Harian Republika, 6 November 2019, kolaborasi pemerintah daerah Jawa Barat berkolaborasi dengan ayam dan domba untuk melawan kecanduan gawai pada anak. Data dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat saja sejak 2016 sudah mencatat 200 anak direhabilitasi karena mencandu gawai. Pemkot Purwakarta pun meluncurkan program “Budak Angon” yang dirintis sejak 2015. Pemkot membagikan domba kepada para siswa SD yang lolos berdasar seleksi kefasihan merawat domba.

Salah satu anak terpilih bernama Maya Asih yang mendapat dua domba saat masih menduduki kelas 2 SD. Sejak kecil, Maya memang suka ikut simbah ngangon. Hasilnya, domba dari negara berkembang biak dengan baik, kebutuhan sekolah Maya terpenuhi, menjauhkan gawai, dan ketelatenan serta tanggung jawab berimperasi pada diri. Negara tidak perlu kurikulum yang rumit, mahal, dan bertele-tele untuk membuat seorang anak begitu berkarakter menciptakan peristiwanya sendiri.

Pemkot Bandung memilih ayam sebagai kolaborator. Pada pertengahan November ini, dipastikan program pembagian anak ayam untuk siswa SD dan SMP. Namun, pemerintah memprioritaskan anak-anak di pinggiran Bandung. Aduh, padahal wabah gawai di keluarga perkotaan biasanya lebih ganas. Namun, beresiko juga memelihara ayam di kota yang tidak punya lahan tanah, ramai, dan panas.

Menjadi lumrah buku-buku bacaan lawas sering memberi cerita yang membahagiakan dan seru anak memelihara ayam. Orangtua sengaja memberi ayam sebagai hadiah untuk memantik tanggung jawab, mengisi waktu luang secara bermakna, dan tentu memelihara ayam bertaut dengan kontur perdesaan serta tata hidup agraris. Ayam bukan ternak yang merepotkan atau menuntut makanan terlalu khusus.

Dalam buku bacaan kelas II Sekolah Rendah berjudul Titian (1950) garapan R. M. Djamain, ada cerita Ripin dan Amir dibelikan ayam. Cerita ini jadi gambaran masa sebelum anak hanya tahu ayam sebagai makanan tanpa prosesi penciptaan dan perjalanan bertaut dengan sesama makhluk Tuhan. Mereka bersinggungan dengan kandang, halaman, pakan, telur, dan anak-anak ayam, “Minggu jang lalu ajah membeli ajam. Delapan ekor banjaknja. Seekor ajam djantan, tudjuh ekor ajam betina. Amir dan Ripin sajang kepada ajamnja. Tiap-tiap hari diberinja makan.”

Gerak tubuh anak-anak memberi pakan memberi imperasi untuk merawat, merasa, dan menyayangi. Pengertian ayam justru dijauhkan dari sekadar menghadapi ayam sebagai menu di meja makan.

Anak-anak itulah lakon kunci menetaskan telur kehidupan, “Tadi pagi anak ajam sudah turun. Semuanja depalan ekor. Masih ketjil. Ada jang masih lemah. Ia bersembunji dibawah sajap induknja. Ajah dan ibu datang juga melihatnja.” Memelihara ayam menjadi bagian pendidikan keseharian untuk saling berbagi dan mengasihi. Tidak langsung pada anggapan bernilai ekonomis ayam sebagai penghasil daging dan telur.

Memelihara ayam terasa sebagai peristiwa yang sangat sehari-hari. Di buku bacaan Sinar (1949) garapan R. Soekardi, juga bercerita ayam milik seorang anak bernama Juniar yang sangat antusias dan gembira mendapati ayam babon bertelur. “Ha, ajamku bertelur lagi,” kata si Juniar, sambil berlari ke belakang rumah. Ketika ia sampai disitu, ajam itu terbang dari sangkaknja. Si Juniar segera mengambil tangga hendak menghitung telur itu. Dihitungnja dua belas butir.”

Telur-telur bakal kehidupan dinantikan dan Yuniar sudah berencana membagi-bagikan kepada kakak-kakaknya dua ekor setiap orang. Ketika anak-anak ayam telah menetas, cerita berimperasi tidak langsung pada hasil atau untung, tapi pengetahuan atas gerak, waktu, dan kebiasaan. “Riuh benar bunji anak ajam dalam sangkak itu. Induknja terbang ketanah. Kedua belah sajapnja dikembangkannja lalu dikepak-kepakkannja. Kemudian ia pergi minum dan mengais-ngais, sambil mentjotok-tjotok. Tidak lama ia ditanah, terbang pula ia kesangkak, lalu turun lagi. Si Juniar amat girang, telur ayamnja sudah menetas. Ia merasa heran, mengapa induk ajam itu turun-naik sadja.”

Karena kesannya yang sangat sosialis, setiap anak biasanya mengalami pengajaran pertama memelihara binatang diwakili oleh ayam. Jika menyangkut pertahanan di tataran global, ayam benar-benar menempati peran sama penting dengan pembangunan infrastruktur, saranan pendidikan, atau aksesk teknologi-komunikasi. Bill Gates, bos Microsoft, dan Monica Barbut, perwakilan dari Konvensi PBB Melawan Penggurunan, mengusulkan memelihara untuk memperbaiki ekonomi keluarga-keluarga termiskin, terutama di Afrika (Thomas L. Friedman, 2018).

Bagi keluarga termiskin yang tidak punya modal teknologi sosial dan teknologi fisik, ayam bisa diberdayakan sebagai investasi ekonomi dan gizi karena murah dan mudah. Kandang dan pakan tidak menuntut modal besar. Secara kultural juga dikatakan, “Ayam memberdayakan perempuan. Karena ayam itu kecil dan biasanya tidak pergi jauh dari rumah, banyak budaya menganggap ayam itu ternaknya perempuan, beda dengan ternak lebih besar seperti kambing atau sapi. Perempuan yang menjual ayam lebih mungkin menanamkan kembali labanya untuk keluarga.”

Pernah di kehidupan sehari-hari, ayam juga lekat dalam manifestasi kebahasaan. Ada petuah untuk bangun pagi agar “rezeki tidak dipatok ayam” atau bujukan menghabiskan makanan karena kalau tidak “pitik’e mati (ayamnya mati)”. Petuah benar-benar hadir saat orang-orang di desa terutama, memang memelihara ayam atau menyaksikan ayam tetangga berkeliaran bebas tanpa takut dihukum undang-undang.

Ekspansi kuliner mutakhir berbasis ayam yang lebih membentuk persepsi publik bahwa ayam selalu makanan. Ayam geprek, mi ayam, ayam tepung kentaki, ayam bakar, ayam goreng, sop ayam, dengan sihir kenikmatannya menjadikan kefasihan makan lebih utama dibandingkan bercerita.

Leave a Response