Di pelbagai kota, orang-orang mengadakan acara-acara bertema Papua. Semua demi meredakan situasi dan mengajak orang-orang memuliakan Papua. Diskusi, pentas seni, dan pembagian kerajinan menebar pesan-pesan damai dan persaudaraan. Sekian acara menjadi berita, beredar pula di media sosial sebagai ikhtiar pembesaran makna dan pesan bagi Papua.

Di Surabaya, Jawa Timur, 1 September 2019, Khofiffah Indar Parawansa, membuat acara “berbeda” demi Papua. Gubernur Jawa Timur itu memilih menanam pohon matoa di Taman Edu Masjid Al Akbar, Surabaya. Pohon untuk pesan persaudaraan (Jawa Pos, 2 September 2019). Di mata Khofiffah, matoa adalah pohon khas Papua. Pilihan penanaman pun berkesan di tempat religius. Pohon Matoa sengaja ditanam di situ, memberi ingatan ke umat mengenai persaudaraan dan keindonesiaan.

Pohon itu setinggi gubernur, menanti bertumbuh menjadi besar dan tinggi. Perawatan rutin diperlukan agar berita-berita di hari-hari nanti selalu kebaikan. Kelak, pohon itu tegak dan memberi keindahan. Jamaah mau melakukan ibadah di masjid bisa memandang sejenak atau orang-orang berhak membuat acara di taman. Kita mengandaikan pohon menjadi “tanda” perjumpaan bagai sesama untuk acara-acara kebhinekaan. Di taman dengan pohon matoa, orang-orang bisa berperistiwa bersama. Di lingkungan masjid, ada pohon khas Papua. Orang-orang mungkin ingin berimajinasi atau mengadakan tafsir memadukan ekologi, politik, religiositas, dan kebangsaan.

Kita bakal bergirang dan takjub andai pohon matoa itu mendapat ulasan istimewa oleh Alfred Russel Wallace. Di buku berjudul Kepulauan Nusantara: Kisah Perjalanan, Kajian Manusia, dan Alam (2019), Wallace menceritakan kunjungan ke Papua. Ia memberi catatan flora-fauna dan perjumpaan dengan penduduk setempat. Pembaca belum beruntung. Wallace terpikat dengan serangga dan burung cenderawasih, belum ke pohon matoa.

Pada 1857, 1858, dan 1860, Wallace mengadakan perjalanan ke Papua. Pelbagai hal membuat takjub. Catatan demi catatan bertambah mengisahkan alam dan manusia di Papua. Flora dan fauna dicatat secara teliti. Sekian flora-faunan dibawa untuk koleksi riset atau masuk di museum-museum Eropa. Dulu, ia belum memberi perhatian ke matoa secara rinci untuk bercerita kekhasan Papua.

Kita simak pengalaman Wallace: “Buah pohon ara yang berukuran besar di dekat rumah mulai matang sehingga banyak burung datang ke pohon itu. Pada suatu pagi, ketika saya sedang menikmati kopi, seekor cenderawasih jantang hinggap di puncak pohon ara…” Ia menembak dan menginginkan cenderawasih sebagai koleksi di ilmu-pengetahuan. Sejak ratusan lalu, ingatan kita tentang Papua memang burung cenderawasih. Pohon matoa tak terlalu diingat bagi murid-murid belajar di sekolah atau umum.

Peristiwa Khofiffah Indar Parawansa menanam pohon mungkin seruan ke publik mengingat dan mengartikan flora asal Papua. Kita menanti ada sekian kalimat ditulis Khofiffah, berharap ada orang-orang bisa mengerti pilihan mengadakan peristiwa menanam pohon Matoa di lingkungan masjid demi persaudaraan dan kedamaian di Papua. Tulisan itu penting meski pendek. Foto acara tentu belum memadai di pemaknaan bersama.

Kita perlahan ingin mengartikan pohon matoa dan masjid saat peringatan Tahun Baru Hijriah. Ada nuansa religius. Dulu, H Aboebakar dalam buku berjudul Sedjarah Mesdjid dan Ibadah Didalamnja (1955) memuat kesejarahan masjid berkaitan kebangsaan dan kebersamaan atas nama Indonesia. Sejarah pendirian masjid pun berunsur pohon. Masjid-masjid belum dibangun dengan pasir, semen, batu, dan lain-lain. Umat menggunakan bahan-bahan dari pohon untuk mendirikan masjid.

Mereka mengenali jenis atau nama-nama pohon. Pilihan bambu pun memungkinkan bangunan masjid kokoh dan awet. Kita cuma ingin mengingat bahwa kesejarahan masjid dan pohon itu ada, bersebaran di Indonesia. Kini, di lingkungan Masjid Al Akbar, orang-orang bisa melihat dan menafsir keberadaan pohon matoa berkaitan Papua, religiositas, dan kebangsaan.

Menanam pohon itu peristiwa religius asal berlambaran ketulusan, kemauan mengerti alam, dan berpikiran nasib anak-cucu. Pohon bertumbuh mengajak kita menumbuhkan pula pesan-pesan ke sesama di beragam tema. Di pelbagai kitab suci dan ajaran adat leluhur, pohon itu simbol dan menjadi pusat dari pemaknaan hidup, dari masa ke masa. Pada peringatan Tahun Baru Hijriah, pohon itu memulai misi besar dan kesejukan. Daun-daun hijau itu mengajarkan kesuburan, kelembuat, dan kebaikan. Pohon meninggi dan membesar mengajak orang-orang tegak dan kuat mengamalkan ajaran-ajaran bijak demi persaudaraan dan kemauan memuliakan Indonesia.

Kita mengandaikan saja di suatu hari, bocah-bocah atau kaum muda berkumpul di sekitar pohon matoa mengadakan acara obrolan atau seni. Mereka bercakap, berdoa, dan makna bersama. Orang-orang bergantian bersenandung, membaca puisi, atau membaca cerita pendek. Pohon matoa jadi tanda kebersamaan. Kita mengandaikan lagi ada pembacaan puisi bertema masjid atau keindonesiaan.

Orang boleh mengusulkan ada pembaca puisi berjudul “Aku Masjid” gubahan Emha Ainun Nadjib (1990). Puisi tentang masjid tapi bicara pelbagai hal. Emha Ainun Nadjib mengingatkan: Aku masjid/ Udaraku nyaman/ Kalian malaikat dan manusia/ Santailah bertukar pikiran// Ayo kemari/ Duduk bersila/ Bergurau dengan sunyi/ Sunyi itu suara paling sejati. Puisi semakin memberi renungan dan sejuk-persaudaraan di lingkungan masjid, duduk bersama di serambi masjid atau di naungan pohon matoa. Begitu.

 

Leave a Response