Sejarah lahirnya Hari Santri bermula dari munculnya wacana hari santri ketika Joko Widodo (Jokowi) pada masa kampanye Pilpres 2014 bertemu KH Thoriq Darwis, Pimpinan Pondok Pesantren Babussalam, Banja­rejo, Malang, Jawa Timur, pada 27 Juni 2014 silam.

Dalam pertemuan tersebut, pimpinan Pesantren Babussalam dan Jokowi menandatangani perjanjian yang berisi kesanggupan Jokowi menjadikan 1 Muharam sebagai Hari Santri jika terpilih sebagai presiden. Keinginan dari pimpinan itu berdasarkan permintaan dari pengelola dengan pertimbangan mendalam.

Usai pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla menang dalam Pilpres 2014 dan menjadi Presiden RI, ternyata wacana ini tidak dianggap sebagai janji biasa. Kalangan santri menyam­but hangat serta mendesak Presiden untuk segera menetapkan Hari Santri.

Kemunculan wacana penetapan 1 Muharram sebagai Hari Santri menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat muslim. Ada yang mendukung, ada yang menolak, ada pula yang mendukung namun tidak menghendaki 1 Muharram sebagai Hari Santri.

Bahkan sampai-sampai ada seorang politisi dengan bernada menghina bahwa penetapa hari Santri merupakan ide sinting. Tak pelak, mulai dari tokoh jebolan pesantren dan santri-santri yang masih menimba ilmu pesantren mengecam penghinaan terhadap kaum pesantren.

Selain merasakan kebanggaan, penetapan Hari Santri juga bisa menjadi momentum bagi para santri di seluruh Indonesia agar semakin percaya diri me­nunjukkan eksistensi positif sebagai putera-puteri bangsa.

Setelah wacana Hari Santri mencuat serta menjadi perbincangan publik, Pemerintah pun lantas menyiapkan berbagai hal sebelum menetapkan adanya Hari Santri. Pada 22-24 April 2015 Kementerian Agama me­lalui Direktorat Pen­didikan Diniyah dan Pondok Pesantren melakukan inisiatif melalui Focus Group Discussion (FGD) untuk merumuskan dan mematangkan Hari Santri. FGD ini diikuti oleh perwakilan kementerian, para akademisi, pengasuh maupun pimpinan pondok pesantren serta pimpinan ormas keislaman.

Hasil FGD tersebut kemudian menghasilkan poin-poin rekomendasi yang akan diajukan ke Presiden RI Joko Widodo. Waktu itu peserta FGD menyepakati bahwa tanggal 22 Oktober dinilai relevan untuk dijadikan sebagai Hari Santri. Penentuan 22 Oktober merujuk pada tanggal 22 Oktober 1945 di mana ditetapkannya seruan Resolusi Jihad yang dihasilkan oleh santri-ulama pondok pesantren dari berbagai propinsi di Indonesia yang berkumpul di Surabaya.

Selain kesepakatan dari berbagai unsur umat Islam Indonesia, pertemuan itu juga mendorong agar segera dibuat surat dari Menteri Agama RI kepada Presiden RI, Joko Widodo mengenai usulan penetapan Hari Santri. Setelah proses birokrasi sebagaimana mestinya, akhirnya surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Agama dengan Nomor Surat MA/152/2015 tanggal 23 Juni 2015 tentang Usulan Penetapan Hari Santri.

Surat Menteri Agama tersebut kemudian direspon oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), dengan melakukan rapat bersama sejumlah kementerian/lembaga untuk didengar dan diberikan tanggapan. Sebagai kementerian yang membawahi Kementerian Agama dan sejumlah kementerian lainnya, Menko PMK melakukan koordinasi dan langkah yang tepat agar keputusan yang hendak dicapai oleh Presiden tidak kontraproduktif di masyarakat.

Pada dasarnya, pertemuan yang berlangsung pada tanggal 31 Juli 2015 di gedung Menko PMK itu mendapatkan respon positif dari sejumlah kementerian/lembaga yang hadir. Namun, masukan yang berharga disampaikan oleh Kementerian Sekretariat Kabinet yang menyatakan bahwa untuk menghindari kegaduhan di masyarakat diperlukan adanya pernyataan dukungan secara tertulis dari ormas Islam yang ditandatangani oleh pimpinan setiap ormas, utamanya ormas yang besar.

Hasil pertemuan ini memberikan tantangan dan sekaligus kesempatan bagi Kementerian Agama untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi akan inisiasi Hari Santri.

Dukungan dari ormas itu sangat diperlukan, di samping unuk mengukur sejauh mana tingkat respon ormas dalam inisiasi Hari Santri juga menghindari pro-kontra di masyarakat jika Presiden menetapkan keputusan tentang Hari Santri. Atas dasar itu, Kementerian Agama melakukan pertemuan lanjutan dengan sejumlah ormas Islam.

Kementerian Agama kembali mengadakan FGD melalui diskusi panel yang dihadiri oleh sejumlah Kementerian, utusan ormas Islam, akademisi, pada 15 Agustus 2015 di Bogor. Dalam pertemuan itu, dinyatakan bahwa inisiasi Hari Santri bukanlah inisiasi yang mengada-ada.

Di samping fakta historis akan kontribusi nyata kalangan pesantren dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, juga sebagai bagian dari komitmen seluruh anak bangsa untuk melestarikan pondok pesantren. Oleh karenanya tidak berlebihan jika Hari Santri diusulkan.

Menindaklanjuti hasil FGD Hari Santri yang kedua kalinya itu, Menteri Agama RI membuat surat usulan kepada Presiden RI yang tertuang dalam nomor surat MA/237/2015 tanggal 7 September 2015 tentang Penetapan Hari Santri. Poin penting yang tertera dalam surat itu perlu adanya dukungan kuat sebagai afirmasi pemerintah terhadap pondok pesantren.

Atas pertemuan yang diselenggarakan di gedung PBNU pada hari Jumat, tanggal 2 Oktober 2015, pengurus PBNU segera menyiapkan pertemuan dengan sejumlah ormas yang tergabung dalam LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam). Persiapan hanya dilakukan selang 1 (satu) hari kerja setelah pertemuan tanggal 2 Oktober itu.

Pertemuan antara PBNU dengan sejumlah ormas Islam berlangsung pada hari Selasa, tanggal 5 Oktober 2015 di gedung PBNU dengan dihadiri oleh 13 pimpinan ormas dari undangan 15 ormas Islam. Ke-13 ormas Islam itu adalah NU, Persis, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Mathlaul Anwar, Ittihadiyah, PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), IKADI, Syarikat Islam Indonesia, Al-Washliyah, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Azzikra, PUI (Persatuan Umat Islam), dan Bina Muallaf.

Pada pertemuan itu, seluruh ormas yang hadir menyatakan penting dan mendukung atas rencana Hari Santri. Mereka sepakat untuk mengusulkan agar hari santri ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober merujuk pada lahirnya Resolusi Jihad yang digagas oleh Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari.

Setelah melalui proses FGD 1 dan FGD 2 lalu koordinasi dengan Kemenko PMK dan Kemensetneg, kemudian rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh Menteri Agama melalui Surat Usulan (Permohonan) kepada Presiden Joko Widodo. Pihak Istana Negara kemudian menyetujui lalu menyiapkan Surat Keputusan yang ditetapkan Presiden Republik Indonesia.

Atas pengajuan resmi dari Kementerian Agama ke Presiden RI, sontak banyak masyarakat terutama dari kalangan pesantren yang menyambut gembira proses penetapan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober.

Pasca konsolidasi dengan berbagai pihak, akhirnya kesepakatan 22 Oktober sebagai Hari Santri dapat dideklarasikan oleh Presiden RI di Masjid Istiqlal, Jakarta. Deklarasi ini diikuti oleh ribuan masyarakat terutama kalangan santri-santri pondok pesantren di sekitar Jabodetabek.

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri menjadi babak baru sejarah umat Islam Indonesia. Mulai saat itu, setiap tahun akan diperingati Hari Santri sebagai cermin relasi mutual dan fungsional antara negara dan umat Islam, khususnya kalangan santri.

Demikian proses dan detik-detik sejarah lahirnya Hari Santri yang ditetapkan tanggal 22 Oktober yang merujuk pada Resolusi Jihad umat Islam khususnya kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Leave a Response