Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019. Pukul sepuluh pagi, cahaya cerah berpendar di angkasa. Ratusan perempuan berkumpul di Hotel J.S. Luwansa, Rasuna Said, Jakarta Selatan. Mereka datang bukan untuk bersendawa, apalagi sekedar tamasya.

Para perempuan dari berbagai kalangan ini  berkumpul untuk membincangkan sejarah dan mandat penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta pengarusutamaan gender dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan. Agenda ini diinisiasi dalam rangka memperingati 35 tahun ratifikasi konvensi CEDAW di Indonesia.

Di ball room lantai dua yang cukup luas, ada sebuah ornamen yang memikat mata para pengunjung. Panitia menyediakan photobooth dengan latar wajah aktivis perempuan Indonesia yang dirangkai secara historis dan periodik lengkap dengan quote mengenai pemberdayaan perempuan.

Setelah melakukan registrasi, saya memasuki ruangan  itu dengan perasaan meluap-luap. Ada kegembiraan melihat begitu banyak peserta yang 99 % terdiri dari kaum perempuan.

Di pojok paling belakang, pada sebuah meja bundar, saya duduk bersama seorang sahabat lama namun tetap segar, Sari Narulita, aktivis Seroja, Studi dan Aksi Perempuan. Sebuah rumah yang memperkenalkan kami tentang isu perempuan dan gender pada waktu kuliah dulu.

Seketika saya menemukan ada hal unik serta berbeda dalam ruangan ini. Di depan panggung, tak ada wajah para narasumber. Para narasumber duduk melebur bersama para peserta. Sejajar.  Tidak menjadi pusat yang berada di front state. Sang moderator, Debra Yatim juga tidak berdiam diri di tempat. Ia terus bergerak mengitari seluruh sudut ruangan sambil memandu jalannya diskusi. Sebuah penataan psikologi forum yang begitu penuh harmoni dan jauh dari kesan sub-ordinat.

Beberapa tokoh perempuan Indonesia yang telah membuktikan kiprahnya hadir sebagai narasumber. Saya mendengar dan menyaksikan satu demi satu paparan mereka. Antara lain, Sinta Nuriah, Mutia Hatta, Jaleswari, Ani Soetjipto, Eri Seda, Sjamsia Achmad, Rita Kalibonso, Saparina Sadli, dan banyak lagi.

Menurut Syamsiah Ahmad, terbentuknya CEDAW dilatari dengan persoalan besar yang menimpa kaum perempuan, ditemukan paling sedikit 3 persoalan yang fokus diperioritaskan.

Pertama, equilty. Kedua, pembangungan (perempuan sebagai agen dan pemanfaatan pembangunan). Ketiga, perdamaian (perempuan adalah kunci yang sekaligus moyority victim). Alih alih terlampau luas cakupan, sehingga pada tahun 1980 dilakukan revisi. Lokus kosentrasi menjadi pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan.

Komnas Perempuan dalam rangka 35 ratifikasi CEDAW juga menyerukan beberapa point. Pertama, mendesak negara untuk segera menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan CEDAW periode VIII (2012-2016) yang jatuh tempo pada tahun 2016. Ini berarti laporan RI telah terlambat 3 tahun dan hingga kini masih ditunggu oleh Komite CEDAW.

Kedua, mengingatkan negara untuk menjalankan rekomendasi yang telah disampaikan melaluiConcluding Observation Komite CEDAW. Ketiga, mendorong negara untuk meratifikasi Optional Protocol CEDAW yang berisi prosedur tambahan dalam pelaksanaannya, yakni Prosedur Investigasi dan Prosedur Komunikasi Individu. Optional Protocol ini sudah pernah masuk ke dalam Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2011-2014 namun hingga kini belum diratifikasi.

Keempat, menggiatkan pemerintah RI untuk memperkuat sosialisasi instrumen hak asasi perempuan, khususnya CEDAW kepada berbagai pemangku kepentingan (kelompok agama, budaya, pelaku bisnis, dll), termasuk aparat pejabat negara. Kelima, mengajak semua pihak, termasuk masyarakat, untuk memahami lebih dalam instrumen-instrumen HAM internasional sebagai nilai-nilai universal dengan sikap positif, terbuka, dan tanpa prasangka.

Di penghujung dialog, Debra Yatim membuka daya kritis logika semua peserta yang hadir dengan sebuah pertanyaan, mengapa dalam 35 tahun ratifikasi CEDAW berjalan, isu-isu yang dilaporkan tetap sama daN tidak berubah? Waktu terus beranjak. Tibalah forum ini pada beberapa simpulan. Sebagaimana butir – butir  berikut:

Pertama, menolak wacana pergantian nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menjadi Kementrian Ketahanan Keluarga.

Kedua, upaya pencegahan perkawinan anak dengan memberikan perhatian khusus pada penguatan kapasitas petugas KUA, agar mematuhi dan melaksanakan UU Perlindungan Anak secara tegas dan disiplin.

Ketiga, membangun kesadaran publik dengan terus mengkampanyekan dampak dari kekerasan terhadap perempuan, terutama terhadap perempuan korban.

Keempat, untuk memperkuat Women Machinery dibutuhkan usaha yang maksimal. Mandat yang diberikan seharusnya jelas dan otonom, yang memberikan implikasi terhadap wewenang, cakupan kerja dan anggaran.

Acara berakhir dengan hikmat. Semua perempuan yang tengah berada di sudut ruangan ini seolah sedang mengalirkan sebuah kekuatan yang bernama gagasan. Dan di antara riuh reda suara, tiba tiba sebuah tanya menyeruak; benarkah wanita adalah objek penjajahan terakhir (woman is the last colony). Mengapa secara moral, politik, kultural dan konstitusional perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda hanya karena jenis kelamin?

Leave a Response