Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengisi forum Webinar bertemakan “Mubadalah Dalam Ruang Ekonomi”. Forum ini diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Magister FEBI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan PW Fatayat Nahdlatu Ulama DIY. Dalam kesempatan itu, saya memaparkan tentang bagaimana menerapkan Mubadalah secara ekonomi dalam konteks relasi suami-istri.
Saya mencoba mengkrucutkan pembahasan Webinar tentang konsepsi Mubadalah dalam konteks ekonomi. Mubadalah dalam ekonomi sendiri ruang lingkupnya ada 3 ranah, yakni Negara, Masyarakat, dan Keluarga. Tetapi, saya lebih memfokuskan pembahasan tentang Mubadalah dalam ekonomi keluarga khususnya peran perempuan di dalamnya. Perempuan sejatinya memiliki peran-peran sentral dalam roda kehidupan rumah tangga.
Penjelasan tersebut berangkat dari potret terhadap keluarga saya sendiri diri serta rumah tangga di lingkungan sekitar saya tinggal. Tak ayal, memang seringkali, jamak kita temui berbagai konflik terjadi dalam ruang-ruang keluarga. Salah satu faktor utamanya adalah akibat dari kesenjangan ekonomi. Ekonomi memang menjadi elan vital dalam mahligai rumah tangga. Seringkali faktor krisis ekonomi menjadi faktor utama dengan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Di tengah badai pandemi Covid-19 ini, konflik akibat faktor ekonomi dalam keluarga tidak bisa dielakkan. Hal ini karena sulitnya akses ekonomi serta mandegnya perekonomian nasional. Hal ini juga bisa menjadi “sekam” yang akan semakin membesar. Berdasarkan rilis dari detik.com, angka perceraian di pulau Jawa selama kurun waktu April-Mei 2020 kurang lebih 20 ribu. Lalu meningkat menjadi 57 ribu pada bulan Juni-Juli 2020. Hal ini mayoritas dilatari oleh faktor Pemutusan Hubungan Kerja akibat pandemi. Akhirnya, secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya gugatan perceraian. Dalam konteks keluarga, dengan adanya situasi demikian, pasti semakin menambah beban sosial, baik bagi suami maupun istri.
Perempuan (istri) seringkali teralienasi dalam perannya di sektor ekonomi dan dianggap tidak memiliki bantuan terhadap ekonomi keluarga. Padahal beban keluarga yang ia emban, juga memiliki nilai ekonomi yang cukup besar, dan hal inilah yang seringkali dipandang sebelah mata oleh kostruksi budaya patriakhi.
Dalam praktiknya, sebuah keluarga seringkali dibangun dengan meniadakan prinsip keadilan dalam jalinan rumah tangga, karena dominasi peran suami. Untuk itu, betapa pentingnya menunaikan keadilan dalam berkeluarga. Karena sejatinya posisi dan peran perempuan dengan laki-laki setara dan proporsional di ranahnya masing-masing. Tidak ada yang saling mengungguli, prinsip kebersamaan dan ketersalingan menjadi penting untuk selalu diterapkan.
Mubadalah sebagai diskursus yang dicetuskan oleh Faqih Abdul Kodir menjadi suatu metodologi yang cukup ideal dalam relasi ketersalingan dalam ranah keluarga. Banyak hal yang bisa didapatkan dari menerapkan value tersebut, salah satunya membangkitkan kembali akan kemuliaan seorang istri atau perempuan pada umumnya. Prinsip dalam Mubadalah sendiri memang berangkat dari prinsip tauhid serta nilai-nilai dalam teks Al-Quran dan Hadits, yang mana kita idealnya berperan untuk mengkontekstualisakannya dalam kehidupan rumah tangga.
Di ruang ekonomi sendiri, peran domestik yang sebagian besar dikerjakan oleh istri sebenarnya memiliki nilai finansial yang besar, seperti menyapu, mengasuh anak, memasak dan lain sebagainya. Artinya, jangan sampai kemudian sosok suami yang notabene sebagai pencari nafkah, kemudian mengkooptasi seorang istri dan memarginalkan peran istri, karena istri tidak jelas pendapatannya. Dengan prinsip mubadalah ini, sebenarnya bukan hanya istri yang berhak untuk melayani suami, tetapi juga sebaliknya, suami pun punya peran untuk melayani istri. Inilah ketersalingan yang idealnya mampu mewujudkan keharmonisan dalam suatu rumah tangga.
Sebagaimana menurut Dharma Setiawan (2020), dalam relasi antara suami dan istri, harus saling memberi pengertian pada posisi kesalingan. Jika suami bekerja dengan baik, maka istri juga dapat berkontribusi dalam mengatur secara baik ekonomi rumah tangga tanpa harus ada yang merasa lebih dominan. Dalam perilaku masyarakat patriarki peran perempuan dalam mengurus rumah tangga cenderung diabaikan dan seolah tidak ada kontribusi dalam mencapai kesejahteraan bersama. Mubaadalah memberi pemahaman untuk saling mengisi peran masing-masing tanpa harus saling menegasikan.
Akhirnya, pentingnya kita bermubadalah dalam kehidupan untuk mencapai kemaslahatan bersama. Baik di ranah keluarga, masyarakat dan negara. Agar kita senantiasa menjadi insan yang produktif dan menjadi Khalifatullah di ranah kita masing-masing, khususnya dalam mahligai rumah tangga.