Dalam berbagai literatur sejarah, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang ummy, alias tidak bisa membaca dan menulis. Ke-ummy-an Nabi merupakan sebuah argumen dan bukti yang kuat bahwa Al-Qur’an benar-benar berasal dari Allah Swt. bukan buatan, karangan, atau kreasi Nabi Muhammad.

Orang yang ummy sangat mustahil menyusun Al-Qur’an yang mengandung kalam-kalam yang indah dan menakjubkan, bahkan susunan sastranya sangat mencengangkan bangsa Arab.

Orang-orang Arab mengenal benar keindahan dan karakteristik sastra Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an. Namun mereka enggan beriman pada Al-Qur’an, karena mereka tertutupi oleh kebodohan dan kedengkian kepada Nabi Muhammad.

Mengapa harus Muhammad yang miskin dan yatim yang mendapat wahyu dari Tuhan? Kenapa bukan mereka saja?

Bahkan, seorang yang sangat memusuhi dan membenci Nabi mengakui keindahan Al-Qur’an. Dia adalah Walid bin Al-Mughirah. Ia mengakui kehebatan sastra Al-Qur’an dan menyatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah buatan Muhammad yang ummy.

Walid bin Al-Mughirah mengatakan, “Sungguh! Belum pernah sama sekali aku dengar semisal Al-Qur’an. Itu bukanlah sya’ir, sihir, dan bukan pula tenung.” Tapi sayangnya, Allah Swt. tidak menghendaki hidayah berlabuh di hati Walid.

Para ilmuwan sejarah sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw. memang tidak bisa membaca dan menulis pada saat permulaan turunnya Al-Qur’an dan pada waktu dimulainya langkah dakwah Islam. Hal ini karena ke-ummy-an Nabi menjadi hujjah dan bukti kuat yang dapat membungkam para pembangkang dan pengingkar.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ankabut ayat 48-49:

“Dan tidaklah engkau itu membaca dari suatu kitab apapun sebelumnya, jadi niscaya para pengingkar itu menjadi bimbang. Namun, itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang tersimpan) di dada-dada orang yang memiliki pengetahuan, dan tidaklah ingkar kepada ayat-ayat kami melainkan orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Ankabut: 48-49)

Namun, setelah umat Islam berdiri tegak dengan pondasi dan akar yang kuat, setelah kecintaan umat kepada Allah dan Rasul-Nya meresap ke dalam relung hati, setelah keimanan umat Islam terhadap Allah dan Rasul-Nya sudah menyatu dalam denyut nadi, dan setelah kemukjizatan Al-Qur’an sudah tak terbantahkan lagi, apakah ke-ummy-an Nabi masih diperlukan?

Tidakkah ada peluang bagi Nabi untuk belajar membaca dan menulis di masa-masa setelah kebenaran Al-Qur’an bersinar terang-benderang? Dalam hal ini ulama masih berbeda pendapat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi tetap tak bisa membaca dan menulis sampai akhir hayatnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Al-Baghawi.

Sedangkan ilmuwan sejarah lainnya mengemukakan bahwa ke-ummy-an Nabi hanyalah sebagai argumen dan bukti atas kemukjizatan Al-Qur’an. Jadi, dengan semakin kokohnya keimanan umat Islam dan semakin hilangnya keraguan atas kemukjizatan Al-Qur’an, maka tidak ada halangan lagi bagi Nabi untuk bisa membaca dan menulis.

Hal ini dibuktikan oleh fakta sejarah, yaitu pada saat terjadinya perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini terjadi pada tahun 6 Hijriyah, yaitu masa-masa saat sinyal-sinyal kemenangan dan keberhasilan dakwah Islam sedikit demi sedikit semakin terlihat.

Perjanjian Hudaibiyah adalah beberapa kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Muslim Madinah dengan orang-orang kafir Makkah di daerah Hudaibiyah.

Di antara isi perjanjian tersebut adalah umat Islam baru boleh memasuki Makkah pada tahun berikutnya dan umat Islam hanya boleh menetap di Makkah selama 3 hari dan lain sebagainya. Saat perjanjian ini terjadi, Nabi menulis sendiri butir-butir perjanjian itu.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

Tatkala Nabi Saw. hendak umrah pada bulan Dzulqa’dah, penduduk Makkah enggan mengizinkan Nabi untuk masuk Makkah, hingga Nabi memutuskan untuk menetap di Mekkah selama tiga hari, ketika mereka (umat Islam) menulis: “Ini adalah keputusan yang diputuskan oleh Muhammad utusan Allah”

Lantas mereka (orang kafir Makkah) berkata: “Kami tak mengakui dirimu sebagai Rasul. Andai kata kami tahu kau utusan Allah, tentu kami tak akan mencegahmu masuk sedikitpun. Akan tetapi, engkau Muhammad putra Abdullah.”

Kemudian Nabi bersabda: “Aku Rasulullah dan Muhammad bin Abdullah.” Lalu beliau bersabda kepada Ali bin Abi Thalib r.a.: “Hapuslah kata Rasulullah itu!” Lantas Ali menjawab: “Demi Allah, aku tak akan menghapusnya selamanya.”

Kemudian Rasulullah pun mengambil tulisan itu, padahal beliau tak pandai menulis. Lalu beliau menulis: “Ini adalah keputusan yang diputuskan oleh Muhammad bin Abdullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama yang berpendapat bahwa Nabi tak bisa membaca dan menulis hingga akhir hayat itu pun menguatkan pendapatnya dengan mengemukakan sebuah hadis pula:

Bahwasanya Nabi bersabda: “Kami adalah umat ummy, kami tidak menulis dan menghitung bulan sekian-sekian, maksudnya kadang 29, kadang 30. (Muttafaq alaihi)

Imam Al-Alusy mengungkapkan dalam kitabnya Ruh al-Ma’ani, bahwa hadis tersebut tidak menegaskan bahwa Nabi tak dapat membaca dan menulis selamanya. Barangkali Nabi hanya ingin menyampaikan bahwa beliau diutus kepada kaum yang kebanyakan tak dapat menulis.

Jadi, makna hadis tersebut bukan berarti terus-menerus tak bisa baca tulis.

Imam Al-Alusy menambahkan penafsiran terhadap ayat 48 dari Surat Al-Ankabut di atas:

Memang, peletakan lafadz من قبله  yang jatuh sebelum lafadz لا تخطّه  itu seakan-akan mengesankan bahwa Nabi memang tidak bisa menulis selamanya. Karena sebuah batasan (من قبله) yang berada di tengah itu tak berlaku secara umum untuk membatasi kalimat setelahnya (لا تخطّه  ). Jadi, lafadz من قبله tak dapat membatasi lafadz لا تخطّه .

Namun sebagian ulama memahami bahwa lafadz من قبله   dapat membatasi lafadz sebelumnya, yaitu وما كنت تتلوا dan sekaligus lafadz setelahnya, yaitu لا تخطّه.

Oleh karena itu, mereka pun menyimpulkan bahwa Nabi bisa membaca dan menulis setelah Al-Qur’an diturunkan. Karena ayat tersebut bermakna: “Tidaklah engkau membaca suatu kitab apapun sebelumnya, dan tidak pula engkau menulis dengan tangan kananmu (sebelumnya)”.

Jadi, kalau kalau setelahnya (turun Al-Qur’an), Nabi bisa membaca dan menulis, karena ayat tersebut menegaskan Nabi tidak membaca dan menulis sebelumnya (Al-Qur’an). Wallahua’lam bis shawab.

Leave a Response