Pertarungan Merebut Wacana Islam di Indonesia
Judul Buku : Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia
Penulis : Aksin Wijaya
Penerbit : Diva Press
Cetakan : I september 2019
Tebal : 228 halaman
ISBN : 978-623-7378-01-3
Buku wacana kritis tentang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, sepertinya memang selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh. Salah satunya, adalah buku Aksin Wijaya, berjudul Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia (2019). Buku ini mencoba membaca ulang wacana pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
Buku ini, tidak hanya memberikan sketsa peta sosiologis atas perkembangan wacana intelektual Muslim Indonesia sejak awal 1970-an. Akan tetapi, juga memberikan gambaran komprehensif dan berusaha memberikan tafsiran baru, serta memberikan suatu argumen kesinambungan, bagaimana corak wacana pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia hingga saat ini.
Literatur wacana keagamaan yang ada digunakan Aksin sangat kaya dengan data-data, sehingga bisa dengan mudah membedah realitas sosial keagamaan dan dinamika sosial-politik, terutama terkait jegolak yang terjadi di tubuh umat Islam beberapa tahun terakhir ini. Dari pelbagai peristiwa besar yang mewarnai umat Islam, seperti gerakan 411, lalu 212, dan 313 hingga pergulatan politik menjelang pemilihan presiden yang dikontestasikan sebagai merebut kebenaran Islam di Indonesia.
Sebagaimana pengakuan Aksin Wijaya, buku ini, hampir sama dengan buku berjudul Dari Membela Tuhan ke Membela Islam: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (Mizan: 2018), terinspirarasi dari aksi 212 berjilid-jilid umat Islam ke Monas, Jakarta yang mengatasnamakan membela Islam dan umat Islam. Diakui atau tidak, fenomena ini telah melahirkan kontestasi perebutan kebenaran agama di kalangan umat Islam, terutama di Indonesia dari pemahaman tafsir agama yang beragam tentang Islam.
Fokus utama karya Aksin ini, adalah kontestasi merebut wacana Islam di Indonesia, yang lebih banyak dilatarbelakangi ayat-ayat Alquran yang terkesan kontradiksi antara ayat satu dengan ayat yang lain.
Misalnya, surah al-Baqarah ayat 62 yang menyatakan bahwa Islam sudah ada sebelum Nabi Muhammad ada dan sudah dianut oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad dan surah Ali Imran ayat 85 yang menyatakan agama Islam dibawa Nabi Muhammad (hlm 39-41). Bagi Aksin, pemahaman kedua ayat ini, sangat mempengaruhi pemahaman atas Alquran terhadap agama di luar Islam, terutama Yahudi dan Nasrani.
Aksin melukiskan, tiga tipologi pemikiran Islam yang sudah lazim digunakan dalam kajian hubungan antaragama.
Pertama, pemikiran Islam ekslusif. Pemikiran Islam ini menggunakan metode berpikir dialektika-dikotomis dan percaya nasikh-masukh. Misalnya surah al-Baqarah ayat 62, dinasakh dengan surah Ali-Imran ayat 85 bahwa hanya Islam yang dibawa Nabi Muhammad yang benar dan menawarkan keselamatan menuju surga bagi manusia (hlm 68).
Dengan nalar demikian, secara sengaja mengekslusifkan agama Nasrani dan Yahudi dari barisan monoteisme Islam dan Ibrahim, baik secara teologis maupun biologis dengan menyebut penganut agama ini kafir.
Aksin menyebutkan, para sarjana yang berafiliasi dengan pemikiran ini adalah Islam Transnasional, seperti Wahabi, Ikhwan al-Muslimin, dan Hizbut Tahrir serta Mazhab Islamisasi Ilmu ISTAC Malaysia dan tokoh yang terlibat dalam pertarungan wacana Islam ini di Indonesia seperti Andian Husaini, Anis Malik Thaha, dan Fahmy Zarkazy (hlm 62-63).
Kedua, pemikiran Islam inklusif. Para sarjana Muslim menggunakan metode berpikir dikotomis-inklusif, dan menolak adanya nasikh-mansukh dalam Alquran. Misalnya, surah al-Baqarah ayat 62 dan surah Ali-Imran ayat 85 dimaknai apa adanya dan tak jarang menggunakan tafsir yang sama (hlm 76).
Dalam pengertian, menghargai keberadaan dan keyakinan agama Nasrani, Yahudi dan Asobiun. Dengan kata lain, menginklusifkan monoteisme Ibrahimi. Karena secara teologis agama Nasrani, Yahudi dalam barisan monoteisme yang masih terbuka pada kebenaran.
Para sarjana inklusif tak jarang memosisikan diri sebagai “kawan” dalam berpendapat, dan “lawan” dalam bertukar pikiran dan para sarjana masih mendahulukan sikap apresiatif daripada sikap kritis (hlm 88). Aksin menyebut, bahwa para sarjana Muslim Indonesia yang terlibat dalam pertarungan merebut wacana ini adalah Nurcholish Madjid, Alwi Shihab, Jalaluddin Rahmat, Budhy Munawar-Rachman, Faisal Ismail, dan Abdul Moqsith Ghazali.
Ketiga, pemikiran Islam pluralis. Pemikiran islam ini menggunakan metode berpikir demontratif-pluralis serta menolak adanya nasikh-mansukh dan sinonimitas dalam Alquran. Misalnya, surah al-Baqarah ayat 62 tidak dinaskh dengan surah Ali-Imran ayat 85. dalam konteks ini islam di maknai tidak sinonim dengan istilah iman.
Para sarjana muslim pluralis Indonesia, seperti Nurcholish Madjid berusaha memaknai ulang istilah Islam para nabi samawi yang mengacu pada Islam yang dibawa Ibrahim, yaitu Islam hanifiyah. Sembari membagi menjadi dua istilah.
Pertama, Islam secara “generik” dalam arti kepasrahan, ketundukkan dan mengandung perkataan tulus total kepada Tuhan. Kedua, Islam dalam arti “proper name” bagi Nabi Muhammad, agama yahudi disebut “proper name” bagi Nabi Musa dan “proper name” bagi Nabi Isa (hlm 105).
Lalu apa tawaran menarik yang diberikan Aksin di tengah perkembangan pertarung merebut wacana Islam di Indonesia dalam buku ini?
Sebagai sintesis dari tiga tipologi di atas, Aksin menawarkan metode berfikir demontratif-pluralis serta menolak adanya nasikh-mansukh dan sinonimitas dalam Alquran, sembari melanjutkan argumen dan gagasan yang telah dikembangkan para sarjana pluralis.
Dengan keyakinan bahwa esensi Islam sebagai esensi agama-agama samawi, dan menyingkapi penganut agama Nasrani dan Yahudi secara humanis-etis sebagai bagian dari monoteisme Islam dan Ibrahim.
Bagi Aksin, agama itu tunggal yaitu Islam beragam syariat dan berasal dari Tuhan yang tunggal. Yang membedakan hanya nabinya, kitab suci dan ajarannya. Aksin menyebut, jika nabinya Musa kitab sucinya adalah Taurat bisa disebut sebagai Islam Yahudi, jika nabinya Isa, maka kitab sucinya adalah Injil, bisa disebut Islam Nasrani dan jika nabinya Muhammad, dan kitab sucinya adalah Alquran, bisa disebut sebagai Islam Imani (hlm 198).
Pada akhirnya, meminjam istilah Mas’ud Said dalam pengantar buku ini, gagasan kritis dan “nakal” yang ada dalam karya Aksin ini harus diletakkan pada tataran kajian ilmiah akademis dalam konteks wacana kritis pemikiran Islam di Indonesia.