Di wilayah Arab, Timur Tengah dan sekitarnya, perihal penyebutan nama, tradisi orang-orang zaman dahulu memiliki kearifan yang unik. Selain sisipan Abu dan Ibn di awal nama, mereka juga kental dengan penisbatan daerah kelahiran serta imbuhan julukan di akhirannya.

Ragam nama itu sering kita temui di buku-buku sejarah maupun hikayat orang-orang bijak. Taruhlah seperti Abu Yazid Al-Busthomi yang memiliki nama asli Taifur. Kemudian, Ibn Rusyd yang menyandang nama asli Muḥammad. Lalu juga ada tokoh sufi agung – Jalaluddin Rumi Al-Balkhi yang dinisbatkan kepada daerah asalnya yaitu kota Balkh, Afghanistan. Sedang, berkenaan dengan julukan saya jumput contoh Harits Al-Muhasibi. Dan nama terakhir inilah yang saya coba kupas sedikit riwayatnya.

Bila ditelaah dari disiplin keilmuan shorof (morfologi kata), Al-Muhasibi merupakan  bentuk Isim Fail, bermakna orang yang introspeksi.

Sebelum tersohor sebagai Harits Al-Muhasibi, Ia berkuniyah – mempunyai panggilan kehormatan dalam tradisi Arab sebagai Abu Abdullah Al-Harits bin Asad Al-Bashri. Karir intelektualnya dimulai sejak belia saat kepindahanya ke kota Bagdad. Di sana ia belajar bermacam disiplin keilmuan, mulai hadis hingga teologi.

Tentunya menarik apabila disingkap bagaimana disiplin diri sufi asal Basrah ini sehingga di kemudian hari lebih tenar dijuluki  Harits Al-Muhasibi dalam dunia mistik Islam. Kisah ini sudah sangat popular dan santer diceritakan di berbagai majelis ilmu.

Abul Qosim Junaid sendiri mengisahkan. Suatu hari Murobi Harits Al-Muhasibi mengunjungiku dan tampaknya dalam kondisi lapar.

Wahai pamanku, tidak kah engkau masuk ke rumahku terlebih dahulu dan memakan barang sedikit apa yang ku punyai,” tawar Abul Qosim.

Baiklah dengan senang hati,” jawab Al-Muhasibi.

Masuklah Al-Muhasibi, sedang Abul Qosim undur diri ke belakang mengambilkan sesuatu di bilik lemari. Akan tetapi, yang ada hanyalah sisa-sisa makanan hantaran dari perayaan perkawinan untuk makan malam. Oleh Abul Qosim Junaid, diambil lah hidangan itu lalu disuguhkan kepada Al-Muhasibi.

Namun, ketika hendak mengambilnya, tangan Al-Muhasibi sontak mengejang dan tak bisa digerakkan. Sempat ia memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya tetapi tak bisa ditelan biar bagaimanapun carannya, sekalipun dipaksakan. Setelah beberapa lama mengunyahnya, ia berdiri dan beranjak ke luar, meludahkannya  di serambi, lantas pulang.

Belakangan Abul Qosim Junaid bertanya kepada Al-Muhasibi, apa gerangan yang sebenarnya terjadi tempo hari?

Ia berkata, ‘Waktu itu aku memang lapar sangat dan ingin menyenangakan hatimu.  Namun, Allah memberi pertolongan kepadaku serta memberi isyarat khusus sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak kuasa melewati tenggorokanku. Sementara jemariku tiada berkenan menyentuhnya. Aku telah berusaha sekuat daya upaya menelannya, tetapi tetap saja sia-sia.”

Menengok sepenggal kisah di atas, kita akan maklum bahwasanya kelebihan yang melekat di diri Al-Muhasibi ini merujuk pada arti nama aslinya yaitu Al-Harits – seorang penjaga. Allah senantiasa melindungi dan menjaga dirinya dari arah manapun, segala sesuatu yang belum jelas statusnya (syubhat) atau kehalalannya masih dipertanyakan.

Kali lain diceritakan, saking begitu kuatnya dalam bermuhasabah diri, sehingga dari arah inilah julukan Al-Muhasibi itu muncul. Ia pula berkata, “Bagiku, siapapun saja tidak bisa disebut sebagai ahli muhasabah apabila belum mampu mengamalkan kesepuluh kiat ini.”

Pertama, tidak pernah bersumpah atas nama Allah baik dalam keadaan benar atau bohong, baik secara sengaja dan lupa sekalipun. Kedua, mencegah diri dari laku bohong. Ketiga, meninggalkan sikap tidak menepati janji; sekiranya mampu, supaya menepatinya. Akan tetapi, apabila tidak kuasa jangan pernah mengadakan janji.

Keempat, menanggalkan sikap mengutuk apabila melihat suatu bentuk kezaliman. Kelima, jangan pernah mendoakan orang yang telah berbuat buruk kepadamu baik ucapan maupun perbuatan.

Keenam, berhenti memberikan kesaksian atas kekafiran, kesyirikan atau kemunafikan sesorang. Sikap ini termasuk rahmat dan belas kasih padanya serta jadi jalan untuk berada jauh dari murka Allah swt. Ketujuh, meninggalkan segala jenis laku maksiat baik yang zahir dan batin. Kedelapan, berhenti mengeluh atau sambat karena seseorang baik sedikit atau pun banyak. Kesembilan, berhenti tamak pada manusia dan jangan pernah berharap pada mereka.

Kesepuluh, tidak melihat diri sendiri lebih utama daripada siapapun dan jangan punya keyakinan diri sendiri lebih baik dibandingkan orang lain karena nasib akhir seseorang tidak ada yang tahu. Jika sekarang kamu termasuk calon ahli surga (bahagia), boleh jadi kamu bisa celaka pada akhir hidupmu. Dan begitu juga sebaliknya, jika kamu termasuk ahli neraka (celaka), boleh jadi di akhir hidupmu kamu jadi golongan yang bahagia.

Sebagaimana firman Allah berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik….” (QS Al-Hujurat Ayat 11).

Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya karya Fariduddin Attar

 

 

 

 

 

 

Leave a Response