Rahmah el-Yunusiyah adalah pejuang pendidikan dari tanah Minang. Nama Rahmah memang tidak setenar Cut Nyak Dien atau Keumalahayati dari Aceh, yang memilih berjuang lewat pendidikan sekaligus mengangkat senjata. Namun sejak remaja, dia telah berikhtiar bisa mengubah nasib perempuan lewat pendidikan.
Rahmah el-Yunusiyah lahir pada 20 Desember 1900. Keluarganya tergolong terpandang, taat beragama, dan aktif dalam pembaharuan Islam di Sumatera Barat. Ayah Rahmah, Muhammad Yunus, adalah ahli ilmu falak dan hakim di Pandai Sikat. Sementara kakeknya, Syekh Imaduddin, merupakan ulama terkenal di Minangkabau.
Dalam sebuah tulisan berjudul “Rahmah el-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan,” yang terangkum dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, Junaidatul Munawaroh menulis, Rahmah menempuh pendidikan formal di kota kelahirannya, Padang Panjang. Pada usia 15 tahun, Rahmah bersekolah di Diniyah School. Dia juga mempelajari bahasa Arab serta Latin dari dua saudaranya, Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad.
Setiap sore, Rahmah el-Yunusiyah mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah di surau dekat Jembatan Besi, Padang Panjang. Dia juga mendapatkan pendidikan keislaman dari Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, serta Syekh Daud Rasyidi. Kegiatan ini dia lakoni secara otodidak sembari mengajar di Diniyah School Putri.
Tekad Rahmah el-Yunusiyah untuk mengubah nasib perempuan lewat pendidikan muncul kala mengetahui warga di desanya lebih memprioritaskan pendidikan agama bagi anak laki-laki ketimbang perempuan. Apalagi perempuan masih dianggap warga kelas dua dan hanya berperan di wilayah domestik. Dia pun mulai membangun strategi untuk mendidik perempuan demi mengangkat martabat, dan membebaskan dari kebodohan serta keterbelakangan.
“Pengetahuan dan kesadaran keagamaan tinggi yang dimilik Rahmah,” seperti ditulis Munawaroh, “telah membentuk visi perjuangannya dalam memberdayakan dan menjunjung tinggi kaum perempuan.” Dia menolak kesewenang-wenangan demi terwujudnya kebebasan.
Berbekal ilmu yang dia peroleh dan pengalaman mengajar, Rahmah el-Yunusiyah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banat atau Sekolah Agama Puteri pada 1 November 1923. Tak hanya di Sumatera Barat, ia juga merintis lembaga pendidikan serupa di Jakarta, yakni Kwitang dan Tahan Abang pada 1935; kemudian di Rawasari serta Jatinegara pada 1950.
Perjuangan Rahmah el-Yunusiyah mendidik kaum perempuan bermaksud untuk membongkar paradigma lama yang menempatkan mereka hanya di wilayah privat dan mengurus persoalan rumah saja. Bagi dia, posisi kaum ibu sangat penting dalam mendidik generasi penerus bangsa. Dan merekalah yang menjadi tumpuan pendidikan moral, agama, serta membentuk pribadi anak menjadi tangguh.
Untuk meluaskan pengaruhnya, Rahmah el-Yunusiyah bergabung dengan Partai Masyumi, pada 1952. Ia juga sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara antara 1955-1958. Tapi politik bukan habitatnya. Apalagi ia mempunyai pandangan berbeda dengan Soekarno, dan perseteruan keduanya semakin tajam. Rahmah pun memilih mundur dari dunia politik dan kembali ke alam lamanya: mengembangkan serta meningkatkan kualitas lembaga pendidikan.
Rahmah terus bekerja memperbaiki kualitas kaum perempuan hingga wafat pada 26 Februari 1969. Sebagai pejuang pendidikan, dia kerap disejajarkan dengan Kartini yang menyadarkan kaum perempuan lewat surat-surat yang ditulisnya. Juga dengan Dewi Sartika yang memperbaiki posisi kaum hawa melalui pembangunan lembaga pendidikan.
Berkat dedikasi di dunia pendidikan, Rahmah mendapatkan gelar Syaikhah dari Syekh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas Al Azhar, Mesir pada 1957. Gelar yang pertama kali diraih perempuan Indonesia. Sementara dari dalam negeri, dia meraih anugerah Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2013.