Beberapa waktu lalu sebuah akun gosip @lambeturah secara maraton mengunggah perseteruan antara Atalarik Syach dan Tsania Marwa. Setelah memutuskan untuk berpisah, mereka masih harus menjalani perang dingin akibat perebutan hak asuh anak di mana dalam tahap kasasi kasus tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Tsania Marwa sebagai pemilik hak asuh.
Atas dasar itulah pada tanggal 29 April 2021 Pengadilan Agama Cibinong melakukan eksekusi meskipun tidak berhasil. Tak lama kemudian, Atalarik Syach mengeluarkan surat terbuka yang pada intinya menyuarakan bahwa Tsania Marwa tetap tidak mendapatkan hak asuh anak karena telah melakukan tindakan Nusyuz.
Dalam persidangan kasus perceraian, nusyuz sering kali dijadikan dalih untuk menggugat pihak istri. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84 ayat 1 dan Pasal 83 ayat 1 dijelaskan bahwa seorang istri dianggap nusyuz jika tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kewajiban tersebut antara lain wajib taat kepada suami secara lahir batin, dan wajib menuruti perintah suami atau tidak membangkang.
Implikasi hukum dari penyimpangan tersebut sebagaimana tertera dalam pasal 80 ayat 7, pasal 84 ayat 2, dan pasal 152 KHI, antara lain kehilangan hak-hak istri secara penuh, ketiadaan nafkah iddah, dan kehilangan kemanfaatan hukum bagi perempuan. Namun sayangnya, KHI tidak mengatur bagaimana jika suami yang membangkang.
Artinya KHI hanya memberikan hukuman bagi istri yang dianggap tidak menjalankan kewajibannya namun tidak memberikan hukuman serupa pada suami yang tidak memenuhi tanggung jawabnya.
Lantas, apakah demikian konsep nusyuz yang berkeadilan sebagaimana yang disyariatkan dalam QS An-Nisa ayat 34?
Nyai Siti Rofiah, Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Salatiga dalam kegiatan Ngaji Intensive Ramadhan Mubadalah memberikan interpretasi dan makna nusyuz. Makna tersebut menggunakan perspektif mubadalah berdasarkan kitab Manbaus Sa’adah.
Menurutnya, nusyuz adalah tindakan negatif yang dilakukan oleh salah satu pasangan baik suami maupun istri sehingga mengakibatkan relasi yang tidak baik.
Dalam perspektif mubadalah, regulasi nusyuz sebagaimana tercantum dalam KHI tentunya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan gender. Memberikan hukuman karena ketidakcakapan istri, namun membiarkan ketidakcakapan yang dilakukan oleh pasangan lainnya.
Suami dan istri harus memiliki rasa saling menghormati berdasarkan asas kemanusiaan. Karena baik suami maupun istri dua-duanya adalah manusia yang diciptakan di muka bumi ini sebagai makhluk yang mulia. Di mana kemuliaan tersebut dilihat dari ketaqwaannya pada Tuhan, bukan karena jenis kelaminnya.
Kebolehan memukul pasangan yang nusyuz dalam QS An-Nisa ayat 34 juga memiliki beberapa batasan. Antara lain Ibnu Katsir menyatakan pukulannya tidak menyebabkan luka, dalam Shahih Muslim dinyatakan pukulan tidak boleh berbekas, dalam tafsir Al-Misbah pukulan tidak boleh mencederai atau menyakitkan.
Berdasarkan tafsir tersebut maka Nyai Siti Rafiah mengambil kesimpulan bahwa kebolehan memukul sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa ayat 34 bermakna majazi saja. Bukan memukul sebagaimana yang kita pahami. Karena pukulan yang tidak sakit, tidak membekas, tidak menciderai itu sebenarnya pukulan seperti apa?
Lebih spesifik ia menyatakan bahwa memukul dengan alasan mendidik pun juga tidak boleh dilakukan. Alih-alih mendatangkan manfaat dan introspeksi bagi pelaku kesalahan, pemukulan justru menyebabkan trauma dan penyakit psikis yang akan berdampak jangka panjang.
Kesimpulan itu sejalan dengan ulama besar Atha’ yang berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibnu Al-Arabi berkata, “Pemahamannya (ulama Atha’) berdasar pada perkataan Nabi Saw kepada para suami yang memukul istrinya, beliau bersabda, “orang-orang terhormat tidak memukul istrinya.”
Tentunya sebagai umat Nabi Muhammad yang mencintai sunnah-sunahnya kita harus senantiasa mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Bagaimana sikap beliau kepada istri-istrinya, sikap beliau yang penyayang, tidak pernah kasar, dan berperangai sangat lembut sekali.
Perspektif yang menyamakan KDRT dengan nusyuz sehingga pelaku KDRT merasa menjalankan syariat Islam harus segera diubah. Tindakan Atalarik Syah yang menjauhkan anaknya dari ibu biologisnya dengan tunduhan melakukan nusyuz juga harus dikaji kembali.
Tak ada asap jika tak ada api, maka Atalarik Syach sebaiknya melakukan introspeksi, apalagi putusan kasasi menjatuhkan hak asuh anak kepada Tsania Marwa tentunya bukan tanpa alasan. Dalih nusyuz yang disampaikan di depan pengadilan tentunya tidak terbukti dan tidak diterima oleh hakim Pengadilan Tinggi. Maka stop mengatasnamakan kekerasan yang dilakukan dengan dalih menjalankan syariat nusyuz.
Legalisasi kekerasan yang mengatasnamakan penegakan syariat nusyuz ini berkorelasi erat dengan adanya regulasi dalam KHI yang menggunakan tafsir patriarkis. KHI merupakan produk hukum yang tercipta berdasarkan perpaduan fikih ulama’ mazhab yang diakui dan sudah dikaji di berbagai kalangan akademisi berdasarkan konteks, corak budaya, dan politik pada masa itu.
Keterwakilan suara perempuan di tahun 1985 atau saat KHI dibentuk masih sangat minim atau cenderung tidak ada. Ditambah lagi dengan sistem politik Orde Baru yang saat itu menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua dengan berbagai doktrin dan aturannya. Maka pembentukan KHI juga didasarkan atas pengalaman laki-laki saja.
Itulah kenapa aturan yang ditetapkan dalam KHI terutama dalam konsep nusyuz diskriminatif terhadap hak perempuan dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Padahal kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu objek kajian dalam pembuatan aturan berbagai konvensi dan deklarasi internasional tentang hak asasi manusia.