Isu terkait perempuan tidak akan pernah habis untuk selalu diperbincangkan. Terlebih, dalam masyarakat yang masih menganut patriarki, perempuan selalu diidentikkan dengan kecantikan, keanggunan, dan kepatuhan terhadap laki-laki. Peran perempuan dibatasi hanya untuk mengurus wilayah domestik seperti memasak, mencuci, mengurusi anak dan suami. Sebaliknya, ranah publik seakan menjadi suatu hal yang tabu dan dianggap melanggar kodrat. Tak dapat dipungkiri, pandangan seperti ini masih mendominasi masyarakat kita.

Selain faktor budaya yang diwariskan turun temurun, pandangan semacam ini juga diperkuat dari doktrin-doktrin keagamaan yang seolah-olah mendukung praktek demikian. Perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki adalah pernyataan yang sudah menjadi kesepakatan umum dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran yang tidak mempunyai tafsir lain. Begitu pula dengan doktrin yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan semakin memantapkan dominasi laki-laki atas perempuan.

Pandangan seperti ini memunculkan sikap superior bagi laki-laki yang bisa berdampak buruk pada relasi antar keduanya. Hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak didasari oleh kesetaraan akan melahirkan sikap kesewenang-wenangan. Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan akan dianggap biasa jika dihadapkan pada sebuah masalah.

Kondisi seperti ini jelas tidak akan memberi ruang yang besar kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam bidang publik terlebih menjadi seorang pemimpin. Kesadaran terhadap kesetaraan masih tidak dimiliki oleh sebagian masyarakat kita. Bagi mereka, laki-laki dan perempuan sudah mempunyai pekerjaan masing-masing yang tidak bisa ditawar. Perempuan memegang wilayah domestik, sedangkan laki-laki di ranah publik. Menjadi pemimpin di ruang publik bagi seorang perempuan akan dianggap sebagai penyimpangan kodrat dan perlawanan terhadap budaya dan agama.

Padahal, kepemimpinan perempuan dalam Islam sudah dicontohkan oleh Allah melalui kisah ratu Balqis dalam Alquran yang memerintah negeri Saba’. Salah satu fungsi kisah dalam Alquran adalah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang berakal supaya bisa dijadikan petunjuk dalam berbuat sesuatu. Oleh karena itu, pemuatan kisah ratu Balqis dalam Alquran pasti mempunyai maksud tertentu. Salah satu maksudnya adalah isyarat dibolehkannya perempuan menjadi pemimpin dalam publik atau politik.

Faktanya, Allah tidak mencela kepemimpinan Ratu Balqis. Sebaliknya, melalui narasi kisahnya Allah menggambarkan Ratu Bilqis sebagai sosok yang demokratis. Ketika ia menerima surat dari Nabi Sulaiman, ia lantas mengumpulkan para pembesarnya untuk musyawarah sebelum mengambil keputusan.  Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku).” Ayat 32 dari QS. Al-Naml tersebut menyiratkan jika ratu Balqis adalah ratu yang tidak otoriter dan mempertimbangkan pendapat orang lain.

Selain demokratis, Ratu Balqis juga menunjukkan sikap bijaksana yang peduli dengan keselamatan rakyatnya. Ketika para pembesar kerajaan meyakinkan ratu Balqis bahwa mereka mempunyai angkatan perang yang tangguh, ia malah berkata seperti yang terekam dalam QS.al-Naml: 34, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia Jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat”. Walaupun mempunyai kekuatan militer, Ratu Balqis menghindari peperangan karena khawatir terhadap nasib rakyatnya. Ratu Balqis sudah mempunyai pandangan bahwa perang hanya akan membawa kesengsaraan.

Dan yang terakhir, Ratu Balqis menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin dengan memilih jalan diplomasi daripada pertumpahan darah. Hal ini tersurat dalam QS. Al-Naml: 35, “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”. Ia mengirim utusannya untuk menemui Nabi  Sulaiman sebagai upaya untuk menjalin hubungan bilateral dan menghindari peperangan.

Melalui kisah tersebut, Allah memberikan petunjuk tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik dan ideal. Statusnya sebagai seorang wanita tidak menjadi halangan untuk menjadi pemimpin suatu negara atau kerajaan. Hal ini membuktikan bahwa kualitas seorang pemimpin tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kemampuannya dan pemenuhannya terhadap sifat-sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Fenomena saat ini juga semakin menguatkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin publik yang baik. Menurut data yang dikutip CNN Indonesia, ada 6 negara yang dianggap berhasil menangani covid 19. Mereka adalah Jerman, Taiwan, Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Islandia, dan Norwegia. Benang merah dari semuanya adalah bahwa negara-negara tersebut dipimpin oleh seorang perempuan.

Leave a Response