Shalat, sebagaimana banyak disebutkan dalam banyak literatur fikih, menurut bahasa adalah doa. Sedangkan menurut istilah adalah serangkaian gerakan-gerakan tertentu yang dipadukan dengan bacaan-bacaan yang telah ditentukan oleh Syari’ (Allah Swt. sang pencipta syariat), dengan syarat dan waktu yang telah ditetapkan.
Praktik shalat semacam ini diajarkan oleh Rasulullah Saw yang diikuti oleh para sahabat dan secara terus menerus ditiru oleh generasi-generasi selanjutnya hingga berlangsung sampai saat ini.
Sebagai bagian dari rukun Islam yang kedua, melaksanakan shalat secara sempurna akan berbuah manfaat yang luar biasa. Kesempurnaan dalam shalat akan memiliki balasan pahala yang sangat besar.
Kesempurnaan yang dimaksud adalah bukan hanya memenuhi syarat dan rukun shalat secara fikih, melainkan juga dalam hal menghadirkan hati, sehingga menghasilkan khusyuk dalam shalatnya.
Al-Qur’an dengan jelas mengatakan bahwa seseorang mukmin dikategorikan sebagai orang yang beruntung jika ia khusyuk dalam shalatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.” (QS: Al Mu’minun.1-2)
Mengenai khusyuk dalam shalat sebagaimana dipaparkan dalam QS. Al-Mu’minun (23): 2 di atas, Al-Zuhri menggambarkannya sebagai ketenangan seseorang ketika melaksanakan shalat.
Menurut satu pendapat yang ditulis dalam Al-Ghunyah disebutkan bahwa orang-orang khusyuk adalah mereka yang tidak terganggu oleh aktivitas di sisi kanan dan kirinya karena saking fokusnya dalam menunaikan ibadah shalat.
Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir dengan mengutip ungkapan Hasan Al-Basri menyatakan bahwa salah satu cara agar dapat khusyuk ketika shalat ialah dengan memejamkan mata. Maka dari itu, ketika lahiriah seseorang telah bebas dari gangguan pandangan matanya, maka hati akan menjadi tenang dan khusyuk menghadap kehadirat Allah Swt sewaktu ia melakukan shalat.
Berlawananan dengan pernyataan Al-Basri, Muhammad Syatho Dimyathi menghukumi sunah membuka mata ketika sujud. Oleh para ulama kemudian ditafsiri sebagai upaya melanggengkan pandangan ke tempat sujud dalam setiap gerakan shalat.
Mereka beralasan bahwa memfokuskan pandangan ke satu tempat lebih mempermudah tercapainya khusyuk. Mereka juga berpendapat akan kemakruhan memejamkan mata ketika shalat, sebab merupakan praktek orang-orang Yahudi. Rasulullah Saw juga para sahabat sama sekali tidak pernah mencontohkannya.
KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi, Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mengajarkan metode Rabithah sebagai instrumen menggapai khusyuk shalat atau dalam memperoleh makrifat secara umum. Bahkan beliau mengkhusukan pembahasannya dalam salah satu kitabnya, Al-Nuqthah, yang juga akan menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini.
Kiai Utsman memberikan definisi tersendiri mengenai rabithah dalam catatannya:
“Rabithah adalah ungkapan hubungan hati terhadap sesuatu dikarenakan alasan cinta”.
Rabithah secara bahasa berarti ikatan. Dalam tarekat dikenal sebagai praktek mengingat guru saat melakukan proses berzikir sebagai wasīlah (perantara). Seorang murid tarekat akan kesulitan untuk memahami konsep ajaran tarekat dan juga sampai pada tujuan akhir dari perjalanan spiritual jika tidak melalui sang guru.
Termasuk saat melakukan zikir kepada Allah, seorang murid sebisa mungkin harus bisa menghadirkan seorang guru, bahkan sampai membayangkan wajahnya atau perkataan dan perilakunya.
Bagaimanapun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa rabithah atau jalinan hati akan terjadi pada diri setiap individu manusia, baik diniatkan ataupun tidak. Hati manusia akan selalu tertaut kepada sesuatu yang disukainya.
Karenanya, Kiai Utsman mengategorikan rabithah menjadi tiga macam, yakni rabithah yang terpuji, tercela, dan diperbolehkan. Ketiganya ini memuat lima hukum, yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan boleh atau mubah.
Rabithah dihukumi wajib, apabila yang dijadikan rabithah atau ketergantungan hatinya adalah kepada Allah Swt dan rasul-Nya. Ia dihukumi terlarang jika rabithahnya adalah kepada perkara-perkara yang diharamkan dan tidak disukai.
Dihukumi mubah, seperti cintanya seseorang kepada keluarga dan anaknya yang telah menjadi bawaan atau karakter seseorang yang tidak bisa dihindarkan lagi.
Keberadaan rabithah dalam hati ini menimbulkan kesulitan khusyuk dalam beribadah. Ketika mulai bertakbiratul ihram dalam shalat, seseorang akan diganggu oleh bersitan hatinya. Pikirannya ke mana-mana.
Ia melupakan Allah dalam ibadahnya serta lupa akan kondisi dirnya. Hatinya tersibukkan dengan ber-rabithah akan harta bendanya, pekerjaan, istri dan banyak urusan-urusan lainnya.
Dengan alasan semacam ini, maka ber-rabithah dengan guru mursyid adalah dibutuhkan demi menghilangkan kelalaian kepada Allah Swt dalam shalat. Sehingga ia menghadap Allah dalam shalatnya dengan keadaan hati yang hadir.
Rabithah ini dihukumi sunah karena memudahkan seseorang dalam menghadirkan Allah Swt., sebagaimana anjuran menyaksikan telunjuk ketika tahiyat untuk memfokuskan fikiran.
Kiai Utsman al-Ishaqi dalam risalah singkat Al-Nuqthah–nya berusaha memberikan jawaban kepada kelompok yang tidak menerima kebolehan rabithah kepada mursyid. Para pengingkar rabithah ini berpendapat bahwa rabithah tidak berlandaskan argumen Al-Quran maupun Hadits.
Padahal telah maklum bahwa para sahabat menjadikan Rasulullah Saw sebagai gurunya, yang mengajarkan amalan-amalan zikir dan berbagai bentuk kebaikan lainnya. Mereka lalu mencoba meniru dan membayangkan cara Rasulullah Saw. dalam ibadahnya.
Kiai Utsman, dengan mengutip pernyataan para pemuka tarekat Naqsyabandiyah, menyatakan bahwa rabithah dihukumi sunah. Sebab ia termasuk bagian dari wasilah (perantara) untuk menolak lintasan-lintasan hati dan menghilangkan sifat lalainya hati.
Dengan ber-rabithah, menjadi hilang dan sirna semua godaan dan gangguan. Yang tersisa hanyalah perantara tersebut, sehingga bisa dijadikan jembatan untuk menghadap ke hadirat Allah Swt. Pada hakikatnya, rabithah bukanlah tujuan, melainkan perantara saja. Sebab titik puncak tujuan dan harapan hanyalah Allah Swt. Wallahu a’lam bis shawab.
Muhammad Utsman Al-Ishaqi, Al-Nuqṭah, (Surabaya: Al-Khidmah, 2012)
Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H.), Al-Ghunyah li Ṭālibi Ṭarīq al-Ḥaqq Azza wa Jalla, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2015).
Abu Bakar Ibn al-Sayyid Muhammad Syatho al-Dimyathi, I’ānah al-Ṭālibīn ‘alā Alfā:d. Fatḥ al-Mu’īn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).
Rizqa Ahmadi, “Jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kabupaten Trenggalek” dalam Jurnal Living Hadis, Vol. 2 Nomor , Mei, 2017.