Polemik tentang viralnya video penendang sesajen di kawasan terdampak erupsi Semeru di Lumajang beberapa waktu lalu menambah daftar panjang kasus “penistaan agama” di Indonesia.
Banyak pihak meminta supaya si pelaku dihukum karena tindakannya dirasa menghina dan memusuhi umat agama lain, khususnya umat Hindu, serta dapat mengancam kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Namun, ada juga pihak lain yang menyarankan supaya si pelaku dimaafkan atas dasar kerukunan beragama juga, sembari mengecam aksi intolerannya.
Yang menarik di sini ialah si pelaku dijerat dengan pasal 156 KUHP tentang “permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia”, yakni suatu pasal yang juga menjerat kasus-kasus kriminal yang disebut sebagai “penodaan” atau “penistaan” agama, seperti dalam kasus Ahok pada tahun 2016 dan kasus Meliana di Tanjung Balai pada tahun 2017.
Sebagai konsekuensi kewarganegaraan, proses hukum memang harus ditaati, dan kita juga harus tegas bahwa kasus ini adalah bentuk sikap intoleran dan ekslusivisme dalam beragama. Namun, yang luput dari perbincangan publik hari ini mengenai polemik tendang sesajen adalah: apa pelajaran yang bisa kita petik dari kasus ini dalam kaitannya dengan sejauh mana hukum “penistaan agama” di Indonesia itu efektif untuk mewujudkan kerukunan beragama?
Apakah mekanisme hukum merupakan satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengatasi konflik keagamaan? Bagaimana kita seharusnya merespons isu ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini patut kita refleksikan, jika kita benar-benar ingin mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Sebab, kasus sesajen ini hanya sebagian kecil dari serangkaian kasus “penistaan agama” yang tak jarang problematis secara hukum serta mengakibatkan gesekan politik-keagamaan.
Para penganjur legislasi hukum “penistaan agama” biasanya berargumen bahwa eksistensi hukum ini sangat diperlukan guna menjaga kerukunan antarumat beragama. Oleh karena itu, negara dengan fungsi koersinya harus hadir guna memberikan efek jera bagi si pelaku agar tidak ada lagi yang melakukan aksi permusuhan dan penghinaan terhadap suatu agama. Singkatnya, kriminalisasi merupakan prioritas utama sebagai instrumen legal untuk mengeliminasi berbagai tindakan yang dapat mengancam kerukunan beragama.
Namun, apa yang terjadi di lapangan, implementasi hukum “penistaan agama” ini jauh dari kata ideal. Sebagaimana riset yang dilakukan oleh Zainal Abidin Bagir (CRCS, 2017), alih-alih menciptakan kerukunan, hukum ini dimanipulasi untuk mengkriminalisasi dan merekayasa kebencian terhadap kelompok minoritas rentan, seperti yang terjadi dalam kasus Syi’ah di Sampang, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, dan Gafatar. Selain karena memang bersifat diskriminatif, cakupan apa yang disebut sebagai bentuk “penodaan” dan “penyimpangan dalam hukum ini sangatlah multi-tafsir.
Keputusan otoritatif terhadap apakah suatu ucapan atau tindakan dapat dikategorikan sebagai “penistaan agama” juga kerap dipasrahkan kepada institusi kelompok mayoritas, lalu disertai mobilisasi masa sebagaimana yang terjadi dalam kasus Ahok menjelang Pilgub Jakarta tahun 2017. Belum lagi membicarakan bagaimana menentukan secara terang-benderang ada-tidaknya unsur kesengajaan dalam suatu ujaran dan tindakan yang dirasa menista agama.
Selain itu, tren yang terjadi saat ini mengenai “penistaan agama” justru semakin menebalkan polarisasi yang terjadi di masyarakat atas dasar politik identitas. Di mulai sejak kasus Ahok dan kemudian terintensifikasi pada perhelatan Pilpres 2019, masyarakat kita terpolarisasi menjadi dua kubu: pluralis dan Islamis (Fealy, 2020). Stigma-stigma negatif dan olok-olokan yang kerap bertebaran di media sosial seperti “kadrun”, “cebong”, dan “kampret” merefleksikan polarisasi ini.
Persis dalam aras polarisasi ini, hukum “penistaan agama” saat ini kerap dijadikan instrumen legal untuk mengkriminalisasi kubu yang berseberangan secara politik-keagamaan. Akhirnya, yang terjadi adalah aksi saling lapor-melapor dan berusaha mencari-cari kesalahan antarkubu yang disinyalir mengandung unsur “penistaan agama”.
Tak heran, dalam kasus sesajen beberapa waktu lalu, publik kita membanding-bandingkannya dengan kasus Ahok. Yakni si pelaku harus juga dihukum layaknya Ahok yang dihukum karena dipandang sama-sama menista agama.
Jika polarisasi ini tak disudahi, maka fokus utama untuk merawat kerukunan beragama dan meredam intoleransi dapat terabaikan. Semakin intensnya aksi saling lapor-melapor juga menggiring kita pada spiral populisme persaingan (rivalry populism) tak berkesudahan yang justru dapat menggerus iklim demokrasi kita.
Seseorang mungkin saja juga berargumen bahwa unsur kesengajaan dalam kasus tendang sesajen ini sangatlah jelas, dan karena itu dapat dikategorikan sebagai “penistaan agama”. Namun, terlepas dari ada dan tidaknya unsur kesengajaan, hal ini tidak menggugurkan bahwa mekanisme hukum bukanlah jalan terbaik bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama.
Jika pun si pelaku nantinya dihukum, tak ada jaminan bahwa kasus-kasus yang dipandang sebagai “penistaan agama” dan aksi saling lapor-melapor tersebut akan terhenti, terutama saat iklim politik mulai memanas.
Oleh karena itu, kiranya perlu mempertimbangkan mekanisme di luar hukum untuk merespons fenomena “penistaan agama”. Tentu, hal ini memerlukan sikap kedewasaan antarumat beragama untuk sama-sama menahan diri untuk melakukan kriminalisasi, dan lebih mengedepankan mekanisme non-litigasi, seperti dialog, tabayun, dan mediasi.
Kasus tendang sesajen ini justru menjadi pecutan bagi untuk memikirkan pengembangan pendidikan inklusif, moderat, dan pluralis dalam jangka panjang. Tak jarang sikap ekslusivisme dan tindakan intoleran justru dipicu oleh minimnya literasi keagamaan dan pergumulan dengan umat agama lain (the religious others).
Di samping itu, diseminasi pendidikan ini idealnya juga harus menyasar kelompok-kelompok ekslusif-intoleran, agar wacana toleransi, pluralisme, dan moderasi beragama tidak hanya berkutat pada kelompok yang sudah mengimani nilai-nilai ini. Tentu kesemuanya itu tidak mudah untuk dilakukan, tetapi bukan berarti mustahil bukan?