Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta berlokasi di Jalan Kaliurang Km. 12,5 Candi, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut profil lengkapnya.

Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (selanjutnya disingkat PPSPA) didirikan oleh K.H. Mufid Mas’ud bersama istri beliau yang bernama Hj. Jauharoh yang merupakan putri dari pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta yakni K.H. Munawwir. PPSPA berdiri pada tanggal 17 Dzulhijjah 1395 H., yang bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1975 M.

Pesantren ini selain ditujukan sebagai media dakwah, awalnya berkonsentrasi dalam bidang al-Qur’an, terutama tahfidh al-Qur’an. Hal ini mengingat KH. Mufid adalah seorang ahli dan memiliki kapabilitas yang mewadahi di bidang tahfidh al-Qur’an.

Oleh karena itu, PPSA membagi tingkatan khataman menjadi tiga tingkatan. Pertama, khataman juz ‘amma (hapal Juz 30). Kedua, khataman bi al-nadhar (khatam Juz 30, Surat al-KKahfi, Surat Yaasin dan Surat-surat pendek) dan ketiga, tingkat teratas yakni khataman bi al-ghaib (hafal dari Juz 1 sampai juz 30).

Jika melihat kronologi berdirinya ondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta sebenarnya ada tali sejarah yang menghubungkan PPSPA dengan pondok pesantren al-Munawwir, Krapyak.

Mufid Mas’ud, pendiri dan pengasuh pesantren ini, semula adalah pengasuh Pondok Puteri al-Munawwir, Krapyak. Pada bulan Oktober 1975, kyai kelahiran Tembayat, Klaten, Jawa Tengah ini hijrah sekeluarga dari Krapyak ke desa Candi, Sleman.

Di sana beliau sekeluarga menempati tanah wakaf dari H. Masduqi ‘Abdullah seluas 2000 m2, yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat jalan raya Yogya-Kaliurang Km. 12.

Masih berasal dari sumber yang sama, di desa yang berada di lereng gunung Merapi inilah Mbah Mufid mendirikan pesantren sekitar dua bulan pasca kepindahan beliau dari Krapyak.

Pada mulanya, bangunan PPSPA hanya berupa masjid dan rumah sederhana yang berdiri di atas tanah wakaf tersebut. Adapun mengenai pengambilan Sunan Pandanaran sebagai nama pondok pesantren ini adalah untuk menghargai jasa-jasa Sunan Pandanaran (Sunan Tembayat) yang merupakan leluhur Mbah Mufid dalam upaya penyebaran Islam di Jawa khususnya di Tembayat, Klaten.

Penggunaan nama Sunan Pandanaran sebagai nama Pondok Pesantren ini juga mempunyai tujuan untuk ber-tafa’ul, berusaha untuk meniru, dan mengikuti kegigihan, serta mewarisi semangat Sunan Pandanaran dalam menjalankan misi Islam sampai ke pelosok pedesaan.

Tujuan ini tidak lepas dari peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berfungsi sebagai pencetak kader pemimpin Islam yang rela berjuang demi kejayaan Islam. Penggunaan nama ini berharap akan mampu mengikuti kerelaan Sunan Pandanaran dalam usahanya memakmurkan Islam dan umat Islam.

Selain dari pada itu, pesantren ini bertujuan untuk berusaha melanjutkan perjuangan yang telah dilakukan oleh Sunan Pandanaran.

Latar belakang berdirinya PPSPA adalah karena adanya kesadaran perlunya dakwah islamiah dan terbinanya kader muballigh, penerus perjuangan ‘ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah khususnya warga Nahdliyyin (NU) sebagai basis dasar dari Mbah Mufid dan pesantren ini dalam rangka menghadapi tantangan zaman yang kian waktu kian kompleks dan dinamis.

Pertama, merupakan niat yang luhur dari K.H. Mufid Mas’ud yang kala itu masih menjabat sebagai pengasuh PP. Putri al-Munawwir Krapyak untuk melaksanakan panggilan hati yang suci demi izzil islam wal muslimin.

Kedua, adanya permohonan langsung dari K.H. Jamhari (Ketua PWNU DIY saat itu) dan K.H. Masduqi Abdullah kepada beliau untuk mendirikan Pesantren di atas tanah wakaf dari Nyai Abdullah Umar dan K.H. Masduqi Abdullah yang keduanya merupakan ahli waris sekaligus istri dan anak satu satunya dari K.H. Abdullah Umar.

Ketiga, adanya pengertian serta keikhlasan yang mendalam demi melaksanakan tugas yang berat tapi mulia dari sesepuh serta keluarga besar PP. al-Munawwir Krapyak, khususnya K.H. Ali Ma’shum.

Dan keempat, sudah adanya restu dari para ‘ulama, terutama guru-guru Mbah Mufid seperti K.H. ‘Abdul Hamid Pasuruan, Habib Muhammad Ba’abud Lawang Malang, K.H. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta dan juga K.H. Muntaha Wonosobo.

Pendiri sekaligus tokoh sentral ondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta adalah K.H. Mufid Mas’ud. Beliau merupakan keturunan ke-14 dari Sunan Pandanaran. Mbah Mufid sendiri lahir di Solo Jawa Tengah pada tahun 1928 yang bertepatan dengan hari Ahad Legi tanggal 25 Ramadhan. Beliau adalah putra kedua dari tujuh bersaudara. Ayahanda beliau bernama Kiai Ali Mas’ud.

Melihat garis keturunan K.H. Mufid tersebut dapat dipastikan bahwa beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Di samping mendapatkan bimbingan keagamaan langsung dari orangtua, pendidikan dasar KH. Mufid ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum, cabang Solo di bawah asuhan KH. Sofwan. Selama lima tahun (1937 – 1942). Kemudian pada tahun 1942 pula, beliau nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Tiga tahun kemudian, beliau melanjutkan hafalan al-Qur’an kepada KH. Muntaha di Wonosobo. Namun di tahun 1950, KH. Mufid kembali ke Krapyak dan menikah dengan Hj. Jauharoh. Meski demikian, beliau tetap mengaji al-Qur’an kepada KH. Abdul Qadir dan KH. Abdullah Affandi. Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada KH. Ali Maksum.

Motto Mbah Mufid dalam belajar yang mabruk adalah ulet, rajin serta shuhbatu ustazin (taat dan bersahabat karib dengan guru). Dan di antara guru yang pernah beliau datangi sebagai murid adalah KH.Abdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), KH. Muntaha (Wanosobo), KH. Ali Maksum (Yogyakarta), Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani (Makkah), dan Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwy al-Hasani al-Maliky al-Makky (Makkah).

Secara garis besar, model awal PPSPA adalah pesantren salaf yang mengonsentrasikan diri pada tahfidh al-Qur’an saja. Maka dari itu, santri yang datang ke sana pada umumnya adalah mereka yang benar-benar ingin intens menghafal atau mengaji al-Qur’an

Maka dari itu, santri yang datang ke sana pada umumnya adalah mereka yang benar-benar ingin intens menghafal atau mengaji al-Qur’an. Hal ini karena secara umum, Mbah Mufid memiliki latar belakang tahfidh al-Qur’an yang cukup panjang, serta banyaknya beliau berkecimpung di dunia pesantren salaf.

Hal inilah yang mungkin menjadikan beliau memilih model pesantren salaf untuk PPSPA pada masa perintisannya. Sedangkan kecenderungan pesantren ini sama dengan paham yang selama ini dianut oleh Nahdlatul ‘Ulama (NU) sebagai basis organisasi yang menjadi rujukan Mbah Mufid yakni Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Meskipun demikian, Mbah Mufid merupakan sosok kiai NU yang sangat terbuka dan tidak kolot, hal ini terbukti dengan dinamisnya pondok pesantren yang beliau asuh menjadi pesantren yang besar dan maju.

Jika di masa-masa awal PPSPA hanya menjadi pesantren tahfidh al-Qur’an, maka seiring bergulirnya roda waktu, PPSPA membuka mata dan mengepakkan sayapnya lebih lebar lagi untuk menyambut ramainya era global yang sangat kompetitif.

Pesantren sebagai media sosialisasi dan edukasi Islam jika tidak senantiasa diikutkan dan disesuaikan dengan kebutuhan zamannya, maka niscaya pesantren sudah lama ditinggalkan oleh para simpatisannya, tak terkecuali para santri maupun alumnus PPSPA.

Pendidikan Formal

Program pendidikan formal PPSPA menangani dari jenjang TK sampai PT. TK/RA Sunan Pandanaran merupakan lembaga formal pertama yang dimilki oleh PPSPA setelah huffadz dan madrasah diniyah al-Qur’an.

MISPA mulai beroperasi sejak tahun 2006 yang targetnya ialah mempersiapkan kader-kader Qur’ani sejak kecil. Kurikulumnya ada 2; pertama, kurikulum Depag dan kedua, kurikulum Muatan lokal sebagai upaya memperdalam ilmu-ilmu agama a la pesantren.

Pada jenjang menengah pertama, MTs Sunan Pandanaran, merupakan madrasah setingkat dengan SLTP. Madrasah ini menjadi sebuah pilihan bagi santri untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan formal. MTs SPA memuat kurikulum Depag, Depdiknas dan muatan lokal dari pesantren (kitab kuning dan pengkajian al-Qur’an).

MASPA mengemban misi mencetak generasi Islami yang mandiri dalam segala bidang, memiliki kualitas IMTAK dan IPTEK yang seimbang serta memiliki wawasan global yang luas. Ada tiga konsentrasi studi yang ada di MASPA YAKNI IPA, IPS dan Keagamaan.

Pendidikan Non Formal

Pesantren tahfidz. Tetap mempertahankan tradisi pesantren salaf-nya yakni dengan tetap adanya Qism al-Tahfidh (khusus menghafal al-Qur’an) dan Qism al-Takhashshush (khusus mengaji kitab).

Adapun kitab-kitab yang dipergunakan dan diajarkan di sana adalah kitab-kitab mu’tabar seperti Ihya’ ‘Ulum al-Din, Shahih Bukhori-Muslim, Tafsir Jalalain dan lain-lain.

Program pendidikan tahfidh al-Qur’an bertujuan mencetak para penghafal dan pengamal al-Qur’an. Selain itu program ini juga memfasilitasi santri agar menguasai ilmu-ilmu terkait al-Qur’an seperti tajwid, tafsir, ta’wil dan ilmu-ilmu penunjang lainnya.

Masa tempuh studi ini bervariasi, rata-rata dua sampai tiga tahun atau lebih, tergantung pada tingkat kecerdasan dan kerajinan seorang santri. Metode hafalan menerapkan dua pola pendekatan, yakni pendekatan personal (tawajjuh-an antara santri dengan pengasuh saat menyetorkan hafalan) dan pendekatan sistem yang meliputi tiga aspek yakni sistem badal (bimbingan kepada santri dalam membuat hafalan (loh-lohan)), sistem presensi dan sistem evaluasi berkala (imtihan).

Pesantren mahasiswa ditujukan untuk mengakomodasi belajar formal sambil tetap tinggal di pesantren guna memperdalam ilmu agama dan pesantren mandiri yang dikususkan untuk santri yang berasal dari golongan kurang mampu dengan mengabdi di PPSPA.

Selain mendapatkan pendidikan di pesantren, sebagian dari santri mandiri juga memperoleh pendidikan formal di madrasah. Biaya pendidikan dan biaya hidup semuanya menjadi tanggungan pesantren.

Seperti yang sudah disebutkan di muka bahwa pada awalnya, bangunan PPSPA hanya terdiri dari satu masjid dan satu rumah yang keduanya sangat sederhana dan hanya dapat menampung puluhan santri saja, kini PPSPA memiliki enam komplek.

Selain itu, masih ada beberapa bangunan lagi yang dimiliki oleh PPSPA seperti bangunan kampus STAISPA dan madrasah-madrasah diniyah.

Jika pada mula berdirinya PPSPA hanya berdiri rumah dan masjid yang bangunannya sederhana, maka sekarang dapat dilihat sudah seberapa majunya pesantren yang kini diasuh oleh H. Mu’tashim Billah, M.Pd.I atau yang lebih akrab dengan sapaan Gus Tashim ini  sudah sangat maju.

Sarana fisik PPSPA yang meliputi sebuah masjid, gedung-gedung sekolah/madrasah dari Taman Kanak-kanak, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, asrama santri, kamar mandi/wc, dapur umum, gedung serba guna, ruang tamu, kolam wudlu dan perpustakaan keseluruhan berjumlah 15 buah meliputi 42 lokal, dengan luas sekitar 1.200 m2. Jumlah ini belum termasuk rumah pengasuh dan rumah keluarga kyai.

Demikian profil Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Semoga bermanfaat. (AL)

 

Sumber:

www.pandanaran.org

Afaf Maulida, Sejarah Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, 2015.

Leave a Response