Hj. Enung Nursaidah Ilyas atau biasa disapa dengan sebutan Teh Enung merupakan cucu dari pendiri Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya. Putri bungsu dari Ajengan Ilyas Cipasung ini merupakan perempuan hebat yang giat memperjuangkan hak-hak perempuan dan terus mengawalnya. Selain mengurus santri, mengajar biologi, Teh Enung menjadi kepala lembaga pendidikan menengah farmasi dan keperawatan.

Teh Enung aktif sebagai pengurus Fatayat NU tingkat kabupaten dan provinsi. Aktif dalam kelompok kerja pemerintah kabupaten dalam memberantas kekerasan terhadap perempuan, dan bekerja di komisi kesehatan reproduksi kabupaten Tasikmalaya. Ia tercatat sebagai salah satu Tokoh Inspirasi pada buku Dari Inspirasi Menjadi Harapan: Perempuan Muslim Indonesia dan Kontribusinya kepada Islam yang Pluralis dan Damai.

Penulis buku itu mengatakan bahwa di wilayah Tasikmalaya, terlalu sulit menemukan orang lain yang lebih aktif terlibat dalam debat sosial dan politik mengenai gender, Islam, dan keadilan sosial, selain dirinya. Dari berbagai aktivitasnya, yang paling menonjol adalah saat ia mendirikan PUSPITA, yaitu Pusat Krisis untuk Perempuan pada tahun 2004 di rumahnya.

Teh Enung mendirikan Puspita untuk pelayanan kemanusiaan kepada masyarakat khususnya kaum perempuan. Suaminya, Dokter Jajang, turut membantu dalam memberikan pelayanan kepada perempuan korban kekerasan. Mulai dari pelayanan medis, psikososial, nasihat spiritual, bantuan hukum, hingga akomodasi. Bahkan Teh Enung melobi para pembuat keputusan dan pejabat pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik untuk kaum perempuan.

Puspita menjadi pelindung bagi kaum perempuan khususnya di lingkungan Teh Enung tinggal, dari berbagai jenis diskriminasi seperti kekerasan dalam rumah tangga. Baik itu berupa serangan fisik, kekerasan mental, seksual, pemerkosaan, penelantaran dan eksploitasi.

Semua pelayanan Puspita tidak dikenakan biaya apapun, termasuk yang tinggal di tempatnya. Sejak 2004, Puspita telah menangani 221 kasus kekerasan dan datanya menjadi rujukan pemerintah Tasikmalaya.

Tidak berhenti di sana, untuk mempertahankan eksistensi Puspita Teh Enung membangun koalisi dengan dua puluh pesantren di wilayahnya. Kerja sama dengan rumah sakit-rumah sakit, dengan berbagai pihak baik lembaga pemerintah maupun legislatif, juga membangun jaringan dengan laki-laki yang mendukung filsafat dan pendekatan yang digunakan Puspita.

Teh Enung mendiskusikan pandangan tentang kesetaraan gender, perjuangan Puspita melawan kekerasan dalam rumah tangga dan pandangannya soal agama sebagai dasar untuk keadilan sosial.

Kepedulian Teh Enung dalam mendirikan Puspita di lingkungan pesantren diharapkan menjadi model bagi pesantren lain dalam upaya merespons berbagai persoalan ketimpangan gender dalam masyarakat Muslim tradisional. Bagi Teh Enung, memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah bagian dari agama.

Teh Enung dalam berbagai kesempatan baik ketika berceramah, mengajar, maupun bekerja, selalu menekankan pentingnya kesetaraan gender dan hak perempuan. Di antara komponen yang dapat mewujudkan hal tersebut, menurut Teh Enung, adalah pendidikan, memperbaharui praktik budaya, keagamaan, dan penafsiran keagamaan.

Di pesantren Cipasung sendiri, asrama perempuan ditempatkan di keluarga-keluarga sekitar pesantren. Hal ini mempertimbangkan bahwa anak perempuan lebih memerlukan dukungan dan perlindungan. Dalam upayanya menafsir ulang teks keagamaan, Teh Enung mengkaji ulang kitab kuning yang menjadi salah satu sumber pelajaran tradisional di pondok pesantren.

Ia bekerja sama dengan berbagai organisasi, salah satunya organisasi yang dipimpin oleh Ibu Sinta Nuriyah, Puan Amal Hayati. Puan Amal Hayati adalah LSM yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan berbasis pesantren. Bersama Puan Amal Hayati, Teh Enung menyebarkan buku pelajaran Islam alternatif terkait relasi antara perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga.

Buku tersebut mengurai penafsiran keagamaan yang mendukung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan melalui terminologi keagamaan dan teologis. Buku yang dicetak dalam bahasa Arab dan Indonesia itu kini banyak digunakan di sekolah sebagai referensi.

Contoh rumusan ulang dalam buku tersebut di antaranya mengenai kebolehan suami memukul istri. Bunyi ketentuan lamanya adalah: ‘Seorang suami bisa memukul istri-istrinya jika mereka tidak patuh dan jika mereka menolak menghias diri untuk menyenangkannya’.

Sedangkan bunyi rumusan ulangnya adalah: ‘Nabi Muhammad tidak pernah memukul istri-istrinya. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun laki-laki tidak diperbolehkan memukul istri-istri mereka’.

Di atas dua pilar tersebutlah Teh Enung berdiri. Ia tampil sebagai pemimpin perempuan yang modern di dalam masyarakat tradisional yang didominasi laki-laki. Teh Enung menekankan bahwa Islam, hak asasi manusia, dan toleransi bisa berjalan beriringan.

Bagi Teh Enung, berjuang untuk keadilan gender adalah jalan untuk mendekat kepada Tuhan sekaligus memberikan wajah Islam yang rahmatan lil alamin.

Nursyahbani Katjasungkana, Ratna Batara Munti dalam buku Dari Inspirasi Menjadi Harapan: Perempuan Muslim Indonesia dan Kontribusinya kepada Islam yang Pluralis dan Damai.

Leave a Response