Asumsi patriarki ini tidak dibangun berdasarkan konstruksi budaya dan pemahaman agama saja. Dalam penulisan sejarah pengetahuan Islam, kehadiran perempuan tidak banyak terlihat. Sejatinya, perempuan banyak meninggalkan jejak baik secara intelektual maupun spiritual dalam mewujudkan tradisi ilmiah dalam Islam.

Fatima Mernissi, seorang sosiolog dari Maroko menyebutkan bahwa kaum perempuan muslim mampu memasuki masa modern dengan begitu bangga. Hal tersebut karena perjuangan meraih kemuliaan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia dalam bidang politik dan sosial tidaklah bersumber dari barat. Tetapi murni bagian dari tradisi Islam.

Pengamatan tersebut ia dapatkan setelah banyak membaca karya para ulama seperti Ibn Hisyam, Ibn Hajar, Ibn Sa’ad dan ulama lainnya. Hal ini menjadi bukti kebanggaan baginya bangga bahwa pada masa lampau, Islam sangat mengakui dan menghargai hak-hak asasi secara penuh kepada perempuan.

Hal ini pula yang melatarbelakanginya untuk menulis sebuah karya tentang peran para perempuan penguasa pada masa kejayaan Islam yang berjudul The Forgotten Queens of Islam. Terdapat kisah Benazir Butto, Syajaratuddur, Kamalat Syah, dan lain-lain. Penelitiannya ini menjadi salah satu referensi berharga atas prestasi politik yang pernah diraih perempuan dalam sejarah Islam.

Ulil Abshar Abdallah turut memberikan argumentasi bahwa masa awal Islam muncul banyak sekali perempuan berpengetahuan yang aktif berdakwah dan tidak hanya tunduk pada otoritas laki-laki saja. Amat disayangkan bahwa perkembangan peradaban Islam pada periode berikutnya, pada masa yang dikenal sebagai “periode klasik” dan pasca-klasik, menyaksikan pemandangan lain: merosotnya peran para “bunyai” ini.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa lanskap intelektual Islam pada abad-abad belakangan makin ditandai dengan, jika memakai istilah sekarang, “all-male-panelists”, pembicara yang laki-laki semua. Merosotnya peran perempuan dalam perkembangan belakangan ini jelas kontras dengan masa-masa awal Islam yang menyaksikan sosok-sosok perempuan yang lebih “assertive”.

Boleh jadi ada banyak perempuan ulama berilmu yang tidak tercatat dalam sejarah. Hal senada juga diungkapkan Helmi Ali Yafie dalam Jejak Perjuangaan Keulamaan Perempuan di Indoesia. Bahwa tampaknya memang ada problem dengan penulisan sejarah. Karena tidak adanya catatan atau tulisan yang memadai sumber pengetahuan, maka gebrakan keulamaan perempuan yang memperjuangkan kepentingan perempuan tidak cukup memiliki gaung.

Dalam sejarah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia, terjadi kebekuan gerakan keulamaan perempuan terutama terjadi setelah Orde Baru yang otoriter dan represif berkuasa, sejak pertengahan tahun 1960-an. Bisa jadi, banyak ulama perempuan melakukan gerakan dengan perspektif perempuan namun tidak mendapat perhatian dalam penulisan sejarah.

Hadirnya peran perempuan-perempuan ulama Nusantara di masa lalu menjadi catatan penting bersejarah dalam kehidupan masyarakat muslim Nusantara. Beberapa hal yang membangun asumsi patriarkis sebagaimana yang dipaparkan di atas, harus menjadi dasar bagi setiap individu untuk terus melakukan upaya-upaya dalam menampakkan dan mengembangkan kembali eksistensi para perempuan ulama.

Harus kita akui, nama-nama perempuan yang masyhur kita ingat pada umumnya adalah mereka yang berjuang dalam melawan penjajah sebelum masa kemerdekaan atau penggerak pendidikan perempuan. Seperti R.A. Kartini, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika dan lain-lain.

Hal ini tidak menjadi salah. Namun  ada hal yang harus dikritisi. Bahwa perempuan memiliki peran sangat besar di ranah domestik dalam keluarga. Meskipun perempuan bergerak di belakang layar, tetapi merekalah sejatinya pencetak generasi cerdas bangsa. Kontruksi ranah domestik yang menjadi kekuatan perempuan ini juga menjadi satu hal yg mesti dikembangkan dalam penulisan sejarah.

Selain itu, ada beberapa hal yang dapat masyarakat lakukan sebagai upaya menguatkan peran perempuan ulama Nusantara. Sebagaimana penulis sarikan dari pemikiran Hj.  Badriyah Fayumi sebagai berikut:

Pertama, pengakuan yang wajar dan proporsional atas kontribusi konkret yang dilakukan oleh para perempuan ulama Nusantara. Perempuan ulama itu ada dan nyata sumbangsihnya untuk agama, umat, masyarakat, dan bangsa.

Kedua, menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan baik kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki misi profetik sebagai pewaris Nabi.

Ketiga, menghadirkan dan meningkatkan rekam jejak perempuan ulama Nusantara dalam bentuk kajian-kajian intelektual seperti buku, jurnal, dan lain-lain. Hal ini adalah ikhtiar untuk membuat para perempuan ulama terus melangkah dan bergerak maju.

Pada akhirnya, ragam jejak perjuangan para perempuan ulama Nusantara untuk meneguhkan nilai-nilai keislaman dan mendedikasikan pemikirannya bagi bangsa dapat menjadi bahan refleksi bagi kita semua untuk semangat meningkatkan kualitas diri. Menjadi inspirasi dan motivasi untuk meningkatkan kualitas eksistensi perempuan ulama Nusantara. Wallahu a’lam.

Leave a Response