Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: “Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah” mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argument prinsip “Sadd al-Dzari’ah” (menutup pintu kerusakan).
Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dan aktifitas mereka di ruang publik, dipandang bisa atau berpotensi menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral.
Kata “Fitnah” yang secara genuin bermakna cobaan atau ujian diri, berubah menjadi bermakna menggoda. Ya menggoda hati laki-laki. Bahkan berkembang menjadi “kekacauan sosial”.
Dua kata sakti itu: “Fitnah” dan “Sadd Fzari’ah” yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya: “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”.
Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik” secara Terstruktur, Sistemik dan Massif (TSM).
Pandangan ini muncul menyusul kehancuran peradaban kaum muslimin akibat serbuan tentara Mongol ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tahun 1256 M. Kehancuran di wilayah kekuasan Islam ini diikuti oleh kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M.
Akan tetapi, sejumlah peneliti berpendapat bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahuan secara khusus, sesungguhnya lebih disebabkan oleh kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir serta hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan.
Proses sejarah peradaban Islam berlangsung stagnan, beku. Yang terjadi adalah pengulang-ulangan yang terus menerus, dan peniruan. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Marjinalisasi dan subordinasi menjadi massif dan terstruktur. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, sekitar 7 abad.