Dahulu, pada medio 80-an atau jauh sebelumnya, anak di dalam lingkungan keluarga banyak diperlakukan seperti ‘benda mati’. Mereka hampir tidak punya kuasa apapun terhadap hidup yang dijalani kecuali mendapat restu daripada orang tua. Mulai dari pendidikan sampai dengan penentuan siapa yang laik mendampingi mereka di pelaminan.
Apalagi anak tersebut berjenis kelamin perempuan. Lihat saja bagaimana sastrawan-sastrawan kita menggambarkan kehidupan patriarkhi itu dalam cerita pendek atau roman. Seperti Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Gadis Pantai dan lain sebagainya.
Di kemudian hari, tipologi keluarga seperti itu digugat karena tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman. Bahkan dianggap rentan terjadi kekerasan dan tidak sehat akan tumbuh kembangnya anak. Maka, kebebasan bagi seorang anak menjadi hal mutlak dalam lingkungan keluarga. Biarkan anak sendiri yang menentukan masa depan dan apa yang diinginkan. Orang tua sama sekali tak berhak mencampuri kehidupan anak.
Dalam persoalan jodoh, misalnya, sudah tidak banyak lagi orang tua yang memiliki kuasa untuk memilih calon pendamping bagi anak-anak mereka. Para orang tua merasa tak lagi pantas jika memaksakan anak menikah dengan calon pilihannya.
Ini bukan karena anak akan berani membangkang, tapi juga karena paksaan dunia luar yang menuntut pembebasan terhadap anak dalam memilih jodoh. Pendek kata, intervensi orang tua terhadap anak (dalam segala aspek kehidupannya) sudah harus diakhiri.
Harus diakui bahwa dua tipologi keluarga seperti tersebut di atas punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pada tipologi yang pertama, kewajiban orang tua untuk mendidik anak memang rentan berujung pada ’kehancuran’ psikologi anak.
Sebab apa yang ditekankan orang tua seringkali tak sesuai, bahkan bertentangan dengan apa yang dialami seorang anak dalam keseharian mereka. Kondisi demikian akan membentuk anak tumbuh sebagai pribadi yang depresi tinggi atau bahkan agresif.
Sebaliknya, kebebasan penuh yang diberikan kepada anak tidak hanya mendelegitimasi kedudukan ‘sakral’ orang tua dalam rumah tangga. Tapi juga menggugurkan kewajiban dan tanggung jawab mereka, yakni mendidik dan memberikan kasih sayang kepada anak. Celakanya, dengan dalih kebebasan, orang tua merasa telah menunaikan tanggung jawab dan kewajiban jika mereka dapat memenuhi hal-hal yang bersifat materi belaka kepada anak.
Bagaimana Islam mengatur hubungan antara anak dan orang tua? Jika kita menyimak ayat-ayat di dalam Alquran maupun hadis Nabi, seorang anak memang berkewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ada beberapa ayat yang mengandung anjuran dimaksud, di antaranya adalah:
Dan Tuhanmu telah memutuskan bahwa hendaknya kamu sekalian tidak beribadat kecuali kepada-Nya saja, dan bahwa hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tua… (QS al-Isra;17:23)
Dan Kami berpesan kepada manusia hendaknya berbuat baik kepada kedua orang tua… (QS al-Ankabut; 29:8)
Dan Kami berpesan kepada manusia tentang kedua orang tuanya: ibunya mengandung dalam kesusahan demi kesusahan, berpisah setelah dua tahun; maka hendaknya engkau (manusia) bersyukur kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Kepada-Ku-lah tempat kembalimu (QS Lukman; 31:41)
Dari ayat-ayat tersebut Tuhan dengan tegas memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapaknya. Perintah itu mutlak, tanpa syarat, bahkan sekalipun ibu-bapaknya itu jahat. Sampai sekalipun secara sadar menentang kebenaran (kafir), anak tetap berkewajiban untuk berbuat baik.
Sebagaimana terkandung pada ayat dalam kelanjutan pada surah Lukman seperti tersebut di atas; dan jika keduanya (orang tuamu) itu berusaha mendorongmu agar engkau memperserikatkan Aku (Tuhan) dengan sesuatu yang engkau tidak berpengetahuan mengenainya (sebagai hal yang benar), maka janganlah kau taati mereka, namun tetaplah bergaul dengan mereka berdua itu di dunia ini dengan cara yang baik.
Pun demikian dengan keluarga dan sanak-saudara yang menyimpang kita tetap diwajibkan untuk tetap bersikap hormat dan sopan santun. Walaupun kita jelas tidak dapat menerima jalan hidup mereka. Dan bahkan jika engkau harus berpaling dari mereka demi memperoleh rahmat Tuhanmu yang kau harapkan, namun bertuturlah dengan mereka dengan penuturan penuh kasih sayang (QS al-Isra; 17:28)
Menurut Nurcholis Majid (1997), perintah Tuhan kepada manusia berkenaan dengan kedua orang tua adalah berbuat baik (ihsan) bukan pada kewajiban untuk taat atau mentaati mereka. Berbuat baik mencakup banyak sekali jenis tingkah laku dan sikap seorang anak kepada kedua orang tuanya. Sedangkan taat hanyalah satu dari sekian banyak bentuk perbuatan baik tersebut, itu pun bersyarat.
Ketaatan anak kepada kedua orang tua, sebagaimana bentuk ketaatan kepada siapa pun selain Allah, dibenarkan dengan syarat bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran dan kebaikan. Bukan kepalsuaan dan kejahatan. Demikian pula dengan ketaatan anak kepada orang tua. Dapat dan harus dilakukan hanya jika menyangkut suatu hal yang benar dan baik. Maka ketika syarat tersebut tidak terpenuhi, ketaatan itu justru menjadi terlarang.
Di sisi lain, kedua orang tua memang merupakan salah satu kunci akan keberhasilan seorang anak. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW; tidak ada seorang manusia yang terlahir kecuali dia terlahir atas fitrah (kesucian seperti tabula rasa, kertas putih yang belum ditulis apapun, masih putih). Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, maupun Majusi (Hadits Abu Hurairah).
Bahkan, dalam kerangka fiqih, orang tua diberi lampu hijau untuk melakukan tindakan “perundungan” terhadap anak-anak mereka yang melalaikan kewajiban agama.
Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat dijadikan pintu masuk untuk melakukan proteksi dan intervensi terlalu jauh terhadap anak. Sebab anak juga mempunyai hak di dalam menentukan kehidupannya. Dan lampu hijau untuk melakukan “perundungan” itu merupakan alternatif terakhir dengan kententu ketat; tidak memukul muka dan lain sebagainya.
Dalam persoalan jodoh, misalnya, menurut mazhab Syafi’i sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Kifayah al-Akhyar, orang tua disunnahkan meminta izin kepada anak (perempuan). Apakah anak tersebut menerima jodoh pilihan orang tua mereka atau menolak. Ketentuan ini didasarkan pada hadis; dan perempuan yang masih gadis (sebaiknya) dimintai izin, sedangkan izinnya adalah keterdiamannya (HR. Muslim).
Dari pemaparan tersebut, hemat saya, relasi antara anak dan orang tua harus diletakkan dalam kerangka dialogis. Bukan hegemoni satu pada lainnya. Karena itu, pertama, orang tua mesti memahami karakter dan zaman yang dialami anak-anak mereka.
Sebab anak dan harta benda merupakan ujian atau fitnah (QS al-Anfal; 8:28), yang diamanatkan Allah Swt. Kalau orang tua tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak dengan baik, keduanya yang dipandang sebagai sumber kebahagiaan akan mudah berubah menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan tiada terkira.
Sebaliknya, kedua, anak harus mengerti bagaimana mengutarakan sesuatu yang tidak diinginkan terhadap orang tua. Yaitu dengan tutur kata lemah lembut dan sikap penuh hormat, bukan dengan kata-kata kotor, khususnya jika kedua orang tuanya telah usia lanjut.
Karena, sebagaimana dijelaskan di atas, menghormati kedua orang tua merupakan hal mutlak dan tanpa syarat bagi seorang anak. Wallahu ‘alam