Jauh sebelum teori gender terkonsep dan merebak di kalangan akademisi Indonesia, perempuan dari tanah Jawa telah lebih dulu membuktikan pertukaran peran dalam kehidupan sosial adalah hal yang lumrah dilakukan. Kesempatan untuk mengambil inisiatif dan tindakan atas kehendak sendiri mampu mereka lakukan.

Kesempatan itu bahkan melampaui pencapaian kaum perempuan di era kemudian, yakni pada akhir abad ke-19. Selain berperan sebagai penjaga nilai-nilai sosial-tradisional masyarakat, perempuan pada saat itu telah memasuki era yang di dominasi oleh kaum laki-laki baik dalam hal bisnis, politik, bahkan kemiliteran.

Untuk membuktikan itu, kita tidak perlu melihat jauh ke belakang sampai ke era Ratu Shima atau Suhita. Peter Carey, seorang sejarawan Inggris dan Vincent Houben, salah seorang Guru Besar Sejarah dari Humboldt University menujukkan bahwa Ratu Shima dan Suhita hanya hidup pada rentang waktu dua abad sebelum Kartini lahir.

Ketika meneliti Perang Jawa (1825-1830), Peter Carey dan Vincent Houben menggambarkan sosok perempuan luar biasa yang mereka temui dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX.

Peter Carey dan Vincent Houben menggambarkan perempuan dalam buku tersebut sebagai sosok prajurit yang menjadi pengawal khusus raja. Perempuan-perempuan bangsawan yang melakukan perlawanan fisik terhadap kolonialisme, perempuan-perempuan pengusaha yang ulet, sampai pada gambaran perempuan-perempuan yang berhasil memperjuangkan hak pribadinya dalam ranah domestik.

Keraton Surakarta dan Yogyakarta, setidaknya adalah tempat di mana perempuan prajurit pengawal raja dapat ditemukan. Pada masa Pakubuwono V (1820-1823), datanglah seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis bernama Joseph Donatien Boutet mengunjungi Surakarta. Joseph mengungkapkan kekagumannya terhadap para ‘Srikandi Pengawal’ raja yang ia lihat.

Setidaknya ada empat puluh perempuan prajurit yang duduk berbaris di bawah takhta sang raja. Joseph melihat bahwa setiap dari prajurit perempuan itu mengenakan perlengkapan senjata. Seperti sebilah keris di pinggang, pedang yang menyelempang, dan bedil di tangan.

Anggapan yang selama ini melekat di kalangan masyarakat bahwa perempuan hanya berperan sebagai pagar ayu telah terbantahkan. Perempuan benar-benar pernah terlatih menjadi seorang prajurit kerajaan. Jan Greeve, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa menyaksikan bahwa para prajurit perempuan menyambut dirinya ketika ia mengunjungi Surakarta pada 31 Juli tahun 1788.

Para prajurit perempuan tersebut menyambut dirinya tepat di depan loji Belanda dan Dalem Mangkunegaran dengan meluncurkan tembakan salvo yang tepat dan teratur.

Kecakapan para prajurit perempuan tersebut juga dapat dibuktikan pada peristiwa diserbunya Keraton Yogyakarta oleh tentara Inggris pada 20 Juni tahnu 1812. Hector Maclean, seorang letnan Skotlandia bersama pasukan resimen infanteri Inggris berhasil ditikam oleh seorang puteri Keraton yang saat itu hendak diculik untuk dijadikan bahan rampasan perang.

Sebenarnya banyak perempuan bangsawan yang melakukan perlawanan fisik terhadap kolonialism, salah satunya Raden Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang. Kedua perempuan ini setidaknya dapat dibuktikan peranannya dalam aktif membantu Pangeran Diponegoro dalam peristiwa Perang Jawa.

Raden Ayu Yudokusumo misalnya, ia berperan penting sebagai panglima kavaleri senior Diponegoro di wilayah mancanegara timur. Raden Ayu Yudokusumo juga bergabung dengan Tumenggung Sosrodilogo dalam peristiwa perlawanan terhadap Belanda di pesisir utara antara 28 Nopember 1827 sampai dengan 9 Maret 1828.

Begitu pula dengan Nyai Ageng Serang. Ia ikut angkat senjata dalam membantu putranya, Pangeran Serang II. Ia memimpin 500 Prajurit di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama Perang Jawa dimulai.

Nyai Ageng Serang yang lahir kisaran tahun 1762 di Desa Serang, daerah perbatasan antara Surakarta dan Purwodadi ini diyakini masih memiliki garis keturunan dengan Sunan Kalijaga dan memiliki pengaruh besar di tanah Serang sendiri. Atas jasa besarnya melawan kolonial Belanda, Nyai Ageng Serang kemudian dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Memasuki abad ke-18 dan ke-19 pasca perang Diponegoro, peran penting perempuan Jawa berangsur-angsur mulai memudar. Carey dan Houben berpendapat bahwa hal ini terjadi karena pengaruh kolonialism dan tersebarnya Islam. Maka, pada akhir abad ke-19, kehidupan perempuan Jawa berubah sebagaimana yang digambarkan oleh Kartini.

Dengan berbekal kecerdasan dan jejaring yang dimiliki, Kartini mencoba mendobrak kehidupan perempuan yang berwajah muram, penuh belenggu, dan terbelakang itu. Upaya Kartini inilah yang kemudian memberikan inspirasi bagi kaum perempuan setelahnya menjadi lebih baik dan progresif.

Memasuki era baru pasca Kartini, perempuan Jawa dan daerah lainnya di Indonesia pun memasuki era baru. Di mana perempuan memiliki akses untuk memperoleh pendidikan. Meski perempuan yang memperoleh pendidikan masih terbatas, namun mereka memiliki semangat tinggi untuk menyebarkan gagasannya kepada masyarakat luas. Perempuan-perempuan mulai bergerak membentuk organisasi secara umum maupun perkumpulan yang hanya khusus perempuan saja.

Perkumpulan perempuan pertama yang didirikan adalah Poetri Mardika. Perkumpulan ini berdiri di Jakarta pada tahun 1912. Kemudian diikuti oleh berbagai macam organisasi perempuan lainnya baik di pulau Jawa muapun di pulau-pulau lainnya. Di Jepara sendiri, sebagai kota kelahiran Kartini berdirilah Perkumpulan wanito Hadi pada tahun 1915.

Gelombang persemaian ini terus meluas sampai ke daerah-daerah lain di Jawa Tengah. Seperti berdirinya Pawijatan Wanito di Magelang tahun 1915, Poerborini di Tegal pada tahun 1917, Wanito Soesilo di Pemalang tahun 1918, dan Wanodjo Oetomo di Yogyakarta pada tahun 1920.

Semua ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki andil besar dalam memperjuangkan dan memperoleh kemerdekaan Indonesia. Maka dengan demikian, bukankah konsep kesetaraan sebenarnya tidak kita adopsi dari Barat? Melainkan menyegarkan ulang dan mengembalikan perempuan Indonesia pada semangat kehidupan yang setara dari ajaran lulur bangsa.

Leave a Response