Dalam dunia tasawuf khususnya tarekat, istilah mursyidah (guru pembimbing perempuan) bukanlah istilah yang asing. Syekh Abu Abdurrahman as-Sulami (w. 412 H) telah menghimpun figur-figur sufi perempuan dalam sebuah kitab khusus yang berjudul Dzikrun Niswatil Muta’abbidatis Sufiyat. Di Madura Jawa Timur ada seorang mursyidah tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah bernama Nyai Thabibah.
Nyai Thabibah merupakan putri sulung dari pasangan Kiai Khudzaifah dengan Nyai Rahbiyah binti Kiai Zainal Abidin bin Alimuddin. Bila dirunut ke atas, nasab Nyai Thabibah adalah Nyai Thabibah binti Kiai Khudzaifah binti Zainur Rahma bin Haibin bin Ruba’ah bin Amir Ruwasyi bin Abu Syuja’ bin Nyai Syaibah binti Sayyid Abdul Allam (leluhur keluarga prajjan) bin Syaikh Khatib Sawung Galing Pangratoh Bumi bin Sayyidah Nyai Keddi Kakettel binti Sayyid Tamsyi Pangeran Kulon bin Raden Paku Sayyid Ainul Yaqin Sunan Giri.
Saudara-saudari Nyai Thabibah ini adalah Kiai Abdul Hamid, Kiai Sa’duddin, Nyai Khazinah, Kiai Abdul Mughits, Kiai Muzhar dan Nyai Mo’ Torjun. Ayahandanya sendiri merupakan salah satu mursyid tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah Gersempal silsilah ke-43.
Beliau adalah ulama besar asal Sumenep Madura dan pengasuh generasi kedua Pondok Pesantren Sumber Papan Larangan Badung, Pamekasan. Dari tujuh putra-putri Kiai Khudazifah tersebut, ada tiga nama penting yang mencapai kedudukan puncak dalam tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah Madura.
Pertama adalah Kiai Sa’duddin. Dalam kitab Mizan al-Faidl disebutkan bahwa Kiai Sa’duddin merupakan sosok yang ahli zuhud, selalu fokus pada Allah (mutawahjjih) serta dapat dipercaya atau amanah.
Kedua adalah Kiai Abdul Wahid atau Haji Mahfudz. Lahir pada tahun 1929 dari rahim Nyai Rahbiyah di Pesantren Putri al-Bustan, Sumber Papan. Ketiga adalah Nyai Thabibah. Beliau lahir di Pondok Pesantre Putri al-Bustan yang terletak di dusun Sumber Papan, Desa Larangan Badung, Kec. Palengaan, Kab. Pamekasan.
Nyai Thabibah menikah dengan sepupu beliau, yakni Kiai Muhammad Syaubawi (w. 1955). Beliau adalah sosok yang ahli tirakat dan alumnus Pesantren Buduran, Panji, Sidoarjo. Di antara karamah beliau adalah setiap kali datang tengah malam sepulang dari perjalanan, beliau tetap dapat masuk ke kamar meskipun telah dikunci dan tanpa membangunkan Nyai Thabibah sang istri tercinta.
Dari perkawinannya dengan Kiai Syaubawi, Nyai Thabibah dikarunia delapan orang anak. Tiga orang meninggal ketika masih kecil, yaitu Lora Syafi’un (sulung), Ning Uziyah (nomer empat) dan Ning Abidah (nomer tujuh). Sedangkan lima orang lainnya adalah Kiai Yahya Imaduddin (w. 1998); Ny. Hj. Fadhilah, istri Kiai Muhammad Ishaq, Sumber Panjalin; Kiai Zubaidi, menantu Kiai Abdul Wahid Gersempal.
Dalam kehidupan sehari-hari, Nyai Thabibah sangat telaten mendidik para santrinya, terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan najis. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang fasih bacaan Al-Qur’annya. Ketika tidur lisan beliau masih membaca al-Qur’an dengan diawali dengan ta’awudz dan basmalah.
Aktivitas beliau di Pesantren al-Bustan adalah mengajar para santri putri beberapa kitab dasar, yaitu aqaid 50 yang biasa dibaca bersama-sama setiap selesai sholat isya’, juga kitab Safinah an-Najah, Sullam at-Taufiq, Bidayah al-Hidayah, Daqaiq al-Akhbar fi Dzikr al-Jannah wa an-Naar. Beliau membekali para santri putrinya cara menulis huruf latin walaupun beliau sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Nyai Thabibah menjalani hidupnya sebagai akhwat (perempuan pengamal tarekat) Naqsabandiyah Muzhariyah selama bertahun-tahun hingga pada akhirnya mencapai kedudukan tertinggi, yakni mursyidah (guru pembimbing perempuan).
Ketika berada di Ambunten guna mengikuti acara zikir bersama gurunya, Kiai Ali Wafa, pada saat itu beliau ditunjuk menjadi seorang mursyidah oleh gurunya. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1960. Penunjukan itu berdasarkan petunjuk Allah melalui hasil istikharah-istikharah Kiai Ali Wafa dan setelah dilaluinya beberapa tahapan tarekat oleh Nyai Thabibah. Selain secara lisan, Kiai Ali Wafa juga memberi ijazah pada beliau melalui tulisan.
Kiai Ja’far Abdu Wahid, Mursyid Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyab saat ini sekaligus keponakan Nyai Thabibah menjelaskan bahwa kemursyidan perempuan itu tidak mutlak. Dalam artian mursyid perempuan tidak bisa menjadi pembimbing bagi Ikhwan atau salik laki-laki sekaligus tidak dapat menunjuk pengganti atau khalifah kepemimpinannya.
Kiai Ali Wafa Ambunten melihat etika atau tanda seorang mursyid yang kamil-mukammil pada Nyai Thabibah, yakni mempunyai rasa (dzauq) yang sharih, ilmu yang shahih, himmah yang tinggi, hal yang diridhai dan bashirah (mata hati) yang bersambung.
Nyai Thabibah sering berpesan kepada para santri putrinya supaya ketika sudah keluar dari pesantren bisa berperan aktif di Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga pernah berkata pada salah satu cucunya, “sengko’ mandher tak depa’ah ka taon bellung polo,” (Semoga umurku tidak sampai pada tahun 1980 M). Harapan beliau tersebut ternyata dikabulkan oleh Allah. Pada tanggal 11 Rabi’ul Awal 1395/24 April 1975 beliau tutup usia.
Sumber : Buku Nyai Thabibah, Sang Mursyid Perempuan Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah Madura, Hafifuddin, 2021.