Perempuan dan Sufisme
Jauh sebelum gerakan feminisme di barat, Islam telah mencoba mendekonstruksi budaya patriarki dengan mengangkat harkat martabat perempuan yang sebelumnya termarginalkan di kalangan masyarakat dunia, termasuk Arab.
Ini ditegaskan oleh Lothrop Stoddard dalam bukunya The New World of Islam bahwa Islam datang dengan ajaran yang memberi perlindungan terhadap kaum perempuan.
Kedatangan Islam membuat kehadiran kaum perempuan diakui dan tidak lagi hanya dianggap sebagai objek seperti dalam budaya patriarki Arab. Mereka mulai bisa mengambil peran dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat Arab. Sebagai contoh, pada masa Nabi Muhammad saw beberapa perempuan mengikuti perang yang sarat dan kental dengan wacana maskulinitas (History of the Arabs).
Peran perempuan cukup signifikan dalam sejarah kemunculan dan perkembangan Islam. Baik pada aspek sosial, ekonomi, politik maupun spiritual, termasuk sufisme. Kendati demikian, fakta-fakta tersebut kerap terabaikan atau sengaja disembunyikan. Hal ini dikarenakan masifnya residu-residu budaya patriarki di kalangan umat Islam, khususnya masyarakat Arab.
Namun patut diyakini bahwa peran kaum perempuan cukup vital bagi perkembangan Islam. Misalnya, sejak awal kehadiran sufisme dalam Islam, tepatnya pada pribadi nabi Muhamamad saw, Khadijah ra–istri nabi–sebagai wakil kaum perempuan berperan penting dalam mengkonsolidasikan kondisi spiritual Nabi ketika pertama kali mendapatkan wahyu (Islamic Mysticism).
Khadijah kala itu tidak hanya berperan sebagai istri, melainkan juga sebagai sahabat spiritual (spiritual partner) bagi Nabi yang pada mulanya belum terlalu akrab dengan pengalaman kenabian (prophetic experience). Dalam buku-buku sejarah seperti Rahiq al-Makhtum disebutkan bahwa ia mendukung, menyemangati, dan meyakinkan Nabi yang bingung dan bimbang akibat turunnya wahyu.
Khadijah menjadi orang pertama yang membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad. Ini menandakan sosoknya sebagai seorang yang memiliki spiritualitas tinggi. Jika tidak demikian, mungkin pengalaman kenabian (prophetic experience) akan dipandangnya sebagai gejala kegilaan mental sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orientalis terhadap Baginda Nabi Muhammad saw.
Bakat spiritual Khadijah ini kemudian diwarisi oleh putrinya, Fatimah Zahra, yang memiliki kecenderungan kuat terhadap dimensi spiritual Islam. Ia bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib yang menjadi mata rantai ajaran sufi setelah nabi, hidup secara sederhana dan dipenuhi dengan berbagai ketaatan atau bisa disebut asketis. Karena alasan inilah, ia sering disebut sebagai sufi wanita pertama.
Pada periode selanjutnya, sufi perempuan banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan ajaran tasawuf. Hal ini telah disebutkan dalam berbagai naskah sufisme. Namun sebagaimana disebutkan sebelumnya, konstruksi budaya patriarki membuat mereka termarginalkan. Akibatnya, kuantitas penyebutan sufi perempuan lebih sedikit dibandingkan sufi laki-laki.
Sebagai contoh, dalam Hilya tal-Awliya Abu Nu’aim al-Isfahani mencatat ada 28 sufi perempuan dan 649 sufi laki-laki. Dalam Nafahat al-Uns, Abdurrahman Jami menyebut 35 sufi perempuan dan 564 sufi laki-laki.
Dalam Tabaqat al-Kubra, Abdul Wahab al-Sya’rani mencatat 16 nama sufi perempuan dan 412 nama sufi laki-laki. Sebagian besar nama sufi perempuan tersebut merupakan keluarga nabi, sahabat dan tokoh dalam Al-Qur’an.
Hal senada juga terlihat dalam naskah-naskah sufisme lainnya. Misalnya, dalam Risalah fi ‘Ilm ak-Tasawwuf, al-Qusyairi bahkan sama sekali tidak menyebutkan nama tokoh sufi perempuan. Dalam Kasyf al-Mahjub, al-Hujwiri menyebutkan 12 nama sufi perempuan dan 109 nama sufi laki-laki. Dalam Tadzkirat al-Awliya, Fariduddin Attar mencatat 1 nama sufi perempuan dan 72 sufi laki-laki.
Nama-nama sufi perempuan juga dapat ditemukan dalam Qutul Qulub karya Abu Thalib al-Makki, al-Luma’ karya Abu Nasra al-Sarraj, Taarruf li Mazhab Ahl al-Tasawwuf karya Abu Bakar al-Kalabadzi, dan Dzikra l-Niswa al-Muta’abbidat al-Sufiyyat karya Abdurrahman al-Sulami yang secara khusus berisi tentang catatan biografis tokoh-tokoh sufi terkenal, termasuk sufi perempuan.
Di antara kecenderungan yang dapat ditemukan dalam naskah sufisme ketika mendeskripsikan sufi perempuan adalah adanya penyebutan sepintas. Mereka disebut secara anonymous (tanpa nama), dan lebih sering lagi, mereka dilukiskan hanya sebagai sosok pendamping dalam catatan tentang para sufi laki-laki yang ternama, kecuali Rabiah al-Adawiyah, tokoh legendaris sufi perempuan.
Bisa dikatakan bahwa ketokohan Rabiah al-Adawiyah setara dengan tokoh sufi laki-laki yang masyhur atau lebih tinggi. Bahkan, Annemarie Schimmel dalam bukunya Mistical Dimension of Islam menyebutnya sebagai wali sejati Islam yang pertama karena ia dianggap sebagai tokoh pertama yang memperkenalkan pengertian cinta sejati ke dalam ajaran sufisme abad-abad awal.
Gambaran yang sedikit lebih jelas tentang kontribusi kaum perempuan dalam ajaran sufisme dapat ditemukan pada karya al-Sulami dan Ibnu al-Jawzi, yakni Dzikra l-Niswa al-Muta’abbidat al-Sufiyyat dan Sifat al-Safwa. Dalam kedua karya tersebut dijelaskan bagaimana sejumlah sufi ternama berusaha mengajarkan pengetahuan spiritual atau ajaran tasawuf kepada kaum perempuan.
Di samping itu, karya Ibnu al-Jawzi, yakni Sifat al-Safwa, bisa disebut sebagai kitab yang istimewa terkait catatannya tentang sufi perempuan. Sebab, dalam kitab tersebut ia mencatat 240 nama sufi perempuan, dan jumlah itu setara dengan sepertiga bagian dari jumlah nama sufi yang disebutkan. Karena alasan inilah, karya Ibnu al-Jawzi terkemuka dibandingkan karya-karya pendahulunya.
Selain Rabiah, salah satu tokoh sufi perempuan yang disebut dalam naskah-naskah awal sufisme adalah istri Hakim al-Tirmidzi, seorang sufi yang hidup sekitar abad ke-10 M. Dalam Khatm mal-Awliya, sebuah autobiografi, al-Tirmidzi menceritakan bagaimana istrinya berperan sebagai saksi yang membenarkan sekaligus menguatkan pengalaman-pengalaman awal mistisnya.
Peran istri al-Tirmidzi ini jika kita amati dengan saksama serupa dengan peran Khadijah pada masa-masa awal penurunan wahyu. Keduanya sama-sama menguatkan, meyakinkan dan membenarkan sang suami yang sedang kebingungan mengenai pengalaman spiritual yang dialami. Bisa dikatakan bahwa keduanya adalah tokoh yang mengantarkan suami menuju kemantapan keyakinan.
Namun ada perbedaan antara Khadijah dengan istri hakim al-Tirmidizi. Jika Khadijah berperan sebagai spiritual partner nabi dan tidak memproduksi pengetahuan secara mandiri, maka istri hakim al-Tirmidizi merasakan pengalaman spiritual secara mandiri dan memproduksi pengetahuan tentangnya. Disebutkan bahwa ia sering bermimpi terkait pengetahuan batin, terutama berkenaan maqamat.
Lantas apakah tingkat spiritual istri hakim al-Tirmidizi lebih tinggi dari Khadijah? Jawabannya tidak demikian. Sebab, Khadijah mendapatkan pengetahuan ketuhanan langsung dari Baginda Nabi saw, sang maha guru sufi pertama. Namun, kemandirian spiritual istri al-Tirmidizi–sebagaimana Rabiah–menunjukkan peran sufi perempuan pada periode ini lebih sentral dibandingkan awal Islam.
Contoh lain berkenaan sufi perempuan dapat ditemukan dalam magnum opus Jalaluddin Rumi, yakni Matsnawi. Di sana disebutkan bahwa pada masa hidup sang sufi di Konya, ada seorang sufi perempuan yang dijuluki Fakhr Nisa (kegemilangan kaum perempuan). Di lingkungannya ia dikenal sebagai seorang perempuan suci yang dihormati dan disegani.
Di abad modern, peran sufi perempuan menjadi lebih konkret dan vital. Misalnya, Nahid Angha mendirikan Internasional Sufi Woman Organization, sebuah organisasi sufi perempuan dunia. Organisasi ini fokus pada program-program perdamaian dan pemberdayaan perempuan. Karena kontribusinya tersebut, Angha mendapatkan penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penyebutan sepintas tokoh-tokoh sufi perempuan pada naskah-naskah sufisme–sebagaimana disinggung di atas–memang memberi kesan keterpinggiran mereka dalam sejarah dan dinamika perkembangan tasawuf. Namun betapa pun miskinnya catatan-catatan tentang sufi perempuan, itu sudah cukup untuk membuktikan peran penting eksistensi sufi-sufi perempuan. Wallahu a’lam.