Di antara komunitas negara-negara berkebudayaan Islam (kawasan Timur Tengah), Iran boleh jadi menjadi satu-satunya negara yang cukup maju dan mandiri. Di tengah porak poranda yang terjadi di berbagai negara Muslim akibat konflik, otoritarianisme, dan terorisme, Iran termasuk negara yang cukup stabil meski ketegangan dengan Amerika masih juga belum reda.
Ini terjadi lantaran Iran secara terang-terangan menolak segala bentuk intervensi Barat yang diprakarsai Amerika.
Namun, kehebatan Iran di mata dunia tidak membuat negara ini ramah terhadap perempuan. Hal ini terjadi, salah satunya, karena ada kesenjangan yang sangat kontras antara realita partisipasi perempuan di ruang publik dan status hukum mereka di mata negara.
Misalnya, tahun 2006, Predisen Ahmadinejad menyeru kepada para perempuan Iran untuk kembali ke rumah dan mendedikasikan diri mereka dalam menjalankan kewajiban mengasuh anak. Penyeruan ini bahkan masih sangat terasa hingga hari ini.
Menurut catatan Rebecca Barlow dalam Prospects for Feminism in the Islamic Republic Iran, ia menuturkan bahwa sejumlah aturan republik Iran memang secara eksplisit mendiskreditkan perempuan.
Hal ini didasari oleh keadaan di mana budaya patriarki begitu menjadi bagian integral daalam kerangka hukum negara. Contoh kecil misalnya tentang hukum Qishas, di mana “uang darah” yang harus dibayarkan kepada keluarga korban perempuan hanya separuh dibandingkan uang yang harus dibayarkan jika korbannya laki-laki.
Kesaksian perempuan juga hanya dihargai separuh dari kesaksian laki-laki. Itupun tidak ada nilainya jika tidak dikuatkan oleh kesaksian laki-laki. Selain itu, poligami bersifat legal dan perceraian merupakan hak prerogatif laki-laki.
Alasan penting mengapa perempuan terkesan begitu diskriminatif adalah karena ideologi gender di negara Iran didasarkan pada budaya patriarkhi (dan tentu saja ini bersifat misoginis dan otoriter). Ini diperkuat lagi dengan (dan seolah-oleh dibenarkan) oleh interpretasi terhadap nash kitab suci.
Memang, harus diakui bahwa problem utama masalah gender dalam Islam adalah terkait interpretasi teks. Di mana banyak ulama klasik memang melegitimasi peran laki-laki secara lebih dominan ketimbang perempuan.
Di Iran, landasan ideologi gender berpijak pada suatu anggapan bahwa pria dan wanita pada dasarnya adalah makhluk yang “berbeda”. Keyakinan ini berasal dari pandangan dunia Islam konservatif di mana pria dan wanita ada, berfungsi, dan hanya berhubungan satu sama lain dalam batas-batas hierarki gender yang “alami”.
Artinya, karena Tuhan berbeda dalam memberikan fungsi biologis, maka pria dan wanita memiliki peran dan tanggungjawab yang berbeda dalam masyarakat.
Ini makin diperparah oleh anggapan kaum elit konservatif yang beranggapan bahwa wanita memang lebih rendah dari pria dalam hal rasionalitas dan kemampuan mereka untuk hidup mandiri.
Dalam pandangan kaum elit, faktor penting dalam pemeliharaan kohesi sosial di Iran adalah dengan melakukan kendali laki-laki atas perempuan. Tentu saja, pendapat ini perlu dipertanyakan dan cacat secara epistemologis.
Faktanya, meskipun Iran menerapkan hukum syariah klasik sebagai akibat dari revolusi Islam 1979, namun perempuan Iran menolak untuk dikurung dalam ranah domestik. Bahkan mereka sudah mampu merambah ke dalam berbagai aspek kehidupan publik.
Ini menjadi bukti bahwa pada realitasnya, kehidupan perempuan Iran tidaklah begitu terkekang dan terbatas sebagaimana yang ditentukan oleh negara, ini tentu saja akibat dari perlawanan mereka yang cukup besar dalam menolak segala bentuk budaya patriarkhi.
Perempuan Iran telah banyak yang berhasil berkiprah di bidang politik, media, pendidikan, dan kehidupan publik pada umumnya. Selama tiga dekade terakhir, Parlemen Iran secara konsisten memasukkan beberapa anggota perempuan. Pers perempuan Iran juga menggeliat dan sangat dinamis. Bahkan, sekarang perempuan menjadi mayoritas dalam ujian masuk universitas, dengan presentase sebesar 65%.
Ketidakmampuan negara (atau keengganannya) untuk mengantisipasi meningkatnya kemampuan perempuan dan semakin besarnya ekspektasi keterbukaan lapangan kerja, lebih banyak ruang politik, dan diperluasnya sejumlah hak telah menciptakan apa yang disebut sebagai “teka-teki gender”. Sekalipun perempuan menjadi mayoritas dalam pendidikan tinggi, namun mereka hanya menempati 33% dari semua jabatan profesional dan teknis di Iran.
Apakah terbatasnya kebebasan perempuan Iran ini merupakan misinterpretasi atas nash yang dapat diselesaikan dengan pembacaan yang lebih berwawasan gender? Atau hanya masalah politik semata, di mana negara menolak segala perubahan atas status quo patriarki?
Dalam rangka membebaskan perempuan Iran dari keterkungkungan yang disebabkan oleh negara, muncullah para feminis. Sederhananya, feminis Iran ini terbagi dalam dua jenis; feminis yang berorientasi pada agama, dan yang berorientasi sekuler.
Feminis yang berorientasi pada agama menekankan bahwa sejumlah masalah yang dialami oleh perempuan merupakan hasil dari interpretasi laki-laki yang salah arah tentang teks suci Islam, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
Mereka yang percaya bahwa jurang antara ideologi gender negara dan realitas kehidupan perempuan bisa diatasi dengan pembacaan ulang yang berpusat pada perempuan terhadap teks suci Islam.
Para feminis yang berorientasi pada agama ini menerima legitimasi proyek politik Islam. Sehingga mereka menjadi kekuatan yang berkembang karena tidak menentang rezim Iran. Mereka hanya mengincar kebijakan negara yang dianggap menyimpang dari Islam. Aliran ini semakin dikenal akhir tahun 1990-an dengan latar belakang Presiden Muhammad Khatami.
Sementara feminis yang berorientasi sekuler memandang penggabungan Islam dan politik sebagai bagian sentral dari masalah yang dihadapi wanita Iran. Oleh karenanya, mengatasi masalah perempuan dipandang sangat bergantung pada pemisahan negara dan hukum Islam. Perjuangan untuk hak-hak perempuan di Iran harus bergerak lebih jauh melampaui agama.
Baik feminis yang berorientasi pada agama maupun sekuler, keduanya memiliki visi yang sama. Yakni meruntuhkan budaya patriarki yang sebab musababnya banyak berasal dari tafsir agama.
Karenanya, memperjuangkan hak-hak perempuan dalam negara yang menjunjung kode hukum yang melembagakan ketidaksetaraan gender hanya bisa berhasil dengan bantuan aktivisme akar rumput dan ketegasan perempuan dalam kehidupan publik mereka.