Di paruh awal abad 21 ini, gerakan kesetaraan gender dan feminisme telah merabak hampir di setiap negara. Beralihnya dari monarki ke fase negara bangsa—nation state—telah memberi angin positif terhadap keadilan bagi perempuan.

Budaya patriarki pelan-pelan mulai mereda, tergantikan dengan budaya yang berkesetaraan. Buktinya, mulai banyak perempuan yang menekuni profesi yang selama ini diasosiasikan sebagai profesi laki-laki.

Sebut saja arena politik. Berlimpah perempuan yang telah menjabat sebagai presiden, perdana menteri, atau jabatan lainnya. Di wilayah pendidikan, sekarang, laki-laki dan perempuan memperoleh akses dan fasilitas yang sama.

Pun demikian di sektor ekonomi, telah menunjukkan bahwa perempuan juga berhak untuk berkerja dan berpenghasilan.

Itu gambaran hari ini. Yang menjadi pertanyaannya, apakah semua hal di atas itu telah menjadi bukti rigid bahwa kesetaraan gender sudah terlaksana secara mumpuni?

Kenyataannya, masih banyak ditemui ketimpangan di masyarakat kita. Dan ini, biasanya dianggap hal kecil dan remeh temeh. Padahal, memiliki efek yang cukup menjerakan.

Dalam sebuah buku bertajuk “Dikuasai Kata-Kata”, Ahmad San mengupas, ternyata dalam segi gramatikal pun perempuan masih dinomorduakan. Lihat saja, dalam perilaku seks yang asusila, KBBI menuliskan sembilan kata yang berkonotasi buruk untuk perempuan: pelacur, wanita tunasusila, sundal, lonte, jobong, jalang, cabo, manci, dan gundik.

Sebaliknya, laki-laki terwakilkan oleh satu kata: gigolo. Padahal, laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk berbuat asusila.

Tentu, itu bentuk pelecehan yang terstruktur. Maksudnya, KBBI hanyalah sebuah kamus yang merekam bahasa yang berkembang di masyarakat. Artinya, pelecehan tersebut diawali oleh konstruk dari buruknya budaya masyarakat yang lalu dicatat dalam KBBI.

Namun, peran dari pekamus (leksikograf) juga tidak bisa dinafikan. Misalnya kata pelacur, KBBI mendefinisikannya sebagai “perempuan yang melacur”. Sementara itu, perbuatan lacur sendiri juga bisa dilakukan oleh laki-laki.

Kenapa musti diartikan “perempuan yang melacur”, bukan malah diartikan sebagai “seseorang yang melacur”?

Lalu, di ranah keseharian turut mengalami hal yang sama. Banyak tata bahasa yang memiliki stigma buruk kepada perempuan ketimbang laki-laki.

Misalnya dari pertanyaan, “Kapan kawin?” atau kalimat “Perawan Tua”, “Perempuan tuh harus bisa masak”, “Laki-laki kok dandan, kayak cewek aja”, “Perempuan tuh nggak boleh berkata kasar!”, sampai “Cowok kok nggak ngerokok, kayak cewek aja”.

Buruknya lagi, misal ketika ada perempuan yang mau tampil eksis di publik sebagai pemimpin, masih saja banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa itu salah, bahwa itu bukan kodratnya. Malahan, ada yang menyeret agama sebagai alasannya, yakni Tuhan telah menakdirkan laki-laki sebagai imam perempuan, bukan sebaliknya.

Sejatinya, itu pemahaman yang salah. Mana mungkin, Tuhan yang bersifat Maha Adil, memberikan ajaran (agama) yang justru tidak berkeadilan? Ini adalah nalar fallacy.

Sungguh, jika laki-laki beriman dengan sepenuh hati, maka, juga akan menganggap bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama. Itu pernyataan logisnya. Konklusinya, jika terjadi ketimpangan gender, itu berasal dari kesalahan manusia dalam memahami agama, bukan kesalahan dari ajaran agamanya.

Dalam surat at-Taubah ayat 71, Allah SWT berfirman, “Dan, orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong yang lain…..”

Dalam surat al-Hujurat ayat 13 juga demikian, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal.”

Selain itu, surat al-Isra ayat 70 turut mengutarakan hal yang sama, “Dan, sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”

Ketiga ayat di atas, sama sekali tidak membedakan perihal derajat manusia. Di mata Tuhan, perempuan dan laki-laki adalah sama. Tidak ada yang lebih rendah satu sama lain. Mereka sama sederajat. Hal ini juga diamini oleh KH Husein Muhammad. Kata beliau:

Sebagai manusia, perempuan memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki. Dengan kata lain, perempuan memiliki kekuatan fisik, akal pikiran, kecerdasan intelektual, kepekaan spiritual, hasrat seksual, dan sebagainya. Potensi-potensi ini, Tuhan berikan kepada semua manusia (red. tanpa membedakan gender) sebagai bekal dalam menjalankan amanat Tuhan. Yakni sebagai khalifatulah di bumi.”

Perbedaan yang mencolok antara perempuan dan laki-laki, sebenarnya hanya terletak dalam fisiologis fisiknya saja. Perempuan dikodrat untuk hamil dan melahirkan. Laki-laki diberi kekuatan tubuh, supaya dapat menjaga perempuan dari bahaya.

Selain daripada itu, suami diwajibkan untuk menafkahi istrinya, karena si istri memiliki peran hamil hingga mengurus dan menyusui anak-anaknya.

Hal itu merupakan konsep Islam yang berkeadilan. Dalam rumah tangga, mereka memiliki peran yang berbeda karena untuk saling melengkapi serta saling bermusyawarah. Dan jika itu dijalankan dengan sebenar-benarnya, maka percekcokan dalam rumah tangga tidak akan terjadi.

Ini sesuai dengan perkataan seorang sastrawan, “Bukankah pernikahan adalah ketika dua hati, dua perasaan, saling bersatu dan saling melengkapi?”

Perihal laki-laki sebagai pemimpin perempuan, banyak pendapat dari para ulama. Al-Ghazali dalam karyanya yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Hadis berkata bahwa seorang yang akan ditunjuk sebagai khalifah atau kepala negara adalah yang paling memiliki kapasitas dalam mengurusi umat. Entah perempuan atau laki-laki.

Memang benar laki-laki memiliki hak untuk memimpin perempuan, tapi kebanyakan ulama membatasi hanya dalam lingkup rumah tangga. Selain itu, mereka memiliki hak dan potensi yang sama dalam melaksanakan perintah Tuhan sebagai Khalifatullah fi al-Ard.

Bahkan ketika memimpin rumah tangga sekalipun, dalam Kitab Uqud al-Lujjain karya Syekh Nawawi al-Bantani, diterangkan bahwa karena laki-laki sebagai pemimpin, maka berkewajiban untuk mendidik istri dan menafkahinya.

Selain itu, ketika terjadi suatu permasalahan, haruslah dimusyawarahkan, bukan mentang-mentang suami sebagai kepala rumah tangga lalu mengambil keputusan sendiri. Itu tidak betul.

Sehingga, dengan dijalankannya prinsip-prinsip Islam secara benar, maka keadilan dan kesetaraan gender pun dengan sendirinya akan terwujud, karena hal itu bersifat linier. Dan pada hilirnya, benar-benar akan terbentuk budaya masyarakat yang benar-benar beradab dan berkeadilan.

Leave a Response