Semakin pesatnya teknologi, kini kita mudah sekali mendapat berita. Kita juga bisa membagikan berita itu pada kerabat dengan sekali perintah di gawai pribadi.
Namun, bisa kita perhatikan, tidak semua berita itu benar atau terkadang hanya hoax. Bahkan kecenderungan berita juga berperan untuk menggiring manusia pada keburukan dam kesesatan. Oleh karenanya, kita dituntut untuk senantiasa memverifikasi berita yang kita peroleh, jika berita itu mencurigakan.
Alquran sendiri, memerintahkan kita untuk memverifikasi berita-berita yang kita peroleh, apakah berita itu benar atau tidak,. Sebab ketidakbenaran itu akan membawa manusia pada banyak urusan yang menjadi sebab celaka dan dosa.
Oleh karenanya, Allah mengingatkan manusia untuk mencari kebenara dari berita yang telah disampaikan, dan tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan sesuatu. Demikian terlukis dalam firman Allah QS. al-Hujurat [49]: 6,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik, membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”.
Ayat di atas berkenaan dengan seorang sahabat yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith. Ketika ia diperintahkan Nabi saw. untuk mengambil zakat kepada bani Musthaliq, ia malah memberitakan bahwa bani Musthaliq enggan membayar zakat dan hendak menyerangnya–sebab bani Musthaliq hendak menjemput sebagai bentuk penghormatan terhadap utusan Nabi saw. dan mereka dengan menunggangi kuda menuju Walid–(Shihab, 2005: 236).
Adapun riwayat lain mengatakan, bahwa sebab kedengkian Walid terhadap bani Musthaliq, ia memberitakan mengenai bani Musthaliq yang telah murtad (al-Qurthubi, 2007: 26). Lantas Nabi saw. memerintahkan Khalid bin Walid untuk melihat apakah ada kemungkinan mereka telah murtad.
Namun Khalid bin Walid memberitakan–sebuah informasi yang didapat dari seorang utusannya–bahwa di perkampungan itu terdengar Adzan dan mereka melaksanakan shalat berjamaah. Lantas, Khalid pergi kepada bani Musthaliq dan menerima zakat mereka. Riwayat lain menyatakan, bahwa bani Musthaliq telah menyerahkan zakat sebelum Khalid tiba di perkampungan mereka (Shihab, 2005: 237).
Ayat di atas menjelaskan perintah untuk bersikap hati-hati dan tidak bersikap tergesa-gesa dalam menyikapi berita yang dibawa oleh orang fasik; fasiq dimaknai oleh Muqatil, as-Sahl bin Abdullah sebagai orang yang sering berdusta.
Adapun menurut Abu Hasan al-Waraq, fasiq adalah orang yang terang-terangan melakukan dosa (al-Qurthubi, 2007: 27). Dalam uraian Prof. Wahbah Zuhaili, lafadz fasiq dan naba’ merupakan bentuk nakirah atau umum.
Artinya, seluruh berita yang kita terima dari orang fasik, maka kita harus menelitinya, harus me-recheck kembali keabsahan berita itu.
Sementara, Prof. Quraish menguraikan bahwa lafadz naba’ memiliki arti berita penting. Artinya, yang kita recheck atau berita-berita yang hendak kita verifikasi adalah berita-berita yang penting. Sebab, jika berita itu tidak penting, ia hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga saja.
Sebab, jika kita menerima berita-berita itu, tanpa mengetahui kebenarannya, maka sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hujurat [49]: 6,
أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Artinya, “agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”.
Serta dalam firmannya QS. al-Hujurat [49]: 7,
لَوْ يُطِيعُكُمْ فِى كَثِيرٍ مِّنَ ٱلْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ
Artinya, “Seandainya ia (Nabi Muhammad saw) menuruti kamu dalam banyak urusan, niscaya benar-benarlah kamu akan mendapat kesulitan”.
Kedua penggalan ayat di atas menunjukkan, bahwa jika kita tergesa-gesa terhadap suatu berita tanppa adanya recheck atau memvalidasi kebenarannya, maka kita bisa menimpakan kesusahan terhadap dirikia sendiri. Sebagaimana diuraikan oleh Prof. Wahbah dalam tafsirannya, seandainya Nabi saw. menuruti pandangan yang tidak tepat, maka bisa jadi kalian akan terjatuh dalam kesusahan, dosa, dan celaka (Wahbah az-Zuhaili, 2009: 459), bahkan kebinasaan.
Maka, seandainya saja Nabi saw tergesa-gesa dalam menerima berita, dan menuruti sebagian pandangan sahabat–sebab, saat Rasulullah saw. menerima berita tentang bani Musthaliq yang hendak memerangi Walid bin Uqabah, beliau marah (Shihab, 2005: 236)–, yakni menerima berita akan kemurtadan bani Musthaliq, maka akan terjadi peperangan. Sebagaimana yang diuraikan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, bahwa, jika saja berita dari Walid diterima begitu saja, maka umat muslim akan ditimpa kesusahan dan kesulitan dalam begitu banyak perkara, bahkan juga ditimpa oleh dosa.
Sebab, jika saja tidak direcheck, maka kaum muslim akan memerangi bani Musthaliq, membunuh sebagian dari mereka, serta bisa jadi mengambil dan merampas harta mereka yang telah terbunuh. Bahkan, bisa jadi kaum muslimin membunuh siapa yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Akibat semua itu, pasti Allah menimpakan kesusahan pada kaum Muslim (ath-Thabari, 2008: 724).
Oleh karenanya, Allah memerintahkan kita untuk tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah berita. Apalagi jika berita itu dari seorang yang jelas kefasikannya. Lantas, bagaimana jika tidak diketahui status sang penyampai berita ? maka QS. al-Hujurat ayat 6 ini juga menjawab pertanyaan itu. Kita tetap harus lebih teliti dan mengecek kembali berita yang telah datang kepada kita. Dalam penafsiran Prof. Quraish, firman Allah dalam pangkal ayat QS. Hujurat [49]: 7,
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ ٱللَّهِ ۚ
Artinya, “Dan ketahuilah oleh kamu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah saw.”.
Ayat ini, diartikan oleh Prof. Quraish sebagai isyarat, bahwa hadis sebagai sumber verifikasi atau sumber pembenaran. Sebab, bagaimana Nabi Muhammad saw. selalu meneliti, dengan isyarat لَوْ يُطِيعُكُمْ فِى كَثِيرٍ, di sana menggunakan kalimat bentuk mudlari yang demikian itu memberi pengertian bahwa Nabi saw. senantiasa melakukan pengecekan dan penyelidikan (Wahbah az-Zuhaili, 2009: 459).
Serta Prof. Quraish meluaskan maknanya. Beliau mengatakan, ayat ini mengisyaratkan, bahwa setiap kali kita menerima berita, kita harus merujuk pada sumber-sumber primer dan sumber-sumber yang valid dalam menggali suatu informasi guna menetapkan benar tidaknya informasi tersebut (Shihab, 2005: 241).