Dewasa ini, ada sekelompok orang yang menyalahpahami ayat-ayat perang atau ayat-ayat qital dalam Al-Qur’an sebagai dalil untuk melancarkan serangan dan memulai peperangan terhadap non-Muslim sekalipun mereka berada pada situasi damai. Mereka beranggapan bahwa langkah tersebut harus dilakukan hingga semua manusia masuk ke dalam agama Islam.
Pemahaman demikian tidaklah benar dan bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Berkenaan dengan hal ini, Muhammad Quraish Shihab dalam sebuah kajian tafsir online di Wamimma Tv mencoba menerangkan konteks ayat-ayat qital: bahwa di balik ayat tersebut ada isyarat kedamaian yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an kepada umat Islam.
Menurut beliau, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah kitab suci Al-Qur’an mengandung petunjuk bagi kehidupan manusia, baik kehidupan dunia maupun akhirat. Dalam konteks kehidupan dunia, ada tuntunan tentang bagaimana hidup secara komunal, bermuamalah dan sebagainya. Semua tuntunan tersebut mengarah pada mewujudkan perdamaian bagi individu dan masyarakat.
Dengan demikian, garis besar ajaran Al-Qur’an adalah kedamaian. Dalam konteks mewujudkan kedamaian tersebut, Al-Qur’an beberapa kali menyebutkan tentang ayat-ayat qital. Namun, patut diketahui bahwa peperangan yang dibicarakan itu bukanlah tujuan utama Al-Qur’an, tetapi hanya sebagai sarana mewujudkan kedamaian.
Karena alasan inilah, menurut Quraish Shihab ayat-ayat perang tidak sepantasnya dihadap-hadapkan dengan ayat-ayat damai (jangan menganggap keduanya berkontradiksi). Ayat-ayat perang dan ayat-ayat damai memiliki konteks tersendiri yang harus dibaca secara utuh. Keduanya pada dasarnya sama-sama membangun ajaran Islam yang damai dan mendamaikan.
Beliau juga secara tegas menolak paham yang menyatakan ayat-ayat damai yang turun terlebih dahulu dibatalkan oleh ayat-ayat perang yang turun belakangan. Menurutnya, pandangan ini seakan-akan membedakan antara Islam Makkah dan Islam Madinah (dualisme Islam). Padahal sebenarnya tidak demikian, keduanya turun bergantian dalam rangka mewujudkan prinsip dasar Islam, yakni kedamaian, bukan peperangan.
Ketika membaca sejarah pewahyuan ayat-ayat perang, kita akan menemukan bahwa meskipun ayat tersebut berbicara mengenai peperangan, namun pada saat yang sama ia juga mengandung isyarat tentang kedamaian. Kemudian, pada 15 tahun pertama kenabian, ayat-ayat perang tidak pernah muncul. Ini baru diwahyukan pada tahun kedua Hijriah di mana situasi memaksa umat Islam untuk mempertahankan kedamaian melalui perang (Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul).
Kalaupun umat Islam diperintahkan berperang, itu tidak terjadi tanpa alasan atau hanya karena ingin berperang. Perang dalam ajaran Islam adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kedamaian serta melawan kezaliman. Dalam perang pun ada aturan-aturan yang berlaku sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah [2] ayat 190 yang berbunyi:
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ ١٩٠
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 190).
Menurut para ulama, sebagaimana dikatakan Quraish Shihab, surah al-Baqarah [2] ayat 190 adalah ayat perang yang paling menggambarkan tentang konteks peperangan dalam Islam. Melalui ayat ini, seseorang akan mengetahui bahwa umat Islam dibolehkan berperang dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan negara serta mewujudkan kedamaian.
Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa perang haruslah dilakukan di jalan Allah. Jalan ini antara lain membela agama, membela nilai kebenaran, dan membela Tanah Air. Artinya, Islam tidak membenarkan adanya perang yang disebabkan oleh kepentingan individu maupun golongan, karena ini dapat mencederai nilai-nilai kedamaian.
Perang dalam Islam hanya terjadi apabila ada orang yang memerangi umat Islam dan mengganggu kedamaian. Dari sini kita memahami bahwa non-Muslim yang menginginkan kedamaian tidak boleh diganggu dan disakiti apalagi diperangi. Ibnu Arabi bahkan pernah menyebutkan, ketika ia menafsirkan kata an tuqsitu pada surah al-Mumtahanah ayat 8, tidak mengapa seandainya Muslim memberikan harta kepada non-Muslim yang menginginkan kedamaian.
Menurut Quraish Shihab, dalam perang pun ada aturan yang berlaku, yakni tidak boleh berlebih-lebihan sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 190. Jangan berlebihan di sini maksudnya jangan membunuh anak-anak, orang tua, dan wanita, serta jangan menghancurkan tempat ibadah umat lain, jangan membumi hanguskan kota, fasilitas dan tindakan-tindakan destruktif lainnya.
Al-Sa’adi menyampaikan pandangan serupa dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, perang hanya terjadi apabila ada kelompok yang mencoba untuk memerangi kedamaian umat Islam dan mengganggu stabilitas negara. Dalam perang pun umat Islam dilarang berbuat kerusakan seperti membunuh orang yang tidak bersalah, merusak alam dan hal-hal yang bersifat merusak.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa asas ajaran Islam adalah perdamaian dan kedamaian (al-salam). Perang pun terjadi dalam konteks mempertahankan dan mewujudkan perdamaian (bersifat defensif, bukan ofensif apalagi agresif). Quraish Shihab menegaskan, “Perang untuk mengislamkan orang itu tidak pernah ada (dalam ajaran Islam). Perang itu untuk membela agama, membela kepercayaan demi meraih kedamaian.” Wallahu a’lam.