Yaa Nabi, Salaam ‘Alayka..
Yaa Rasul, Salaam ‘Alayka..
Yaa Nabi, Salaam ‘Alayka..
Yaa Rasul, Salaam ‘Alayka..
Alhamdulillah, tibalah kita di bulan Rabi’ul Awwal, bulan yang dikenal sebagai kelahiran Baginda Rasulullah saw., Sang Penyampai Risalah Alquran; bergetar hati mengingat sejarah hidup beliau dan perjuangan mempertahankan agama yang hanif (lurus) ini.
Kita semua tahu bahwa Rasulullah saw. harus banyak berdamai dengan kado-kado terindah-Nya sejak kecil. Beliau terlahir tanpa ayahanda di sampingnya. Kakeknyalah, Abdul Muthallib yang memeluk beliau selepas terlahir dari rahim Ibunda Aminah. Dirinya pula yang tulus merawat dan menjaganya.
Belum genap beliau menginjak usia 7 tahun, Allah Yang Maharahman, mengambil ibunda tercintanya. Siti Aminah wafat dalam perjalanan menjemput Rasulullah di kediaman ibu susunya, Halimatus Sa’diyah. Praktis, kepedihan beliau bertambah-tambah. Beliau kian kesepian, meski hidup dalam hiruk pikuk keramaian.
Selepas ketugasan Halimatus Sa’diyah sebagai ibu susu tuntas dilaksanakan, Rasulullah saw. kembali ke Mekah; pulang kepada sang paman, Abu Thalib. Beliau tinggal di sana untuk sementara waktu karena tiada lagi tempat untuk pulang.
Untuk menyambung hidup, Rasulullah tidak malu-malu meminta pekerjaan via pamannya. Beliau aktif bertanya; apa yang bisa ia lakukan? Kita bisa bayangkan bocah 8 tahun—di mana usia tersebut zaman now masih dalam usia awal-awal sekolah dasar—namun sudah bekerja membanting tulang.
Rasulullah berupaya untuk meringankan beban Abu Thalib yang juga memiliki banyak anak, sehingga tak sedetikpun Rasulullah bisa berpangku tangan. Pun ketika menginjak usia remaja. Rasulullah tumbuh menjadi remaja yang juga memiliki rasa ingin tahu seperti anak remaja seusianya.
Ketika kawan-kawannya mengajak dirinya menyaksikan acara-acara musik dan keramaian, Rasulullah justru tertidur di lokasi tersebut hingga tak menyaksikan acara itu. Betapa luhur dan sempurnanya penjagaan Allah kepada diri Sang Nabi.
Momen yang paling mengharukan antara sepasang paman dan keponakan ini ialah ketika Abu Thalib memutuskan untuk berniaga ke wilayah yang sangat jauh, Rasulullah Saw. dekat penuh iba memohon, agar dirinya diizinkan ikut meski sekedar membantu menjaga dagangan pamannya.
Ia menangis tersedu di hadapan sang paman. “Aku tidak punya siapa-siapa lagi disini (Makkah) ini, wahai Paman. Tegakah engkau meninggalkanku seorang diri?” ucapnya.
Abu Thalib pun berkaca-kaca mendengar celotehan keponakannya yang baru beranjak dewasa. Ia baru sadar, anak yatim piatu itu kini mulai merasakan kesepian dan kesendirian. Kerinduan kepada kedua orangtuanya sangat dalam.
Abu Thalib menjawab, “Baiklah. Ikutlah bersamaku,” Rasulullah pun tersenyum bahagia. Rasulullah membayangkan kelak bisa bertemu banyak kabilah di luar sana; hingga rasa sepi dan sedih ditinggal orangtua pun sirna.
Uraian sederhana di atas menyiratkan sekaligus melengkapi keteladanan Rasulullah yang dalam salah satu ayat Rasulullah diberi gelar uswatun hasanah. Hal ini tersurat dalam surah al-Ahzab/ 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Uswah (atau dalam redaksi lain disebut iswah) adalah keteladanan.
Ibn Katsir melihat ayat ini ayat tersebut sebagai dalil pokok yang menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah Saw. dalam semua ucapan, perbuatan, dan perilaku beliau. Karena itulah Allah Swt. memerintahkan kepada kaum mukmin agar meniru sikap Nabi Saw. (dalam hal ini konteks saat Perang Ahzab) yaitu dalam hal kesabaran, keteguhan hati, kesiagaan, dan perjuangannya, serta tetap menanti jalan keluar dari Allah Swt.
Sedangkan Quraish Shihab menyebutkan uswah (teladan) di sini terbagi menjadi dua hal; pertama, karena seluruh dan sepanjang hidup Rasulullah adalah teladan. Kedua, menjadi sebuah anjuran bagi seluruh manusia yang mengakui kerasulan Nabi untuk mempraktikkan keteladanan-keteladanan Rasulullah.
Salah satu keteladanan Rasulullah yang harus kita implementasikan ialah salah satunya sifat kasih dan sayang Rasulullah kepada seluruh makhluk tanpa membeda-bedakan mereka.
Rasulullah Saw. adalah sebaik-baiknya teladan sebab beliau telah lantang menyuarakan prinsip-prinsip kesetaraan seluruh manusia dan memberikan penekanan bahwa seluruh manusia setara di hadapan Tuhan— cukup ketaqwaan saja yang membedakan mereka.
Beliau pula yang menghapuskan perbudakan di mana kala bumi Makkah kental dengan praktik perbudakan yang merajalela. Rasulullah juga yang melarang segala bentuk penghambaan selain kepada Allah sebab itu adalah bentuk kemusyrikan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Dengan demikian, memahami Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah (teladan terbaik) ialah dengan mempraktikkan semua perilaku beliau yang dapat melahirkan kemaslahatan bagi banyak orang. Tentu kita masih ingat kisah tentang pengemis buta di pasar yang sangat membenci Rasulullah.
Setiap hari, sumpah serapah terlontar dari mulutnya kepada Rasul. Namun, setiap hari itu pula Rasulullah selalu memberikan makanan dan menyuapinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Setelah Rasulullah wafat, pengemis itu merasa kehilangan.
Ya, dia kehilangan sosok yang paling mulia di muka bumi kendati beliau sendiri dicerca dan dimaki. Ya Rasulullah, seribu salam untukmu, duhai pejuang kesetaraan..