebab itu, kesini-kesini perkataan pesantren juga sering disebut pondok. Tidak heran apabila ada orang yang pergi ke pesantren dikatakan juga pergi ke pondok atau “mondok”, bagi orang yang ingin menjadi santri (Madjid, 1997: 29-30).

Leave a Response