Diskursus tentang pesantren sejak lahir hingga sekarang selalu menarik untuk dikaji dari segala aspek, baik dari kehidupan seehari-harinya, potensi santri, isi pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Salah satu daya tarik pesantren adalah eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang khas Indonesia. Metode sorogan, bandongan, dan hafalan merupakan ciri khas yang hingga kini masih diterapkan di berbagai pesantren di Indonesia.
Sebenarnya lembaga model pesantren sudah ada sejak kekuasaan Hindu-Budha, kemudian Islam meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan tersebut. Menurut Cak Nur dalam bukunya “Bilik-Bilik Pesantren” menjelaskan bahwa jika tidak mengalami penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti model yang ditempuh pesantren. Oleh karena itu, perguruan-perguruan tinggi yang ada di Indonesia tidak bernama ITB, UGM, UI, IPB dan lain-lain. Akan tetapi, berubah menjadi universitas Tebuireng, Tremas, Krapyak, Bangkalan, dan lain-lain.
Lebih lanjut Cak Nur juga membandingkan pertumbuhan perguruan tinggi di Barat yang cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang pada mulanya berorientasi keagamaan, sepertihalnya Universitas Harvard yang menjadi pioner pengembangan pengetahuan dan pemikiran mutakhir sekarang ini. Universitas ini juga pada awalnya adalah pesantren yang didirikan oleh pendeta Havard di Boston.
Sedangkan dalam sejarahnya di Indonesia, pesantren terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh nasionalis yang berbasis religius yang semasa hidupnya mampu memberikan sumbangsih terhadap masyarakat. Sejumlah tokoh bangsa tersebut antara lain adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hazbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Wahid Hasyim, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Sahal Mahfudh dan lain sebagainya.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan bagi tempat tinggal santri terus berbenah untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan mutu pendidikan bagi santri dan masyarakat sekitar. Meskipun perkembangan pendidikan mutakhir ini telah berkembang begitu pesat, justru masyarakat dan orangtua santri berlomba-lomba menyekolahkan putra-putrinya di lingkungan pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa animo masyarakat masih meyakini bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan baik yang tidak hanya memberikan pelayanan dalam pendidikan relegius melainkan juga pendidikan umum. Hal inilah yang membedakan pendidikan umum dengan pendidikan pesantren.
Oleh karena itu, pesantren bisa tetap bertahan di tengah-tengah arus globalisasi yang begitu pesat perkembangannya, tidak lain pesantren mampu beradaptasi dan peka akan arus globalisasi tersebut. Hal ini tidak lepas dari adanya kaidah “Al-Muhafadhatu alal qasimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yang artinya konsisten mempertahankan budaya lama yang masih relevan dan aktif mengadopsi budaya baru yang lebih baik.
Dari kaidah di atas menurut Ridlwan Nasir (2010), membuat pesantren maju dan tidak kehilangan identitasnya. Dengan aplikasi kaidah tersebut, pesantren menjadi terbuka dan bisa mengambil nilai-nilai yang relevan dan lebih baik. Dari kaidah ini juga bisa disimpulkan bahwa perpaduan sistem pendidikan pesantren dengan sistem madrasah masih relevan dan sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Dalam konteks pengajaran, madrasah lebih baik daripada pesantren karena sistemnya berjenjang dan kecakapan santri bisa diukur dan diteliti. Sedangkan dalam konteks pendidikan, pesantren lebih baik daripada madrasah karena mempunyai ciri khusus yang tidak ada di madrasah, maka perpaduan keduanya menjadi sesuatu yang ideal.
Dengan demikian, maka bentuk ideal pesantren adalah pondok pesantren yang di dalamnya diselenggarakan berbagai macam lembaga pendidikan yang memperhatikan kualitas dan tidak menggeser identitas utama pesantren yang masih relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Maka melalui bentuk ideal ini, harapannya alumni pesantren bisa menjadi pemimpin di muka bumi yang memiliki tiga aspek yaitu, kebenaran, kebaikan, ilmu pengetahuan, dan akhlak yang baik.