Nurcholish Madjid adalah salah satu cendekiawan muslim yang punya pengaruh besar dalam pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Semasa hidupnya, ia sempat dituduh dengan beragam label oleh kalangan yang tak menyukai pemikirannya. Tak tanggung-tanggung, label disematkan mulai tokoh sesat, antek Barat sekuler, liberal, bahkan hingga label kafir.

Di balik sosoknya yang hebat dan kontroversial itu, Nurcholish Madjid punya gagasan tentang visi besar pesantren yang jarang dikaji.  Tokoh yang akrab disapa “Cak Nur” ini lahir pada 17 Maret 1939 dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur. Sebagaimana keterangan Budhy Munawar-Rachman (2013: xiv), Nurcholish Madjid berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi. Madjid kecil mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, juga Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang.

Kemudian saat SMP, ia melanjutkan pendidikan di Pesantren Darul `Ulum, Rejoso, Jombang. Tetapi, karena ia kecil berasal dari keluarga NU yang Masyumi, maka ia tidak betah di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini, sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu`allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di tempat inilah Cak Nur muda ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya bahasa Arab dan Inggris.

Pergulatan pendidikan Cak Nur muda di dunia pesantren kemudian berbuah gagasan besar dalam karya berjudul Bilik-Bilik Pesantren (1997). Pesantren menurut Nurcholish Madjid adalah sebagai wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).

Baginya, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga Pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

Lebih lanjut, seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, ataupun yang lain. Tetapi, mungkin namanya “universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya.

Dalam analisa Cak Nur, kemungkinan tersebut bisa ditarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri. Di sana hampir semua universitas terkenal cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.

Mungkin juga, seandainya negeri ini tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti kebanyakan pesantren sekarang ini. Melainkan, pesantren akan berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana. Bahkan jika tidak dijajah pula, sebenarnya sistem pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia yang merdeka untuk masa depan bangsa yang lebih “berkepribadian”.

Cak Nur menganalogikan sebuah pesantren di Indonesia (misalnya, Tebuireng) dengan sebuah kelanjutan “pesantren” di Amerika Serikat (misalnya “pesantren” yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston). Tebuireng menghasilkan apa yang bisa dilihat oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Dan “pesantren”-nya pendeta Harvard itu telah tumbuh menjadi sebuah universitas yang paling “prestigious” di Amerika. Hampir secara pasti memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan-gagasan mutakhir.

Demikian pula kaitannya dengan kekuasaan, Universitas Harvard memegang rekor dalam menghasilkan orang-orang besar yang menduduki kekuasaan tertinggi di Amerika Serikat. Tetapi di Indonesia, sebagaimana diketahui, peranan “Harvard” itu tidak dimainkan oleh Tebuireng, Tremas, ataupun Lasem, melainkan oleh suatu perguruan tinggi “umum” yang sedikit banyak merupakan kelanjutan lembaga masa penjajahan: UI, misalnya.

Dari analisa dan tinjauan singkat di atas, Nurcholish Madjid dalam Bilik-Bilik Pesantren menawarkan setidaknya dua visi pesantren dari sudut pandang internal maupun eksternal yang berkaitan dengan perkembangan serta kebutuhan zaman.

Pertama, pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Tetapi, mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa. Sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap santri merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanschauung Islam. Selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang Muslim sehari-hari.

Kedua, pesantren harus responsif dengan tuntutan-tuntutan hidup santrinya kelak dalam menghadapi perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali santri dengan kemampuan nyata dan praktis melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Di bagian ini pesantren harus tersedia jurusan-jurusan alternatif bagi santri sesuai dengan potensi dan bakat mereka.

Dalam pandangan Cak Nur, tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung: membicarakan tiga masalah pokok, yaitu Tuhan, manusia, dan alam, yang bersifat menyeluruh.

Selain itu, produk pesantren yang demikian itu diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap berbagai tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada, baik di Indonesia dan dunia.

Leave a Response