Judul : Rumah Guru Bangsa
Penulis : R Johan Pradana
Penerbit : Pustaka Saga
Cetak : 2019
Tebak : 164 halaman
ISBN : 978 602 72806 6 3

Rumah, titik mula membuat sejarah. Pada masa berbeda, rumah itu nostalgia atau lupa. Di Indonesia, kita memiliki daftar rumah membentuk tokoh-tokoh menggerakkan sejarah. Rumah-rumah itu masih teringat dan tegak berdiri mengingatkan tokoh, waktu, dan peristiwa. Sekian rumah terlupa, berganti bangunan baru, atau runtuh. Sejarah tanpa rumah seperti sejarah kehilangan “drama”.

Pemahaman baku mengartikan rumah itu ruang pengasuhan, sinau, dan mendefinisikan Indonesia. Rumah-rumah bertebaran di pelbagai tempat. Rumah tak harus tembok atau megah. Sekian rumah malah bersahaja. Rumah menghimpun dan mengabarkan pelbagai makna. Kita terlalu lama tak (lagi) membicarakan rumah di titian biografis dan pembentukan sejarah Indonesia, sejak awal abad XX. Rumah perlahan di “kemerosotan” referensial saat orang-orang terlalu lama pergi dari album makna rumah atau menghindari diri berumah.

Taufik Abdullah dalam buku berjudul Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat, 1927-1933 (2018) mengartikan rumah, surau, dan sekolah menentukan arus kemodernan, ejawantah religius, dan semaian nasionalisme. Bermula dari rumah, warisan dan tafsiran atas segala ajaran hidup bertaut dengan “kebaruan” di sekolah. Ketegangan di identitas semakin terasakan dengan menautkan diri ke surau. Keluarga-keluarga mengalami perubahan meski ada keinginan memegangi “perbendaharaan” lama atau berpihak ke tradisi. Sejarah pun membekas dan bergolak di rumah, episode penting di Sumatra Barat dengan “memberikan” tokoh-tokoh berpengaruh di politik, dakwah, pendidikan, dan sastra.

Pada masa berbeda, rumah-rumah di Sumatra, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Bali, dan lain-lain terceritakan di buku berjudul Perjalanan Anak Bangsa: Asuhan dan Sosialisasi dalam Pengungkapan Diri (1982) dengan editor Aswab Mahasin, Ismed Natsir, dan Thamrin Hamdan. Buku menguak pengasuhan anak beragam masa, adab, alam, dan ideologi. Pengisahan mereka berada dalam rumah dan di luar rumah. Di situ, kita membaca peran rumah dalam pergumulan membentuk kepribadian, etika, nalar, nasionalisme, dan religiositas. Di luar rumah, anak-anak bertumbuh dalam pergaulan dan pengaruh pelbagai institusi: sekolah, tempat ibadah, pasar, pabrik, dan lain-lain. Buku itu semakin mengingatkan bahwa Indonesia terbentuk dari rumah-rumah, sejak masa lalu.

Kita sampai ke buku memilih rumah adalah “pusat” dengan pelbagai nostalgia dan catatan-catatan di album sejarah. Buku itu berjudul Rumah Guru Bangsa: Strategi Pendidikan Tjokroaminoto dalam Rumah Kost Soeharsikin Surabaya, 1912-1922 garapan Johan Pradana. Pembaca diajak “pulang kembali” atau mengunjungi rumah memiliki album besar berisi para tokoh penting di Indonesia. Rumah (kost) bersejarah meski sempat terlupa dan terbiarkan menempuhi tahun-tahun redup makna.

Rumah beralamat di Peneleh, Surabaya. Rumah dihuni oleh HOS Tjokroaminoto-Soeharsikin. Keluarga itu hidup bersama kaum muda dengan mengadakan kost. Belasan pemuda turut di pengasuhan Tjokroaminoto. Di kamar-kamar kost sederhana, kaum muda diasuh pula oleh Soeharsikin dengan kasih berlimpahan. Istri tokoh pergerakan di Sarekat Islam itu memerankan “ibu” bagi semua, tak cuma bagi keluarga. Kaum muda berasal dari pelbagai tempat memerlukan “ibu”. Peran besar tanpa harus menuntut meminta pengakuan di nalar-imajinasi politik sedang bertumbuh di Surabaya sejak awal abad XX. Keibuan memastikan kaum muda mengerti mengalami zaman bergerak atau zaman kemajuan dengan patokan-patokan keluhuran.

Ingatan rumah itu terbaca di buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) susunan Cindy Adams. Soekarno selalu mengingat rumah (kost) Tjokroaminoto-Soeharsikin. Ia mengalami hari-hari sinau di situ. Soekarno melek politik di asuhan Tjokroaminoto, mengerti peran keibuan bagi pembentukan Indonesia, dan sadar kemodernan bergeliat di tanah jajahan. Di rumah kost sederhana, Soekarno mendapat limpahan kasih Soeharsikin dan pendidikan politik dari Tjokroaminoto. Masa menentukan bagi Soekarno, sebelum bergerak ke Bandung untuk kuliah dan membuat biografi di arus pergerakan politik kebangsaan.

Johan Pradana menganggap rumah (kost) di Peneleh itu ruang pendidikan berbeda dari keberadaan sekolah-sekolah modern telah berdiri di kota-kota. Di rumah, kaum muda sedang belajar di institusi pendidikan atau bekerja, mendapat imbuhan pendidikan dari Tjokroaminoto-Soeharsikin. Johan Pradana mengartikan bahwa kaum muda “mendapatkan pendidikan kebangsaan dan pemahaman nilai-nilai moral.” Obrolan atau diskusi politik para penghuni rumah kost dengan Tjokroaminoto memantik kesadaran ideologi-ideologi. Para teman atau tamu Tjokroaminoto turut menjadi pemicu bagi kaum muda bergolak memikirkan nasib tanah jajahan dan pengertian tanah air di masa depan. Kini, kita mengingat rumah di Peneleh adalah “rumah ideologi”.

Dulu, kaum muda tinggal bersama di situ, di bawah asuhan Tjokroaminoto-Soeharsikin sebelum bersimpang jalan ideologi. Mereka adalah Soekarno, Semaoen, Alimin, Kartowisastro, dan lain-lain. Keberadaan mereka berbarengan tugas Tjokroaminoto membesarkan Sarekat Islam. Surabaya menjadi kota “bergerak” oleh kesadaran politik dan agama mengimbuhi pesona pendidikan modern. Para tamu berdatangan ke rumah di Paneleh. Tjokroaminoto memberi sambutan dengan sekian obrolan melibatkan kaum muda. Pendidikan politik dan agama berlangsung dengan pelbagai perbedaan diperdebatkan secara argumentatif. Rumah memang ruang sinau. Rumah di gerakan politik dan pembesaran dakwah mulai jadi incaran pemerintah kolonial. Rumah itu “momok” atau titik perlawanan di mata kolonial.

Johan Pradana pun mencatat bahwa rumah kost itu pilihan berbeda ketimbang kaum muda hidup di pemondokan. Konon, ada selisih besar dalam ongkos hidup. Selisih pun terasa di pemerolehan pengetahuan. Kemauan Soeharsikin mengelola rumah kost agak meringankan beban hidup kaum muda saat mengalami hidup di kota. Soeharsikin juga mendapat sejumput rezeki untuk menghidupi keluarga. Pendapatan Tjokroaminoto mepet. Keluarga dan rumah itu malah mencipta album mengejutkan dalam arus sejarah Indonesia.

Bermula dari rumah, kaum muda memiliki panutan Tjokroaminoto. Pada saat gemuruh pergerakan politik semakin menguat, sekian orang pernah di rumah kost itu memilih berseberangan atau melawan Tjokroaminoto. Soekarno tetap menjadikan Tjokroaminoto adalah guru atau panutan dalam agama dan kebangsaan meski berbeda di pilihan ideologis untuk membentuk-memuliakan Indonesia. Bermula dari rumah, mereka bersekutu dan berseteru dengan misi menentukan nasib tanah jajahan. Mereka mengartikan rumah itu sejarah. Begitu.

Leave a Response