Ragam Burdah dan Para Pengarangnya- Kesusastraan adalah salah satu bagian dari entitas budaya yang mewujud dalam karya-karya sastra. Tidak ada satu bangsa pun yang tidak mengalami suatu periode perubahan dalam peradaban dan kebudayannya. Termasuk pula bangsa Arab dengan segala totalitas budayanya. Di antara ciri bangsa yang beradab adalah mampu mencipta budaya dan mewujudkannya ke dalam budaya yang luhur.
Dalam riwayat sejarahnya, bangsa Arab telah mampu menciptakan budaya sehingga mencapai tingkat peradaban yang luhur itu. Beberapa produk budaya bangsa Arab adalah karya-karya sastra yang berbentuk puisi, prosa, dan drama.
Pada zaman pra-Islam kebanyakan kesusastraan Arab berbicara tentang moralitas. Namun kemudian setelah Islam datang dunia sastra Arab dipenuhi dengan spiritualitas Islam. Selain moralitas, sastra (puisi) Arab juga memiliki genre yang menjadi ranah puisi pra-Islam, sepeti puji-pujian(madch), satire(hija’), puisi-puisi cinta(ghazal), dan elegi(ritsa’). Kemudian setelah Islam datang, muncul genre puisi baru yaitu puisi religius yang berbicara tentang pengalaman spiritualitas Islam.
Tidak seperti sastra lainnya, puisi Arab memiliki ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam setiap baris. Ini sangat rumit dan ada ilmu khusus untuk mepelajarinya, yakni ilmu Arudh wal Qawafi dan tentunya tidak akan dibahas di sini.
Kembali lagi, maka puisi Arab yang panjang dan mengandung makna yang banyak akan tampak pendek. Bentuk puisi yang seperti ini disebut dengan kasidah. Dan salah satu kasidah masyhur pada awal Islam adalah kasidah burdah yang berarti “selimut”.
Bila santri-santri di pesantren ditanya apa itu burdah, maka jawaban yang diberikan akan merujuk pada syair yang digubah oleh Imam Bushiri pada abad ke 6 H.
Memang burdah inilah yang terkenal luas di masyarakat. Tetapi bagi yang pernah membaca sirah Nabawiyah akan mengetahui bahwa kasidah burdah yang asli bukanlah Burdah-nya Imam Bushiri yang memiliki nama asli al-Kawakib al-Durriyyah fi Madhi Khair al-Bariyyah.
Pada masa awal Islam ada seorang penyair besar bernama Ka’b bin Zuhayr. Mulanya ketika Rasulullah sepulang dari Thaif, Bujayr bin Zuhayr yang tak lain adalah saudara Ka’ab bin Zuhayr, menyuratinya. Bahwa di Makkah, Rasulullah mengejar orang-orang yang menentang dan menyakitinya. Bahkan tak ada lagi penyair besar bani Quraisy seperti Ibn al-Ziba’ra dan Hubairah bin Abi Wahb yang masih tinggal di Makkah, mereka semua telah lari meninggalkan Makkah.
Jika dirinya masih ingin hidup dengan tenang, maka ia harus bertaubat kepada Rasulullah Saw. karena beliau tidak akan membunuh orang yang datang berserah kepada beliau. Tetapi jika ia enggan ya sudah, tinggal pilih antara hidup sebagai buronan atau mati terhina.
Kini nyawanya dalam bahaya. Ia mengamini nasehat saudaranya. Ia segera meminta perlindungan kepada sahabat-sahabat besar Nabi. Ia pertama mendatangi Sayyidina Umar. Ia utarakan apa maksud tujuannya.
Katanya, “aku ingin bertaubat di hadapan Rasulullah Saw.” tetapi jawab Sayyidina Umar tidak seperti yang ia harapkan, “keluarlah sebelum kau kutebas, karena Rasulullah Saw telah mengalirkan darahmu.”
Ka’ab berpindah dari rumah Sayyidina Umar ke sahabat yang lain untuk mencari perlindungan tetapi sia-sia, semuanya marah kepadanya, sampai akhirnya ia datang ke rumah Sayyidina Abu Bakar. Di rumah inilah ia mendapat jaminan dari jawaban Sayyidina Abu Bakar, “Menghadaplah kepada Rasulullah Saw.”
Akhirnya Ka’b pergi menghadap Rasulullah dengan kepala tertutup rapat. Ia takut jika Rasulullah mengenalinya dan segera menyekalnya.
“Ya Rasulallah, jika Ka’b datang kepadamu dan bertaubat apakah engkau akan menerimanya?” tanya Ka’b dengan kepala masih tertutup.
“Ya, aku akan menerima taubatnya,” jawab Rasulullah penuh kewelasan.
Mendengar jawaban itu Ka’b bin Zuhayr bahagia bukan kepalang. Ia tak jadi merasakan betapa sakitnya besutan pedang tajam melewati lehernya. Ia langsung membuka penutup kepalanya dan menciumi tangan dan kedua telapak kaki Rasulullah Saw. seraya menguarkan syair pujian panjang kepada Rasulullah Saw. Karena syair yang ia bacakan, Rasulullah memberikan burdah yang beliau kenakan kepada Ka’ab.
Dari sinilah awal mula kasidah burdah sepanjang 58 bait itu. Di antara syarh atas syair burdah Ka’b bin Zuhayr ini adalah Syarh Qasidah Ka’b bin Zuhayr “Banat Suad” karya Ibnu Hujjah al-Hamawy (w. 837 H) dan Syarh Qasidah Banat Suad karya Jamaluddin Muhammad bin Hisyam al-Anshary al-Nahwy (w. 761 H).
Lalu, bagaimana kasidah Imam Bushiri juga terkenal dengan sebutan burdah? Begini cerita di dalam Syarh Syaikh Ibrahim al-Bajuri.
Diriwayatkan bahwasanya kasidah yang terdiri dari 160 bait ini ditulis oleh Imam Bushiri sewaktu beliau sakit syalal (kelumpuhan) yang menyebabkan beliau hanya terbaring tak bisa beraktivitas apa-apa. Ketika kasidah ini rampung beliau susun, hadirlah Rasulullah Saw. di dalam mimpi beliau.
Lalu beliau haturkan kasidah yang telah ditulisnya kepada Rasulullah Saw., “Perdengarkanlah kepadaku,” tutur Rasulullah.
Maka Imam Bushiri melantunkan kasidahnya bait demi bait sampai selesai. Setelah itu Rasulullah Saw. mengusapkan tangan mulia beliau ke sekujur tubuh Imam Bushiri.
Setelah Imam Bushiri bangun, ia kaget mendapati tubuhnya kembali sedia kala. Ia segera melepas selimut yang dikenakannya dan menemui tetangga-tetangganya. Di antara mereka ada yang bertanya, “Wahai, Tuan, berkenankah Tuan memberikan kasidah yang Tuan gubah kepada kami?”
Lalu Imam Bushiri memberikan salinan kasidah Burdahnya kepada orang-orang yang memintanya. Hingga tersebarlah ke seluruh penjuru. Dibaca di surau-surau, pesantren-pesantren, majelis-majelis dzikir di belahan dunia.
Ahmad Syauqi lahir di Mesir pada 20 Rajab 1287 H. atau bertepatan dengan tanggal 16 Oktober 1868. Perjalanan kepenyairan Ahmad Syauqi sangatlah panjang. Puncaknya terjadi pada tahun 1927 ketika ia dilantik oleh persekutuan penyair jazirah Arab sebagai Amirus Syu’ara, “pemimpin para penyair.”
Di antara syairnya yang masyhur adalah syair yang terdiri dari 190 bait yang masyhur dengan nama Nahj al-Burdah. Ahmad Syauqi menisbatkan syairnya ini kepada burdahnya Imam Bushiri. Selain mengarang burdah, ia juga mengarang empat kasidah yang juga berisi pujian kepada Rasulullah Saw. lainnya.
Masing-masing adalah kasidah yang berkaitan dengan maulid yang berjumlah 99 bait. Lalu kasidah yang ia lantunkan pada tahun 1914 yaitu kasidah Hamziyyah yang berjumlah 131 bait dan yang terakhir adalah kasidah yang panjangnya mencapai 1726 bait. Pantas saja jika ia didapuk sebagai Amirus Syu’ara.
Burdah ini adalah burdah yang datang paling belakangan. Tamim al-Barghutsy lahir di Palestina pada 13 Juni 1977. Ia adalah seorang penyair, kolumnis ,dan ahli politik Palestina.
Banyak karya yang telah diterbitkan dalam bidang kepenyairannya. Terutama yang mengusung tema kemerdekaan Quds dan Palestina, seperti penyair Palestina umumnya sekaligus maestro puisi Arab, Mahmoud Darwish.
Tamim al-Barghutsy pernah bercerita. Pada suatu hari ia tenggelam di dalam pikiran, terpekur memikirkan dirinya, keluarganya, hidupnya dan matinya. Tiba-tiba ia sadar dan mendapati dirinya sedang duduk sendiri di sebuah kafe. Kemudian ia beranjak keluar dari kafe dan pulang.
Sesampai di rumah ia terus mengulang-ulang selawat Maulayashalli agar hatinya tenang. Dari situ lah muncul jiwa kepenyairannya dan timbul niat menulis burdah, kasidah untuk memuji sang kinasih, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim Saw.
Setelah beberapa tahun ia menulis, dua tahun setelahnya ia berani mempublikasikan karya Burdah-nya yang terdiri dari 200 bait itu. Akankah ada yang mengarang Burdah lagi setelah Tamim al-Barghutsy? Semoga!