Tak berlebihan jika saya mengatakan puisi adalah watak bangsa Arab. Sebagaimana halnya logika-filsafat bagi bangsa Yunani dan nilai-nilai keluhuran bagi bangsa India, puisi merupakan orisinalitas peradaban mereka. Meski demikian, berkenaan dengan arkeologi puisi, mereka—para kritikus sastra belum mencapai kata sepakat atau sepemahaman berkenaan ihwal historis titik mangsa kemunculan syair pertama kali dan juga siapakah sosok penyair pertama kali dari kalangan mereka.
Keduanya sampai kini masih diselimuti polemik yang alot. Apakah sebelum masa jahiliyah tradisi menggubah syair sudah begitu menjamur ataukah memang masa jahiliyah merupakan titik pijak perintisan puisi pertama kali. Di samping itu, menyinggung siapa penyair pertama, sikap kefanatikan kepada sebuah kabilah sangat kuat mengiringi perebutan status ini, masing-masing di antara mereka mengklaim bahwa penyairnya didaku sebagai penyair pertama kali. Karena tendensi ini akan mengangkat ketinggian dan keunggulan kabilah tersebut.
Namun, membincangkan keduanya hanya akan membawa kita ke lapangan perseteruan tanpa ujung. Bukan bermaksud mengesampingkan dua pokok pengetahuan tersebut. Kenyataannya ada hal yang jauh lebih menarik mengenai bagaimana bangsa Arab mendudukan sebuah puisi daripada memecahkan permasalahan sebelumnya secara valid.
Meski demikian, tak disangsikan lagi apabila qasidah-qasidah jahiliah yang sampai di tangan kita hari ini menandakan kalau qasidah-qasidah tersebut melengkapi tradisi puisi yang sudah-sudah dalam rangkaian perjalanan panjang perkembangan puisi. Hanya saja, secara sadar sangat disayangkan, akibat konsekuensi ini kita kehilangan berbagai elemen berharga pengetahuan tentang arkeologi puisi bangsa Arab.
Sebelum Islam datang dengan Nabi Muhammad saw. sebagai seorang utusan dan Alquran sebagai dasar sumber ajaran. Bagi mereka, puisi dipandang sebagai satu-satunya sumber yang absah dan memiliki legitimasi paling kuat.
Selain itu, dalam pandangan al-Jahizh puisi juga dinilai mempunyai prinsip orisinalitas, di mana bukan hanya dalam tataran puitika saja, akan tetapi juga mencakup dimensi kultural kebangsaan, dalam artian bersifat watak etnik. Maka dari situ, menurut al-Jahizh, bangsa Arab merupakan bangsa pertama kali dalam hal puisi dan bahasa. Sehingga apa pun pengajaran dan nilai-nilai dalam pola kehidupan mereka, kesemuanya mengacu kepada apa yang tertera dalam puisi, dan kerap kali pendapat yang bercermin darinya dianggap kata-kata bijak yang otaritatif.
Misalnya tentang bagaiamana bangsa Arab belajar pengetahuan mengenai macam dan jenis hewan. Al-Jahizh dalam bukunya al-Hayawan menjadikan puisi Arab sebagai sumber pertamanya. Dari puisi Arab itu ia memungut nama-nama hewan, baik yang liar dan jinak. Selanjutnya, ia menjelaskan sifat-sifatnya dan bagaimana kehidupannya. Ia memandang bahwa pengetahuan bangsa Arab tentang hewan merupakan hasil dari pengalaman. Oleh sebab itu, pendapat mereka dapat dipercaya dan dijadikan pegangan sekaligus.
Prespektif lain yang cukup ekstrem menyebutkan, puisi (bahasa) dikultuskan seperti agama, lahir secara sempurna, bukan hanya fitrah manusia saja melainkan juga merupakan tindakan samawi atau malaikat. Mereka meyakini, meski puisi dibuat oleh kreativitas bahasa dan olah bakat seorang penyair. Apa yang tertulis di dalamnya datang dari sumber di luar manusia—si pembuatnya. Sumber itu boleh jadi diilhami dari langit, dari malaikat, dan setan.
Mempertegas asumsi ini Abu Zaid al-Qurasyi mengatakan “Puisi merupakan substansi yang tidak habis digali tambangnya.”
Laiknya sebuah mukjizat yang diturunkan Tuhan bagi bangsa Arab, dengan demikian memberikan sebuah landasan psikologis adanya sebuah taqlid bagi seorang penyair yang datang belakangan. Konsep ini secara implisit berbunyi, bahwa penyair yang sempurna adalah mereka yang meniru kesempurnaan yang terwujud di masa lampau dan sebaik-baik puisi adalah yang memuat unsur puisi-puisi terdahulu. Karena puisi-puisi terdahulu adalah asal dan yang datang kemudian merupakan cabang dari yang awal. Sehingga implikasi ini akan menunjukan ketidakmungkinan sebuah cabang ada tanpa hadirnya sebuah asal. Maka dari itu akan dinilai jelek dan tidak layak dijadikan pegangan sebuah puisi yang tidak menerapkan konstruksi atau SOP puisi terdahulu.
Setiap ilmu yang diperoleh pada dasarnya merupakan ilmu ketidaksempurnaan, jika dibandingkan dengan ilmu Arab—berupa puisi yang didapat melalui fitrah. “Sebab puisi merupakan watak bangsa Arab. Sedangkan validitas fitrah dan watak pada suatu bangsa merupakan bukti kesempurnaan dan keunggulan bangsa tersebut.” Demikianlah al-Jahizh menuturkan kesimpulannya bertaut antara sifat fitrah puisi dan keunggulan bangsa Arab.
Ketika puisi merupakan watak dan fitrah bangsa Arab, berarti ia menjadi soko sekaligus substansi kepribadiannya. Berangkat dari keistimewaan ini sama saja menganggap bahwa bangsa Arab adalah pemilik simbol retorika paling sempurna. Lagi pula pekerjaan menggubah puisi bukan sembarang pekerjaan yang bisa ditangani oleh setiap orang, sebab ia merupakan perkara di luar kemampuan manusia. Karena mereka tidak mampu mendatangkan yang serupa dengan puisi Arab.
Maka dari simpul ini kita dapat menangkap, ketika Nabi Muhammad datang dengan membawa misi kenabian nya lewat mukjizat Alquran, sebenarnya beliau sedang menantang eksistensi puisi jahiliyah, dan lebih frontal lagi sebenarnya beliau tengah mengoyak kemapanan simbol Arab tebesar. Wallahu A’lam[]