Dalam khazanah literatur Islam terdapat rumpun keilmuan yang mempelajari biografi para tokoh penting. Ilmu ini dikenal dengan rumpun al-Tarajim wa al-Thabaqat, secara harfiah berarti biografi-biografi dan tingkat-tingkat.

Al-Tarajim wa al-Thabaqat adalah rumpun ilmu yang khusus mencatat dan mengkaji tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam. Artikel ini akan mengulas sejauh mana para perempuan dicatat dalam kitab-kitab al-Tarajim wa al-Thabaqat.

Sebelum lebih jauh menerangkan tentang perempuan dalam catatan sejarah, perlu diketahui bahwa setidaknya ada dua asumsi apa yang melatarbelakangi rumpun al-Tarajim wa al-Thabaqat ini muncul.

Pertama, ilmu ini muncul sebagai kelanjutan dari tradisi pra-Islam yang sangat mementingkan pengetahuan tentang silsilah atau jalur nasab. Artinya, pengetahuan tentang asal usul keluarga dan kisah-kisah di sekelilingnya mendorong umat Islam pada saat itu untuk menggali lebih jauh sosok yang dianggap penting.

Kedua, al-Tarajim wa al-Thabaqat muncul seiring dengan perkembangan keilmuan hadis dalam mengkaji para perawi hadis. Asumsi kedua ini menjadikan al-Tarajim wa al-Thabaqat sebagai bagian dari al-Jarh wa al-Ta’dil yang fokus pada penilaian para perawi.

Sebagai sumber pengetahuan dan legitimasi, penilaian terhadap orisinalitas hadis menjadi sangat penting. Untuk itu, penilaian terhadap transmisi hadis mutlak untuk dilakukan dan penelusuran terhadap para periwayat hadis menjadi sangat krusial.

Dari dua asumsi tersebut, penulis cenderung sepakat pada yang kedua karena kemunculan ilmu ini juga bersamaan dengan sedang gencarnya proyek penulisan, pengumpulan, dan sistematisasi hadis.

Kitab yang diyakini paling awal dalam al-Tarajim wa al-Thabaqat ini adalah al-Thabaqat al-Kubra karya Abu Abdillah Muhammad bin Sa’ad al-Baghdadi atau dikenal dengan nama Ibnu Sa’ad (w. 230 H).

Menurut keterangan Ihsan Abbas, pentahqiq kitab al-Thabaqat al-Kurbra, Ibnu Sa’ad lahir sekitar tahun 168 H. Ia menghabiskan masa kecil di Basrah.

Menjelang remaja Ibnu Sa’ad muda pindah ke Baghdad untuk berguru kepada al-Waqidi (130 – 207 H), seorang ulama yang masyhur di bidang sejarah dengan karyanya al-Maghazi. Ibnu Sa’ad cukup lama menimba ilmu dan membersamai gurunya tersebut, sehingga dikenal sebagai sekretaris pribadi al-Waqidi (Katib al-Waqidi).

Selain sebagai tempat belajar, Baghdad yang pada waktu itu berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan juga memberikan banyak pengalaman berharga kepada Ibnu Sa’ad. Hidup di tengah keberagaman dan atmosfer sosial yang kosmopolit sedikit banyak berdampak pada perspektif Ibnu Sa’ad terhadap perempuan.

Kembali pada pokok pembahasan soal catatan tentang perempuan, di dalam al-Thabaqat al-Kubra dari sebanyak 4.250 entri biografi yang ditulis dalam ribuan halaman. Setidaknya terdapat 629 nama perempuan atau kurang lebih sekitar 15 persen dari keseluruhan nama yang diulas biografinya oleh Ibnu Sa’ad.

Dari seluruh perempuan yang diulas, Khadijah binti Khuwailid ditempatkan sebagai perempuan pertama yang dibahas secara panjang lebar. Hal ini menandakan bahwa Ibnu Sa’ad menempatkan Khadijah sebagai perempuan paling penting dalam perkembangan dakwah Nabi saw.

Yang menarik dari ulasan Ibnu Sa’ad tentang Khadijah binti Khuwailid adalah uraiannya yang panjang lebar dan terperinci tentang silsilah nasab Khadijah berdasarkan jalur ibu.

Ibnu Sa’ad mencatat secara terperinci silsilah tersebut, mulai dari ibunya yang bernama Fatimah binti Zaidah bin al-Asham, neneknya Halah binti Abdi Manaf bin al-Harits, hingga nenek dari nenek dari neneknya bernama Nailah binti Hudzafah bin Jumah.

Menurut Ruth Roded dalam “Islamic Biographical Dictionaries”, penjelasan Ibnu Sa’ad di atas menandakan adanya tradisi semimatrilineal dalam bangsa Arab. Artinya, hubungan keluarga dari jalur ibu seringkali dikutip dan dianggap penting.

Selain Khadijah, Ibnu Sa’ad juga menulis tentang anak-anak perempuan Nabi saw: Fatimah, Zainab, Ruqayyah, dan Ummi Kultsum. Yang mungkin tidak banyak diketahui, ia juga mencatat cucu perempuan Nabi saw. dari Zainab yaitu Umamah binti Abu al-‘Ash.

Ibnu Sa’ad menulis riwayat dari Abu Qatadah bahwa suatu ketika Rasul saw. salat sambil menggendong Umamah binti Abu al-‘Ash di atas bahu, ketika rukuk dan sujud disimpan di samping, digendong lagi ketika berdiri, dan seterusnya hingga selesai salat.

Ibnu Sa’ad juga menulis tentang bibi-bibi Nabi saw., sepupu-sepupu perempuan Nabi saw., istri-istri Nabi saw., para sahabat perempuan yang berbai’at kepada Nabi dari berbagai kabilah, dan para tabi’in hingga di masanya sendiri seperti Salma binti Ka’ad al-Asadiyah dan Kabsyah binti al-Harits.

Para perempuan yang dicatat Ibnu Sa’ad ini, terutama pada masa tabi’in, ditampilkan sebagai sosok yang menerima hadis dan meriwayatkan hadis. Seperti Raqiqah binti Abdurrahman misalnya, yang merupakan guru dari Asbath bin Muhammad, kemudian Ummu Tsaur guru dari Jabir al-Ja’fi dan lain lain.

Berangkat dari fakta sejarah tersebut, perempuan-perempuan ini juga digambarkan sebagai katalisator sekaligus sumber pengetahuan yang fungsinya dalam transmisi hadis sama dengan laki-laki. Wallahu A’lam.

Topik Terkait: #hadis#Perempuan

Leave a Response