Adalah pribadi seperti KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) yang senantiasa menjadi penyejuk dan pendamai, pencipta ukhuwah, perajut persaudaraan, serta penyampai kebenaran. Sosok yang begitu langka keberadaannya. Berwawasan luas tentang kebangsaan, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang keislaman, mampu membaca kondisi zaman, berjiwa nasionalis tanpa menghilangkan religius-spiritualnya, serta dawuh-dawuhnya yang sarat akan kebijaksanaan.

Usia raganya memang telah usai. Namun, usia kontribusinya pada umat akan terus hidup menyertai setiap generasi, tak akan pernah tertungkus-lumus oleh panjangnya masa.

Beliau adalah satu pengejawantahan dari firman Allah Swt. sebagai bagian dari nilai-nilai Islam: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.

Kesucian jiwanya memendarkan pancaran cahaya yang senantiasa menyinari penuh cinta dan kasih sayang. Beliau bersikap lemah lembut, tapi tegas pada yang haq dan yang batil. Terimplementasi hikmah-hikmah dawuhnya dalam bentuk tindakan, menjadikan beliau sebagai ulama berkharisma tinggi.

Karenanya, dawuh beliau yang penuh hikmah itu masuk menyelinap ke dalam sanubari siapa pun yang mendapatinya, baik mendengar secara langsung atau melalui media. Maka, besarlah manfaat dari terbitnya buku yang bertajuk Pesan Cinta Mbah Moen ini. Buku yang menghimpun kalimat-kalimat hikmah Mbah Moen; mulai perihal kebahagiaan hidup, mencari ilmu, hidup berbangsa, hingga spritualitas Islam.

Mungkin karena kedalaman dan keluasan ilmunya, beliau menjadi tidak saja pandai secara spritual, tetapi juga pandai secara emosional. Nasihat untuk menjaga keumatan dan kebangsaan supaya tetap utuh (hal. 119), membuktikan kepandaiannya secara emosional. Toleransi juga menjadi hal yang diperhatikan oleh beliau, sebagaimana tercatat dalam buku ini (hal. 117).

Hal itu, sebagai bentuk pemeliharaan terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Dan itu, merupakan satu dari sekian konsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman yang tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), dan tawazun (seimbang).

Ketika pemilihan umum menjadikan umat berkubu-kubu, beliau hadir sebagai penasihat semua kubu. Menurut pandangan bijaksana beliau, perbedaan pilihan dalam memilih pemimpin itu diperbolehkan, asal tidak melahirkan permusuhan (hal. 124). Perbedaan, menurut beliau,  dan juga persamaan, harus sama-sama diketahui, supaya puncaknya adalah bagaimana kita mempersatukan (hal. 144).

Menjadi damai dan sirna segala persengketaan oleh pesan-pesan beliau yang menyejukkan ini. Seperti tak satupun yang tak memerhatikannya. Semua seakan menjadi santrinya, menjadi anaknya, menjadi saudaranya. Sehingga, tak seuntai kata pun menyinggung hati dan perasaan.

Jiwa ukhuwah beliau yang demikian besar, terdeskripsi pula dalam sebuah pesannya yang sangat esensial, yang juga terabadikan di awal-awal buku ini; jangan sampai menceritakan kebahagiaan kita di hadapan orang yang tengah bersedih, bicara kesehatan di hadapan orang sakit, bicara kekuatan di hadapan orang lemah, bicara tentang harta di hadapan orang miskin, dan bicara kebebasan di hadapan orang yang terpenjara (hal. 21).

Jangankan menyakiti saudara yang satu akidah, berbeda keyakinan pun juga pernah menikmati kasih dan rahmah dari beliau. Sebagaimana dikabarkan, bahwa para jamaat Gereja Santo Yosep, Mojokerto, menggelar Misa atas meninggalnya Mbah Moen. Hal ini mengindikasikan, betapa beliau adalah ulama yang memiliki konsistensi kuat mengimplementasikan konsep rahmatan lil alamiin sebagai visi prioritas dari agama Islam.

Dalam ajaran Alquran sebagai rujukan primordial dalam Islam, mempersatukan suku-suku yang berbeda merupakan suatu kewajiban dengan cara saling ta’aruf (berkenalan), berinteraksi antara satu dengan yang lain. Dan itu, terwujud dalam diri pribadi mulia Mbah Moen. Sehingga, senantiasa dicintai dan disayangi oleh semua orang. Cinta-kasihnya melampaui lintasan kepercayaan, ras, suku, dan ideologi (hal. 132).

Perihal wathan (tanah air), beliau berujar, “Tidak melihat siapa yang kita dahulukan, melainkan harus ada kebersamaan. Apakah itu suku Jawa, suku Batak, atau orang Riau, semuanya kita anggap sama. Hal itu tidak bisa dipisahkan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam hal ini, kita sebagai manusia harus tahu persatuan, tahu kebersamaan. Sehingga, dikatakan bahwa kita satu tapi berbeda, berbeda tapi satu.”

Betapa kita bersyukur telah Allah karuniakan teladan seperti beliau yang tiada lelah menebar cinta dan kasih-sayang. Tebarannya meluas tanpa batas, memberikan buah manis pada segenap penduduk bumi, dan menebar keindahan di seantero negeri.

Leave a Response