Beberapa bulan yang lalu dunia santri sempat mendapat hiburan dari seorang yang diakui oleh sebagian orang sebagai ulama karena kesalahannya mentashrif lafadz kafaro. Hal ini pun tak pelak menuai banyak komentar dari kalangan santri, dan paran netizen yang mengerti akan kesalahan sang ulama dalam mentashrif.
Saat nyantri dulu pasti kita dituntut untuk menghafal kitab Amtsilat Tashrifiyyah, bukan hanya sekedar menghafal perubahan bentuk katanya melainkan juga kaidahnya. Bukan hanya itu santri juga dituntut untuk menguasai dan menghafal nazam; mempelajari kaidah nahwu dan sharf (sintaksis dan morfologi bahasa Arab); menghafal tarikh (sejarah) nabi; ngaji fikih dan tauhid; dan banyak lagi yang lainnya.
Salah satu kitab yang wajib dihafal adalah kitab Qawa’idul I’lal Fissharfi. Qawa’idul I’lal Fissharfi adalah salah satu kitab rujukan dan pelajaran di berbagai pesantren dan madrasah diniyah di Indonesia. Kitab ini masih tergolong membahas ilmu sharf atau perubahan kata bahasa arab. Itulah kenapa dibelakang nama kitab ini ada embel-embel Fissharfi. Keberadaannya merupakan materi penguat pelajaran nahwu dan Amtsilat Tashrifiyyah.
Mengutip dari artikel nahdlatululama.id yang berjudul “Kitab Qowa’id I’ Lal – Karangan Syekh Mundzir Nadzir” bahwasannya kitab Qawa’idul I’lal Fissharfi ini merupakan kitab karangan Syekh Mundzir Nadzir, seorang ulama nusantara. Nama asli Mundzir Nadzir adalah Munhamir. Namun disebutkannya pula bahwa nama aslinya adalah Ibnu Mundzir. Sedangkan ayahnya bernama Haji Muhammad Nadzir.
Beliau dilahirkan di dusun Sekaran, Keludan, Kertosono, Kediri. Biografi beliau tidak begitu diulas dalam artikel ini, akan tetapi jika melihat sampul kitabnya terdapat kata sekaran yang itu merujuk pada dusun kelahiran beliau. Ada beberapa pendapat ilmuwan sharf yang mendefinisikan tentang kajian Qawa’idul I’lal ini:
الإعلال هو تغيير حرف العلة للتخفيف بقلبه أو إسكانه أو حذفه (إسماعيل 158:2000)
I’lal adalah perubahan huruf illat (wau, alif, ya’) agar ringan dalam pengucapannya dengan cara mengganti, mensukun, dan membuang (Ismail, 2000).
Sedangkan dalam cacatan Rifa’i (2012) definisinya sebagai berikut:
الإعلال هو أن يحذف حرف العلة وأن يحل حرف العلة محل حرف آخر في الكلمة (رفاعي 163:2012)
I’lal adalah membuang huruf illat atau memindahkannya pada tempat huruf illat yang lain dalam sebuah kata (Rifa’i, 2012).
Dari pendapat diatas dan pengalaman penulis ketika mempelajari kitab Qawa’idul I’lal Fissharfi, rasa-rasanya definisi dari Isma’il lebih mendekati sesuai dan mudah dimengerti bagi para santri dan mahasiswa pengkaji bahasa Arab. Meskipun begitu, kita tidak boleh menafikan keberadaan pendapat yang lain.
Sementara itu jika kita merujuk pada kajian linguistik secara umum (tidak sebatas bahasa Arab saja), maka kajian dalam kitab Qawa’idul I’lal Fissharfi ini menurut penulis lebih dekat ke kajian morfofonologi. Ada beberapa pendapat yang mendasari saya memasukkan Qawa’idul I’lal Fissharfi ini masuk dalam kajian morfofonologi.
Pertama, Asrori (2004), morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji aspek kebahasaan yang merupakan dan bagian-bagiannya. Menurut saya definisi ini lebih dekat pada kajian ilmu sharf.
Kedua, Irawati (2013), fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Definisi ini lebih dekat pada kajian ilmu ashwat (kajian bunyi bahasa Arab).
Ketiga, menurut Pateda (dalam Asrori, 2004) morfofonologi atau lazim disebut dengan morfofonemik adalah kajian tentang perubahan bunyi sebagai akibat dari pertemuan morfem dengan morfem yang menghasilkan kata, atau pertemuan kata dengan kata yang menghasilkan frasa.
Pendapat ketiga inilah sebagai pijakan saya dalam mengklasifikasikan Qawa’idul I’lal Fissharfi ini dalam kajian morfofonologi. Karena dalam kajian ini bukan hanya bicara tentang morfem, melainkan juga asal bunyi dari kalimah (kata) Arab yang mengandung huruf illat (wau, alif, ya’).
Istilah-istilah ilmiah akademik seperti inilah yang memang belum diajarkan di pondok pesantren maupun madrasah diniyah kepada para santri. Secara teoritik mungkin santri asing dengan istilah-istilah akademik seperti ini, akan tetapi santri lebih unggul dalam tradisi praktik ilmiahnya ketimbang mahasiswa sastra Arab yang belajar di perguruan tinggi. Saya berharap nantinya banyak santri yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi untuk memperdalam hal-hal yang sifatnya akademik ilmiah.
Terlepas dari istilah-istilah akademik dan tetek bengeknya, saya kira kenangan saya dengan kitab Qawa’idul I’lal dulu waktu nyantri di pesantren maupun madrasah diniyah amatlah menyenangkan, daripada hanya sekedar mengetahui ilmu ini masuk dalam kategori disiplin ilmu apa.
Untuk mengingatkan kenangan itu saya akan menuliskan salah satu praktik pada kaidah yang pertama yang mungkin kaidah inilah yang paling masyhur dan paling akrab di telinga para santri, yang apabila ditulis kira-kira seperti ini;
Artinya: Apabila ada Wau atau Ya’ berharakat, jatuh sesudah harkah Fathah dalam satu kalimah, maka Wau atau Ya’ tersebut harus diganti dengan Alif seperti contoh صَانَ asalnya صَوَنَ , dan بَاعَ asalnya بَيَعَ .
Praktik pada kaidahnya seperti ini;
” صان ” اصله صون “على وزن “فعل” ابدلت/ قلبت الواو الفا لتحركها بعد فتحة متصلة فى كلمتها فصار “صان”
Artinya: صَانَ asalnya صَوَنَ ikut pada wazan فَعَلَ. Wawu diganti Alif karena ia berharkah dan sebelumnya ada Huruf berharkah Fathah, maka menjadi صَانَ.
Semoga jiwa-jiwa semangat belajar kala nyantri dulu senantiasa terpatri dalam diri kita, agar kita mampu mengamalkan ilmu yang kita punya, serta dengan ilmu yang kita punya kita mampu bersikap bijak dan tidak grusah-grusuh dalam bersikap; serta kita dapat mengubah pola zikir, pola fikir, dan pola sikap kita ke arah yang lebih baik. Aamiin.