Dalam penulisan sejarah di Nusantara, tema perempuan memang belum banyak diminati dan mewarnai dinamika kehidupan masyarakat. Terutama kajian tentang kiprah perempuan ulama Nusantara. Bambang Purwanto dalam Gagalnya Historiografi Indonesiasentris mengungkapkan bahwa kondisi yang demikian tidak hanya terjadi di Nusantara. Wilayah muslim lainnya seperti Arabia, Asia Barat, Afrika Utara, India dan negara lain turut mengalami keterbatasan historiografi tentang perempuan.

Jika menilik sejarah perkembangan Islam pada masa awal, ulama-ulama perempuan sudah muncul dan turut andil membantu Nabi dalam berdakwah. Aisyah ra. bisa disebut sebagai representasi ulama perempuan di masa Nabi. Selain sebagai istri Nabi, beliau dikenal sebagai sahabat perempuan yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadis, fikih, sejarah, tafsir, dan ilmu astronomi.

Aisyah ra. yang diberi gelar Ummu al Mu’minin (ibu orang-orang beriman) adalah seorang perempuan yang memiliki pemikiran cerdas sejak muda. Banyak ilmu dari Nabi yang ia serap secara langsung. Misalnya dalam bidang hadis, Aisyah banyak sekali meriwayatkan hadis-hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkannya berjumlah 2.210 hadis.

Ia diakui sebagai orang yang paling pandai (faqih) di antara semua orang. Selain Aisyah ra., ulama perempuan periwayat hadis lainnya adalah Ummu Salamah, Maimunah, Asma’ binti Abu Bakar, Busrah bin Safwan, Ummu Athiyah, Ummu Waraqah binti Abdullah dan lain-lain.

Dalam konteks Nusantara, banyak perempuan-perempuan ulama hadir sepanjang sejarah peradaban Islam di Nusantara. Pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam, Sultanah Sri Sultan Tajul Alam Shafiatuddin Johar muncul sebagai sosok pemimpin kerajaan Aceh. Selain memegang tampuk kepemimpinan, Sultanah Shafia turut mengembangkan lembaga pengetahuan keagamaan baik Al Qur’an maupun hadis. Bahkan, ia mendapatkan dukungan dari ulama Aceh Nuruddin Ar Raniry.

Pada masa Kerajaan Mataram, Ratu Ageng muncul sebagai sosok perempuan tangguh dan cerdas. Ia merupakan sosok yang memiliki peran utama dalam mendidik Pangeran Diponegoro terutama dalam hal spirit keagamaan. Ratu Ageng adalah ulama yang gemar membaca kitab-kitab agama. Penganut tarekat Syattariyah dan belajar ilmu agama serta dari orang tua dan kakeknya yang juga seorang ulama dan mursyid tarekat.

Perempuan ulama lainnya adalah Ratu Kalinyamat. Ia adalah salah satu perempuan heroik yang gagah berani. Ratu Kalinyamat adalah salah satu putri Sultan Demak yang memerintah pada 1504-1546 M. Dalam ranah agama, Ratu Kalinyamat turut mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat Jepara kala itu. Beberapa kontribusi Ratu Kalinyamat sebagai upaya dakwah Islam di antaranya adalah mendirikan Masjid Mantingan pada 1559 M dan membentuk komunitas Islam santri di Jepara.

Tokoh lainnya adalah Nyi Ageng Serang. Memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi. Ia merupakan putri dari Pangeran Natapraja, penguasa daerah Serang, sebuah wilayah terpencil dalam Kerajaan Mataram, Jawa Tengah. Ngatawi El-Zastrow, seorang Budayawan Indonesia menyatakan bahwa selain dikenal sebagai sang patriot ahli taktik dan strategi perang, Nyi Ageng Serang juga merupakan sosok yang memiliki kedalaman ilmu agama dan pengamal tasawwuf yang taat.

Beranjak awal abad ke-20 muncul ulama perempuan Rahmah El Yunusiah dari Sumatera Barat yang mendirikan Diniyah School Putri pada 1 November 1923. Rahmah menggerakkan emansipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan menjadi juru mendakwahkan ajaran-ajaran Islam. Dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, Nyai Khoiriyah Hasyim tampil sebagai ulama perempuan yang mumpuni. Saat tinggal di Mekkah bersama suaminya, Kiai Abdul Muhaimin Al-Lasemi Nyai Khoiriyah mendirikan sekolah perempuan yang bernama Madrasah Banat.

Beberapa bukti kontribusi ulama-ulama perempuan di atas dari banyaknya perempuan ulama Nusantara yang tidak bisa penulis cantumkan satu per satu adalah bukti bahwa eksistensi keulamaan perempuan Indonesia sudah lama terpupuk dan mewarnai dinamika kehidupan muslim. Namun, studi ataupun kajian tentang ulama perempuan baik dalam bidang pendidikan maupun bidang yang lainnya tidak banyak menyebar di Indonesia.

Husein Muhammad dalam Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah menyatakan salah satunya penyebab minimnya informasi para perempuan ulama disebabkan keberadaan dan peran ulama perempuan terpinggirkan oleh sejarah yang dibangun secara sepihak selama berabad-abad.

Di sisi lain, minimnya informasi keberadaan ulama perempuan dikarenakan beberapa faktor. Yanuardi Syukur dalam The Rise of Female Ulama in Indonesia: A Gender Perspective menyebutkan tiga faktor utama, di antaranya:

Pertama, adanya pemahaman bahwa wilayah ulama adalah domain publik yang menjadi tanggung jawab laki-laki, sedangkan wilayah domestik adalah bidang kegiatan perempuan yang dibuktikan dengan referensi (buku teks) ulama (khususnya di pesantren).

Kedua, budaya patriarki dominan di Indonesia yang membuat berbagai sektor publik seperti politik, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki daripada perempuan dalam berbagai budaya (termasuk Indonesia) menjadi lebih rendah dari laki-laki.

Ketiga, tidak banyak ulama perempuan yang hadir di depan umum dan kemudian mendapat pengakuan dari lembaga atau masyarakat bahwa mereka layak disebut ulama perempuan. Sehingga tidak heran jika dewasa ini, kehadiran ulama perempuan belum menjadi perhatian khusus bagi sebagian besar masyarakat.

Minimnya informasi tentang perempuan ulama Nusantara ternyata tidak hanya dibangun berdasarkan asumsi patriarki yang dikonstruksi oleh budaya dan pemahaman agama saja.

Bersambung

Leave a Response