Haid atau menstruasi dalam ilmu fikih didefinisikan sebagai darah yang keluar dari rahim perempuan secara alami, bukan karena penyakit, melahirkan, maupun sebab sejenisnya. Oleh karenanya, darah yang keluar dan disebut haid itu juga dapat menjadi pertanda akan kesehatan seorang perempuan. Disebutkan pula bahwa karena haid itulah, perempuan dapat merasakan kesakitan yang sangat.

Tetapi meski demikian, masih saja banyak label negatif–dan mungkin terkesan menghakimi–disematkan bagi perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Mulai dari anggapan sebagai perempuan kotor yang harus diasingkan, sedang manja, sedikit pahalanya, dan lain sebagainya.

Padahal apabila dipandang secara adil dengan kacamata Islam, serta dengan pandangan kasih sayang (‘ain ar-rahmah), label-label tersebut tentu tidak akan muncul asal-asalan.

Label yang paling sering diterima oleh perempuan haid, di antaranya ialah “sedang manja”. Bahkan label tersebut bisa begitu saja meluncur dari mereka yang tidak mau mentolerir atau memang tidak mau tahu tentang rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan haid.

Sehingga, secara langsung mereka yang sedang haid akan mengalami kesakitan ganda, yakni sakit secara fisik karena efek dari haid itu sendiri, juga sakit secara psikis karena kurangnya dukungan dari orang di sekitarnya.

Melalui jejaring media sosial, penulis sempat menjumpai kisah seorang ibu rumah tangga terkait pelabelan manja bagi perempuan haid. Yang mana untuk melawan label tersebut, ketika sedang haid ia pernah mencoba memaksakan diri untuk tetap bekerja, bahkan berencana lembur dari pagi hingga menjelang petang.

Belum sampai sore tiba, ia merasakan tubuhnya benar-benar tidak kuat. Hingga tak lama setelah itu, ia ditemukan jatuh pingsan di kamar mandi tempatnya bekerja.

Karena adanya kejadian tersebut, tentu tak hanya satu orang yang akan merasa dirugikan. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah orang yang memberikan label hingga membuat perempuan haid itu memaksakan diri untuk bekerja lembur bersedia bertanggung jawab?

Sepertinya, tidak! Pastilah perempuan itu yang menerima akibat sekaligus bertanggung jawab atas musibah yang menimpanya. Kejadian sebagaimana disebutkan bisa jadi terulang, dan bisa terus terulang selama semua masih tidak mau tahu akan kondisi orang lain.

Label yang juga sering dilekatkan ialah bahwa perempuan haid merupakan perempuan kotor yang layak untuk dijauhi. Ketika membahas tentang haid, Alquran memang membahasakannya sebagai sesuatu yang kotor, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 222:

وَیَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِیضِۖ قُلۡ هُوَ أَذࣰى فَٱعۡتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَاۤءَ فِی ٱلۡمَحِیضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ یَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَیۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلتَّوَّ ٰ⁠بِینَ وَیُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِینَ

“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.

Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” [Q.S. Al-Baqarah (2): 222]

Ayat di atas jika dilihat terjemahannya saja, mungkin akan melahirkan pemahaman bahwa haid adalah sesuatu yang kotor saja, karena menggunakan redaksi “adza”. Sehingga perempuan haid ialah perempuan kotor yang perlu dijauhi.

Apabila perilaku ini sekarang masih ada, maka dapat dikatakan bahwa terjadi pengulangan perlakuan sebagaimana perilaku orang Yahudi, yakni ketika keluarga mereka ada yang sedang haid, maka mereka akan segera menjauhinya.

Padahal apabila merujuk penuturan para ahli tafsir, redaksi “adza” sejatinya mengandung makna yang beragam.

Misalnya ketika merujuk Tafsir ath-Thabari. Imam Ath-Thabari menyebutkan satu riwayat bahwa “adza” dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang menyakitkan karena ada kejadian yang tak disenangi.

Atau mengikuti Imam Al-Qurthubi, yang memberikan opsi penafsiran sebagai sesuatu yang menyakitkan bagi perempuan. Juga bisa mengikuti penafsiran Prof. Quraish Shihab, yang memaknai “adza” sebagai gangguan yang terjadi pada perempuan.

Menimbang alternatif makna yang dikemukakan oleh para ahli tafsir sebagaimana  disebutkan di atas, dapat dimengerti bahwa perempuan haid tidak bisa serta merta dianggap sebagai perempuan kotor karena sedang mengeluarkan hal kotor.

Kemudian berkaitan dengan redaksi ayat yang menyebutkan bahwa perempuan haid perlu dijauhi, maksudnya ialah supaya tidak didekati dengan tujuan hubungan seksual. Bukan dijauhi dengan makna yang sangat umum, hingga perlu untuk diasingkan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada zaman dahulu.

Kalangan agamis juga kadang masih ada yang mencoba mendiskriminasi perempuan haid dengan menyatakan bahwa mereka merupakan orang yang sedikit pahalanya karena meninggalkan ibadah. Perlu dipahami, bukankah mereka meninggalkan ibadah tertentu karena menjalankan perintah Allah?

Bukankah mereka memang haram melakukannya? Ya, memang benar bahwa orang haid tidak bisa disamakan dengan orang sakin lainnya, yang disebutkan sebagai pelebur dosa. Tetapi, meninjau literatur ushul fikih, sudah sangat jelas, bahwa meninggalkan sesuatu yang diharamkan (mahdzur) itu mendapatkan pahala. Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Response