Gus Baha yang memiliki nama lengkap KH. Bahauddin Nursalim, dalam acara “Ngaji Bareng Gus Baha” yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjelaskan bahwa salah satu ciri utama dari kemenangan Islam ialah adanya otoritas kebenaran yang memiliki kekuatan yang tamkin (kokoh), sehingga mampu menjadi kontrol terhadap tindak keburukan dan kebatilan.

Bukan sebaliknya, yakni justru pelaku tindak kebatilan yang mendikte orang-orang yang memegang teguh kebenaran. Jangan hanya karena takut, lantas otoritas kebenaran rela untuk melegalkan tindak kebatilan. Ciri tersebut, menurut Gus Baha, juga berlaku pada kebenaran-kebenaran yang lain.

Beliau kemudian mencontohkannya dengan kekuatan yang kokoh untuk menjaga kebenaran otoritatif yang ada pada Al-Qur’an. Kebenaran otoritatif dalam Al-Qur’an perlu dikawal, supaya jangan sampai ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sebenarnya memuat kebaikan justru dibajak oleh orang-orang yang bukan ahlinya.

Maksud dari dibajak ialah disalahgunakan. Sedangkan maksud dari bukan ahlinya, menurut beliau ini bermacam-macam, mulai dari yang tidak mencintainya tapi menghafal, orang munafik yang membelokkan maknanya, dan lain sebagainya.

Karena jika dibajak oleh yang bukan ahlinya, dikhawatirkan ilmu Al-Qur’an dapat menjadikan fitnah. Di antara hal yang paling dikhawatirkan Rasulullah ialah fitnah Al-Qur’an.

Adapun alasannya adalah ketika Al-Qur’an dibuka secara transparan, maka ia membebaskan orang baik maupun orang munafik untuk membacanya. Sehingga tidak menutup kemungkinan Al-Qur’an dipelajari orang munafik untuk membantah argumentasi kebenaran yang disampaikan oleh orang baik.

Terkait orang munafik yang demikin, Sayyidina Umar bin Khattab pernah berpidato dan menjelaskan bahwa orang yang demikian itu hanya alim di lisannya, tetapi jahil di hati dan amalnya. Berikut adalah redaksi pidato yang dimaksud, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.

“Sesungguhnya yang paling mengkhawatirkan dari yang aku khawatirkan menimpa umat ini ialah orang munafik yang pintar. Sahabat bertanya: Bagaimana bisa seseorang menjadi munafik yang pintar? Umar menjawab: Yaitu orang yang pandai di lisannya, tetapi jahil di hati dan perilaku.”

Gus Baha menyebutkan contoh ketika Rasulullah menjelaskan qadha dan qadar, bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Allah, dan jika Allah tidak berkehandak maka tidak akan terjadi (masyaallahu kana, wa man lam yasya’ lam yakun), beliau justu didebat oleh orang-orang kafir.

Mereka membalikkan bahwa yang mereka alami, yakni menjadi musyrik, merupakan bagian dari kehendak Allah. Sehingga bukan kuasa bagi mereka untuk mengubah takdir yang menimpa mereka itu. Jawaban tersebut juga terdokumentasikan dalam Al-Qur’an surah Al-An’am [6] ayat 148.

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun”. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?” Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah berdusta.” [Q.S. Al-An’am (6): 148]

Contoh lain ialah berkenaan dengan ilmu sosial dengan masih memainkan  qadha dan qadar Allah Swt. Ketika Nabi Muhammad mengimbau orang-orang kafir untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan, mereka justru menjawab Nabi bahwa kemiskinan orang lain itu ialah sudah sejalan dengan kehendak Allah Swt.

Karena andai Allah hendak memberi makan kepada orang miskin, hal itu tentu sangat mungkin terjadi. Sehingga tidak mugkin bagi mereka untuk mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.

“Dan apabila dikatakakan kepada mereka: ‘Nafkahkanlah sebahagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu!’ Maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: ‘Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata’.” [Q.S. Ya-Sin (36): 47]

Oleh karenanya, Gus Baha lantas membeberkan tentang pentingnya mengelola ilmu supaya jangan sampai disalahgunakan. Beliau pun menuturkan bahwasanya sebaik apapun ilmu jika berada di tangan orang yang tidak baik, maka bisa menjadi tidak baik. Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Response