Selain Cut Nyak Din, ada lagi perempuan Aceh yang militansinya sangat tinggi dalam melawan penjajah di Perang Aceh. Dia adalah Tengku Fakinah. Perempuan ulama yang lahir pada 1856 ini turut memainkan peran sentral dalam perjuangan kemerdekaan. Cut Nyak Din kagum dengan kegigihannya. Kedua perempuan Aceh ini memiliki hubungan perjuangan yang baik.
Amilia Syafiqoh dalam skripsinya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2018): Peranan Teungku Fakinah dalam Perang Aceh Tahun 1873-1833 M menjelaskan bahwa, “Ia (Tengku Fakinah) memulai kiprahnya dalam perang tercatat masih sangat muda, sekitar umur 17 tahun ia mulai mendedikasikan hidupnya untuk terjun dalam barisan perang Aceh melawan Belanda.”
Meski usianya jauh lebih muda dibanding pejuang-pejuang yang lain, namun Tengku Fakinah dihormati oleh rakyat dan sesama pejuang Aceh. Penjajah Belanda juga sangat mewaspadai gerakannya.
Tengku Fakinah menghimpun para perempuan Aceh, kemudian membentuk satu pasukan perempuan dengan dirinya sebagai panglima. Mereka mendirikan benteng pertahanan di Lamdiran.
Kebanyakan pasukan Tengku Fakinah adalah janda yang suaminya meninggal dalam Perang Aceh, sehingga–sebagaimana dijelaskan Muchtaruddin Ibrahim bahwa–benteng pertahanan mereka juga dikenal dengan Benteng Inong Bale (Benteng Janda).
Perlu diketahui, jauh sebelum Perang Aceh, sekitar 1599, seorang perempuan yang menjabat sebagai laksamana Aceh, yaitu Laksamana Malahayati, menghimpun pasukan beranggota para janda yang suaminya gugur dalam perang melawan Portugis. Pasukan ini dinamakan dengan Pasukan Inong Bale.
Pada 1911, Tengku Fakinah mengakhiri perang gerilyanya, dan memutuskan kembali terjun dalam perjuangan pendidikan. Siti Astuti A. Samad dalam artikel Peran Perempuan dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Aceh menjelaskan, “…ia (Tengku Fakinah) membangun dayah yang diberi nama Dayah Lamdiran.
Pembangunan dayah ini bermula dari sebuah musyawarah pada tahun 1911 seusai turun dari gerilya menuju gampong-nya di daerah Lam Krak. Setelah mengadakan perundingan dengan Tuanku Raja Kemala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, maka Teungku Fakinah membangun kembali dayahnya (yang) telah porak-poranda selama musim perang.”
Kembalinya Tengku Fakinah dalam gerakan pendidikan bukan berarti berhenti berjuang. Dia hanya mengganti senjatanya dari rencong ke pena. Mengubah lokasi juang dari medan perang ke dayah (sekolah).
Tengku Fakinah sadar bahwa meski Belanda telah berhasil memukul Aceh, namun perjuangan tidak boleh berhenti. Dan, pendidikan Islam adalah jalannya untuk terus berjuang.
Tengku Fakinah terus bergerak dalam bidang pendidikan hingga akhir hayatnya. Dia mangkat pada 3 Oktober 1933.
Dalam novel sejarah lawas tahun 1982, berjudul Cut Nya Dien, edisi pertama dari serial Roman Singa Lam Nga, ditulis Ragil Suwarna Pragolapati, diceritakan bahwa pada Perang Aceh kedua–berlangsung sekitar 1874-1880–Cut Nyak Din kedatangan tujuh perempuan di rumahnya.
Mereka adalah para janda yang suaminya gugur di medan perang. Pemimpin mereka bernama Supiyah, teman baik Cut Nyak Din sejak kecil. Perempuan-perempuan militan ini bertekad melawan penjajah meski nyawa jadi taruhan.
Cut Nyak Din mengajak mereka untuk bergabung di garis belakang. Namun, mereka tidak mau, dan meminta bantuan agar bisa diloloskan menjadi pembantu di markas musuh. Ketujuh perempuan militan ini kemudian dipecah menjadi dua regu mata-mata, yang satu dikirim ke rumah Teuku Neuk Meurasa, seorang penghianat, dan satunya menjadi pembantu Belanda di Kutaraja.
Kelompok yang dikirim ke Meurasa dikabarkan berhasil membunuh Teuku Neuk tua dengan makanan yang beracun.
Entahlah, apa cerita ini benar adalah sejarah atau hanya pengembangan imajinatif si penulis terhadap jalan hidup Cut Nyak Din. Namun, yang jelas kalau mempelajari riwayat Perang Aceh pasti akan melihat besarnya militansi perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.
Sebagian mereka ada yang tampil di garis depan. Bertempur langsung di medan perang atau menjadi mata-mata ulung. Beberapa nama sangat dikenal, misalnya Cut Nyak Din dan Tengku Fakinah, selain itu juga ada Pocut Baren–pengikut setia Cut Nyak Din, Cut Gambang–anaknya Cut Nyak Din, serta perempuan-perempuan pejuang lainnya.
Dan ada yang bergerak di garis belakang, dengan menyiapkan perbekalan bagi para pejuang. Peran ini sangat penting dalam peperangan. Coba Pikirkan, bagaimana pejuang-pejuang Aceh dapat menancapkan rencong kepada penjajah kalau mereka tidak makan. Garis depan dan belakang saling menopang satu sama lain.
Perang Aceh merupakan salah satu peristiwa sejarah yang memperlihatkan hebatnya militansi perempuan Nusantara, dalam hal ini perempuan Aceh, dalam perjuangan kemerdekaan.