Menurut Faqih, Mubadalah yang ia rumuskan maknanya adalah perspektif, pemahaman dalam relasi tertentu antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, timbal balik dan prinsip resiprokal. Baik relasi manusia secara umum, negara dan rakyat, majikan dan buruh, orang tua dan anak, guru dan murid, mayoritas dan minoritas.

Namun demikian, mubadalah yang ia maksudkan dalam bukunya, Qiraah Mubadalah adalah lebih difokuskan pada relasi laki-laki dengan perempuan di ruang domestik maupun ruang publik. Relasi yang titik utamanya adalah kemitraan, kerja sama.

Sumber pijakan yang ia pakai adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan pendapat ulama. Hal ini menegaskan bahwa konstruk pemikiran Faqih adalah berangkat dari sumber yang paling otoritatif dalam Islam. Dalam al-Qur’an misalnya:

“Wahai manusia! Sesungguhnya kami menciptakan kalian baik laki-laki maupun perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tujuannya untuk saling mengenal-mengakui. Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah Swt. adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”

Ayat ini secara jelas menyamakan seluruh manusia yang ada di dunia karena berasal dari dua insan yang sama. Dari kedua insan ini muncullah berbagai suku bangsa yang diharapkan dapat saling mengenal (litaarafu).

Sikap saling mengenal mengharuskan adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan saling memahami. Masing-masing mesti berlaku adil karena berkedudukan setara. Tidak ada yang lebih mulia di sisi Tuhan melainkan yang paling bertakwa.

Sementara dalam al-Sunnah misal terkandung dalam sabda Rasulullah bahwa perempuan sepadan dengan laki-laki (Inna al-Nisa Syaqaiq al-Rijal). Kata Syaqaiq yang merupakan bentuk plural dari shaqiiq yang mengandung makna saudara, kembaran, serupa dan identik.

Makna ini menunjukkan bahwa perempuan sesungguhnya sederajat dengan laki-laki. Relasi antara mereka merupakan relasi mitra kerja dan kawan seiring yang pada gilirannya mengharuskan adanya kesalingan dalam menghormati dan menghargai pihak lain.

Argumentasi yang dibangun oleh Faqihuddin dalam Qiraah Mubadalah terinspirasi dari pemikiran yang telah dicetuskan oleh beberapa ulama klasik dan kontemporer, terutama pemikiran Abu Syuqqah dalam magnum opusnya, Tahrir al-Mar’ah fi ahd al-Risalah. Dalam menginterpretasikan teks, terutama yang secara harfiah problematis, Abu Shuqqah menggunakan lima metode.

Pertama, hanya menerima hadis sahih dan menolak yang tidak sahih. Menurutnya, ada banyak hadis tidak sahih yang beredar di masyarakat padahal muatannya mendiskreditkan perempuan, seperti hadis, “Tutuplah aurat perempuan dengan menempatkan mereka di dalam rumah saja”.

Kedua, membatasi cakupan makna teks. Hadis yang menyatakan bahwa perempuan lebih baik melaksanakan salat di rumah daripada di masjid, ia persempit maknanya hanya pada perempuan yang tengah disibukkan oleh urusan domestik, sebab banyak hadis lain yang menceritakan perempuan pada masa Nabi juga salat di masjid.

Ketiga, menghadirkan makna inklusif. Pada ayat atau hadis yang menyatakan bahwa perempuan adalah sebuah fitnah terbesar dan paling berbahaya bagi laki-laki, oleh Abu Shuqqah pesan itu dimaknai dengan inklusif.

Dalam artian, perempuan bukan satu-satunya yang berpotensi menjadi fitnah, harta benda, keluarga, kekuasaan, bahkan agama juga dapat berubah menjadi fitnah bagi seseorang. Begitu pula menurutnya laki-laki dapat menjadi fitnah terbesar bagi seorang perempuan.

Keempat, memfokuskan pada makna dasar dan utama. Dalam hal ini, Abu Shuqqah mencontohkan teks yang mewajibkan mahram bagi perempuan yang akan bepergian. Ia menafsirinya dengan kewajiban menciptakan keamanan bagi perempuan ketika bepergian di luar rumah, bukan malah melarangnya untuk memasuki ruang publik.

Kelima, menempatkan perempuan sebagai subjek pada teks yang pada sebelumnya adalah laki-laki. Misalnya hadis riwayat Muslim, “Dunia adalah hiasan, dan sebaik-baik hiasan adalah wanita yang salihah”, dapat diinterpretasikan dengan pemahaman terbalik, menjadi “Dunia adalah hiasan, dan sebaik-baik hiasan adalah pria yang salih”.

Premis-premis dasar Qiraah Mubadalah yang ditawarkan Faqih dalam amatan penulis ada tiga premis besar. Pertama, bahwa Wahyu Islam itu turun untuk laki-laki dan perempuan. Karena itu, teks-teks menyapa mereka berdua.

Kedua, bahwa relasi keduanya adalah kemitraan, kerja sama, dan kesalingan. Bukan hegemoni dan kekuasaan. Ketiga, bahwa teks-teks tersebut terbuka untuk dimaknai ulang agar memungkin kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap ajakan interpretasi.

Sementara langkah teknis kerja Qiraah Mubadalah adalah pertama, menemukan nilai prinsipil dari ajaran agama Islam melalui penelusuran pada teks-teks yang bersifat universal sebagai landasan awal. Nilai prinsipil yang dimaksud adalah ajaran agama yang melampaui perbedaan jenis kelamin.

Misalnya, ajaran bahwa iman merupakan syarat diterimanya amal perbuatan, bahwa adanya balasan bagi setiap perbuatan baik maupun buruknya, dan bahwa keadilan harus ditegakkan, begitu juga kemaslahatan serta kasih sayang harus disebarluaskan.

Langkah kedua, mencari gagasan utama atau ideal moral dari teks yang akan ditafsirkan. Faqihuddin menawarkan cara sederhana untuk menangkap gagasan utama ayat dengan menghilangkan subjek maupun objek dari teks, sehingga menyisakan predikat yang secara otomatis menjadi gagasan utama teks.

Makna penting yang terkandung dalam teks ini kemudian dikaitkan dengan nilai prinsipil yang terambil dari langkah pertama untuk dilanjutkan pada langkah terakhir.

Langkah ketiga, menurunkan gagasan utama kepada jenis kelamin yang absen dari teks. Dengan begitu, tidak ada teks yang terbatas hanya pada salah satu jenis kelamin, melainkan mencakup keduanya sekaligus. Implikasinya, teks yang membicarakan laki-laki dapat diaplikasikan pada perempuan dan teks yang tertuju pada perempuan bisa pula diaplikasikan kepada pihak laki-laki. Dengan syarat ditemukan gagasan utama yang menerima pemberlakuan bagi keduanya.

Gagasan utama teks agama yang tidak bisa diberlakukan dengan metode mubadalah (ketersalingan), misalnya QS. An-Nisa: 3. Ayat yang dalam konteks tertentu dan dengan syarat tertentu memperbolehkan laki-laki melakukan poligami.

Kerja akademik yang dilakukan Faqih adalah sebuah kerja yang perlu diapresiasi. Semangatnya memperjuangkan keadilan gender bagi perempuan bukan hanya ghirah yang lahir secara prematur. Ia mencari jalan pemikiran yang diperjuangkan hari ini begitu lama.

Gagasan Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender dalam Islam yang tercantum dalam karya akademik berjumlah hampir 600 halaman adalah bukti pertanggung jawaban intelektualnya. Meski akan menemukan beberapa penolakan tetapi gagasan yang ditawarkan Faqih menjadi sumbangsih besar dalam gerakan gender dan Islam di Indonesia. Karya Kiai Faqih itu akan abadi.

Leave a Response