Suatu ketika, seorang sufi besar pada abad 9 M, Dzun Nun al-Mishri, menolak sebuah hadiah pemberian dari seseorang. Dzun Nun menolak hadiah tersebut karena si pemberinya adalah seorang perempuan.

Ia dengan lugas menampik sesuatu yang diberikan oleh perempuan. Entah atas dasar apa Dzun Nun mesti menolak hadiah dari seorang perempuan, tetapi cukup jelas bahwa ia akan menerima hadiah tersebut bila si pemberi bukanlah seorang perempuan.

Dengan cukup bijak, si perempuan itu memberi teguran yang menyentil kepada Dzun Nun untuk lekas meninjau ulang persoalan-persoalan dasar dalam tasawuf yang barangkali ia sudah lupakan. Bahwa seorang sufi semestinya tidak melihat sesuatu yang tampak di hadapannya secara fisik, melainkan seharusnya hanya memandang Sang Pemberi Sejati di baliknya, yakni Allah.

Perempuan tersebut adalah Fathimah al-Nishapur, seorang putri dari orang terhormat di Balkh. Ia dikenal telah meninggalkan gelimang dan gemerlap kehidupan duniawinya untuk menempuh perjalanan spiritual dalam dunia tasawuf.

Meskipun tak dapat dipahami secara pasti, kita dapat menafsirkan bahwa penolakan Dzun Nun atas pemberian seorang perempuan merupakan stereotip gender yang memang masih lazim kala itu.

Bukannya dalih semacam itu menjustifikasi posisi Dzun Nun sebagai laki-laki, malah Fathimah al-Nishapur merobohkan keangkuhan gender semacam itu dengan mengajaknya menilik ulang konsep dasar dalam tasawuf. Tentu saja Dzun Nun terhentak, bukan hanya karena Fathimah ternyata lebih tahu darinya, melainkan juga karena Dzun Nun sendiri menyalahi prinsip dasar dalam tasawuf.

Fathimah al-Nishapur juga dikenal sebagai ulama perempuan pada masanya yang dihormati karena ahli dalam menyigi makna-makna terdalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dia menghabiskan waktunya untuk beribadah di Makkah. Selain sezaman dengan Dzun Nun, Fathimah juga sezaman dengan seorang sufi besar lainnya, Abu Yazid al-Bisthami.

Tak dapat dipungkiri bahwa selain Rabi‘ah al-Adawiyah, Fathimah al-Nishapur merupakan salah seorang sufi perempuan yang terbesar pada zamannya. Hal ini ditegaskan sendiri oleh pengakuan Abu Yazid, “Semasa hayatku, aku hanya melihat seorang sufi laki-laki sejati dan seorang sufi perempuan sejati.” Seorang sufi perempuan sejati itu tidak lain dan tidak bukan adalah Fathimah al-Nishapur.

Menurut Abu Yazid, tidak ada pengalaman-pengalaman spiritual yang ia bincangkan dengan Fathimah kecuali bahwa Fathimah sudah mengalaminya sendiri. Selain itu—barangkali salah satunya karena wanti-wanti Fathimah terhadap Dzun Nun di muka—Dzun Nun, ketika ditanya, “Siapa orang yang luar biasa yang pernah kamu temui?”, menjawab, “Aku belum pernah menemui orang yang lebih luar biasa dari seorang perempuan yang kutemui di Makkah, perempuan yang bernama Fathimah dari Nishapur.”

Dzun Nun sendiri merupakan murid dari Fathimah karena ia cukup sering meminta nasihat-nasihat spiritual darinya. Selain dari relasi semacam itu, Dzun Nun juga pernah berkata, “Fathimah adalah kekasih di antara kekasih-kekasih Tuhan, dia juga adalah guruku (ustadzi).” Sementara, hubungan Fathimah dengan Abu Yazid adalah hubungan persahabatan dalam jalan spiritual.

Fathimah merupakan perempuan sufi yang tidak berprinsip selibat sebagaimana Rabi‘ah al-Adawiyah. Ia menikah dengan seorang sufi juga yang bernama Ahmad bin Khidruya. Sebagai sepasang suami-istri, selain relasi biologis yang berlangsung di antara keduanya, sebenarnya mereka juga membangun relasi spiritual dalam rumah tangganya.

Bahkan, Fathimah diakui sebagai guru dari suaminya karena telah “membimbing” suaminya dalam persoalan-persoalan praktik spiritual. Tentu saja hal ini tampak revolusioner, bahwa meskipun secara tatanan sosial di masyarakat suami Fathimah adalah imam, tetapi dalam ranah spiritualitas yang menjadi imam ialah Fathimah.

Salah seorang sufi lainnya pada masa itu, Abu Hafs al-Haddad, tersentil dengan hal semacam itu. Abu Hafs adalah seorang sufi, yang entah mengapa, tidak suka mendengarkan omongan perempuan. Namun, setelah bertemu Fathimah, ia berkata, “Aku jadi paham, bagaimana pun juga, Tuhan memberikan ilmu makrifat kepada siapa pun yang Dia kehendaki.”

Persahabatan Fathimah dengan sufi-sufi besar pada masa itu mengundang kecemburuan dari suaminya. Tentu saja Fathimah mengklarifikasi persoalan itu. Ia menjelaskan bahwa bagaimana pun juga, tak perlu ada yang dicemburui, bahwa hubungannya dengan para sufi lain itu hanyalah kekariban spiritual, sedangkan hubungan dengan suaminya merupakan kekariban natural sekaligus spiritual.

Di sini sebenarnya Fahimah meninggalkan jejak gagasan yang cukup jelas ihwal pernikahan. Baginya, pernikahan tidak serta-merta membuat seseorang abai dengan jalan spiritual. Begitu juga sebaliknya, jalan spiritual tidak sekonyong-konyong melenakan seseorang untuk hidup membujang selamanya.

Persahabatan Fathimah dengan para sufi tetap berlanjut. Akan tetapi, persahabatannya dengan Abu Yazid memudar karena pada saat mereka bercakap-cakap perihal spiritualitas, Abu Yazid, entah secara sengaja atau tidak, melihat tangan Fathimah yang dihiasi oleh inai atau pacar, dan Abu Yazid menanyakan hal itu. Tentu saja Fathimah sebal dengan tingkah Abu Yazid.

Sebelumnya, hubungan Fathimah dengan Abu Yazid yang hanya berorientasi ilahiah ini kemudian disadari oleh Fathimah telah berubah pada ihwal penampilan lahiriah. Tentu saja bagi Fathimah hal itu mencemari relasi spiritual mereka.

Lebih dari itu, kedua sahabat yang sebelumnya sama-sama menempati posisi “subjek” dalam membincangkan jalan ketuhanan ini porosnya bergeser menjadi di mana Fathimah merasa menjadi objek karena penampilan fisiknya diobjektivikasi oleh Abu Yazid. Persisnya, Fathimah tidak mau menjadi objek.

Dengan demikian, bahwa hujah atas kesetaraan perempuan dan laki-laki secara spiritual sejak masa itu dengan gamblang ditunjukkan oleh kehadiran Fathimah al-Nishapur. Kehadirannya dalam dunia tasawuf telah membongkar stereotip sosial dan bias gender yang kadung mapan pada masa itu.

Fathimah wafat pada tahun 838 M ketika ia menunaikan ibadah umrah. Meskipun secara fisik Fathimah al-Nishapur telah pungkas, kecemerlangan kesufiannya yang mendemonstrasikan egalitarianisme tetap terus membekas.

Abu Abd ar-Rahman as-Sulami. 1999. Early Sufi Women, trans. Rkia Elaroui Cornell. T.t. Fons Vitae

Annemarie Schimmel. 1997. My Soul is A Woman. New York: Continuum

Camille Adams Helminski. 2003. Women of Sufism: A Hidden Treasure. Boston & London: Shambala

Farid al-Din Attar. 2000. Muslim Saints and Mystics, trans. A. J. Arberry. Iowa: Omphaloskepsis

 

Leave a Response