Kondisi perempuan di masa kolonial banyak menemui hambatan. Selain karena budaya patriarki yang masih mengakar kuat, perempuan sendiri belum memiliki kesadaran tentang kesetaraan. Sehingga pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada perempuan untuk tidak sekolah, dipingit, dijodohkan, dan tidak diberi hak untuk berpendapat diterima sebagai bentuk kewajaran.
Kendati demikian, dalam catatan sejarah negeri ini ada segelintir perempuan yang berani mengemukakan pemikirannya. Tidak hanya itu, perempuan-perempuan ini juga mengejawantahkan pemikiran tersebut dalam tindakan nyata. Rahmah El Yunusiyyah misalnya. Perempuan kelahiran Kota Padang Panjang 29 Desember 1900 ini, memiliki upaya konkret untuk menyetarakan posisi perempuan di daerahnya sejak usia muda.
Rahmah El Yunusiyyah merupakan anak terakhir dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M), seorang ulama, ahli ilmu falak dan hisab serta menjadi pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Ibunya Ummi Rafi’ah juga keturunan ulama, empat tingkat ke atas masih memiliki pertalian darah dengan Haji Miskin, pembaharu gerakan Paderi. Rahmah sendiri menikah di usia 16 tahun dengan Haji Bahauddin Lathif. Namun enam tahun setelah pernikahannya itu, keduanya memutuskan untuk cerai atas kehendak kedua belah pihak.
Setelah itu, Rahmah El Yunusiyyah fokus melakukan pengembaraan ilmu. Ia masuk ke sekolah yang didirikan oleh kakaknya, Zainuddin Labay di Diniyah School. Pada masa itu, Diniyah School merupakan sekolah yang progresif, karena memadukan pengetahuan agama dan umum. Belum cukup dengan itu, di sore harinya ia berguru kepada Haji Rasul (ayah HAMKA). Di sini Rahmah banyak belajar tentang ilmu-ilmu agama seperti nahwu, fikih dan usul fikih. Selebihnya ia belajar tentang ilmu kebidanan, kesehatan, gymnastiek bersama Nona Oliver, dan keterampilan menjahit.
Memasuki usia ke 23 tahun, Rahmah ingin mendirikan sekolah khusus untuk perempuan. Ia melihat masih banyak perempuan di daerahnya yang buta aksara. Hanya ada beberapa perempuan yang mampu mengenyam pendidikan, itupun masih dihantui dengan bayang-bayang budaya patriarki.
Memang awal pendirian sekolah ini muncul sebagai tantangan adat, karena perempuan ingin memiliki peran publik yang setara dengan pria. Maka dari itu, perempuan harus memiliki pendidikan dan pengetahuan yang tinggi, jaringan yang luas, dan turut menyuarakan pendapatnya sendiri di tengah-tengah arus yang menyudutkan perempuan. Rahmah mengatakan bahwa, membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan seperti seekor burung yang ingin terbang hanya dengan satu sayap saja. Mendidik perempuan berarti mendidik seluruh manusia.
Gagasan itu akhirnya diwujudkan dengan mendirikan Madrasah Diniyah li Banat yang kemudian dikenal sebagai Diniyah Puteri Padangpanjang pada tanggal 1 November 1923. Pelajaran setiap hari diberikan selama tiga jam, meliputi ilmu-ilmu agama dan ilmu terapan. Ada sebanyak 71 murid yang masuk di tahun awal Madrasah Diniyah Puteri ini, mayoritas ibu rumah tangga.
Namun baru berjalan tiga tahun, sekolah yang didirikannya runtuh karena gempa besar (1926). Semangat Rahmah tidak surut, justru malah sebaliknya. Ia dengan susah payah mengumpulkan dana ke berbagai daerah untuk membangun kembali madrasah tersebut. Kabarnya ia sampai mengajar putri-putri di kerajaan Kedah dan Penang. Ia juga melakukan studi banding ke sekolah-sekolah yang ada di Jawa guna membenahi sistem pendidikan di madrasah tersebut.
Kegigihannya dalam memajukan perempuan melalui bidang pendidikan ini menarik perhatian Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Abdurrahman Taj untuk berkunjung ke Madrasah Diniyah Puteri pada tahun 1955. Kemudian pada tahun 1957, Syaikh Abdurrahman Taj mengundang Rahmah untuk datang ke Universitas Al-Azhar, seusai menunaikan haji. Di sana Rahmah mendapatkan gelar Syaikhah, gelar yang setara dengan gelar Syaikh Mahmoud Syalthout. Gelar ini belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya.
Rahmah El Yunusiyyah mengembuskan nafas terakhir di usia 69 tahun (26 Februari 1969) di kediamannya, Padang Panjang. Ia dimakamkan tepat di antara kediaman dan madrasah yang didirikannya. Kontribusi Rahmah untuk memajukan dan menyetarakan perempuan melalui pendidikan saya rasa patut untuk ditiru. Bukan hanya sekadar memberantas buta aksara, tapi juga mengajarkan perempuan agar mandiri, peka terhadap situasi, berpikir kritis, dan tidak takut untuk menyuarakan pendapatnya sendiri. Kendati untuk mewujudkannya masih ditemui banyak tekanan dan tantangan, tapi tetap harus ditunaikan. Toh, pada dasarnya hak asasi setiap manusia untuk memperoleh pendidikan itu sama.