Hari-hari di bulan Syawal ini, tak ada momentum Lebaran tanpa menu ayam; opor ayam, ayam goreng, sop ayam, sosis ayam, ayam bacem, sate ayam, kentaki ayam, steak ayam. Dari rumah ke rumah, ayam muncul sebagai menu andalan seolah menyerukan betapa tidak berartinya beban konsistensi kenaikan harga daging ayam menjelang Lebaran.

Bahkan, beberapa orang sengaja mengunggah foto ayam babon ataupun jago peliharaan sendiri dalam kondisi hidup, sehat, dan gemuk ke media sosial sebelum ditentukan ajalnya sehari sebelum Lebaran. Selalu ada ayam dikurbankan untuk menyongsong hari raya.

Meski banyak orang menyuarakan kebosanan makan ayam dan merasa terselamatkan dengan menu sayur alias ijon-ijon, ayam tetap ada di meja makan untuk dipersepsikan dengan lebih religius-kekeluargaan. Jika kita iseng memperhatikan, warung bakso dan mi ayam begitu populer dijadikan ampiran. Orang tetap bisa menerima ayam dalam semangkuk mi ayam karena mi lebih dominan daripada ayam.

Dalam upaya panjang manusia mendomestikasi binatang bertaut dengan penemuan pola hidup bertani, ayam sepertinya yang paling berhasil sosialis dan ekonomis. Hampir setiap rumah bisa membiakkan dalam skala kecil tanpa kerepotan membuatkan kandang atau kesulitan memberi makan.

Secara antropologis, ayam tidak akan terlalu merepotkan pemiliknya karena bukan penyantap-pesaing sumber daya makanan rumah tangga dan cenderung bisa menerima makanan sisa atau mencari makanan sendiri.

Karena alasan inilah, Bill Gates (Thomas L. Friedman, 2018) pernah memberikan rekomendasi pemecahan kemiskinan keluarga, terutama di Afrika. Bersuara dari Amerika yang jelas menjadi industrialis ayam dan daging, Bill Gates memberikan alasan sederhana kenapa keluarga miskin potensial merawat ketahanan pangan dengan memelihara ayam.

Ia mengatakan, “Ayam memberdayakan perempuan. Karena ayam itu kecil dan biasanya tidak pergi jauh dari rumah, banyak budaya menganggap ayam itu ternaknya perempuan, beda dengan ternak lebih besar seperti kambing atau sapi. Perempuan yang menjual ayam lebih mungkin menanamkan kembali labanya untuk keluarga.”

Keluarga-keluarga tanpa jaminan teknologi sosial (uang, asuransi, hukum) ataupun sarana fisik masih memungkinkan “menumbuhkan” makanan dari sekitar rumah yang dikonsumsi sendiri dan selebihnya dijual untuk menyokong ekonomi keluarga.

Memenuhi naluri primordial untuk makan dengan cara kecil menyediakan kandang dan ayamnya, sama pentingnya dengan menyediakan infrastruktur, akses pendidikan, teknologi komunikasi yang menyokong kekuatan dunia.

Naluri (Kebahasaan)

Sebelum ayam dilihat sebagai komoditas ekonomi atau sajian pangan, ada penciptaan tamsil yang sangat bertaut dengan adab agraris. Di desa-desa, ayam-ayam dibiarkan melenggang di halaman-halaman rumah nan luas tanpa pagar. Pemandangan khas saat musim panen, gabah yang dijemur di halaman selalu menyisakan kerumunan ayam siap mematuk biji-biji padi begitu pemiliknya tidak waspada.

Adab agraris juga menyisakan pengajaran bagi anak. Salah satu cerita yang sangat kultural-agraris berjudul “Ayam Djantan” di buku Titian (1950) garapan R.M. Djamain. Ayam adalah sang hidup yang menguasai rasa, suasana, dan waktu, “Dengarlah ia berkokok! Bukan main njaring suaranja. Ku-ku-ku-kuuu! bunjinja. Ayam sebelah mendjawab kokoknja. Ajam lain menjahut pula. Begitulah bersahut-sahutan. Tiap pagi ajam kami berkokok. Ia hendak membangunkan kami. Untunglah, sebab rumah kami djauh dari sekolah!”

Ada pantun penutupan berbunyi, Siapa lekas bangun pagi/ Tentu akan bersenang hati/ Ayam djantan baik hati/ Nanti engkau kuberi padi. Kokok ayam masih seritme dengan waktu tubuh untuk bangun dan mengalami pagi sebelum era industrial lebih menentukan waktu dengan perangkat-perangkat mekanis, seperti jam, jadwal, atau capaian kerja.

Landskap desa terbayangkan begitu karib dengan ayam. Menciptakan romantik masa lalu yang begitu berenergi, mengingat keselarasan hidup, kelambanan, dan hidup belum berorientasi selalu pada material.

Di keseharian kita saat ini masih ada saja kebahasaan yang awet, seperti ujaran “Jangan bangun kesiangan, nanti rezeki dipatok ayam” yang berimperasi pada kerja keras. Saat ibu menyuapi anak, ada bujukan menghabiskan makanan, kalau tidak habis nanti “pitik’e mati (ayamnya mati).”

Penghormatan serius hadir dari butir-butir nasi yang berharga dan ayam yang tidak bersalah harus “menanggung” kematian dari menyia-siakan nasi. Lantas, ayam siapa yang mati? Meski si ibu tidak memelihara ayam, masih ada ayam tetangga, ayam simbah di kampung, atau ayam-ayam yang secara naluriah hadir sebagai hal primordial dari darah kultural kebahasaan. Naluri tetap ada meski kita telah memasuki masa industrial dan gaya hidup urban yang mulai menghilangkan wujud kemakhlukan ayam.

Untuk saat ini yang paling menentukan kehadiran ayam memang industri kuliner. Sepanjang jalan, dari angkringan sampai resto bertataran internasional menu-menu ayam terasa wajib dengan sebutan-sebutan provokatif; ayam geprek, ayam gunting, ceker mercon, ceker duerrrr, ayam setan, ayam goreng tulang lunak, roast ayam dengan saus dan potatoes, chicken hot plate saus keju, sate usus ayam, dan ayam-ayam berbumbu penuh inovasi lainnya.

Bahkan salah satu restoran cepat saji ala Amerika di Indonesia mulai merambah menyajikan kulit ayam goreng yang dijamin kriuk.

Ayam adalah makhluk sosialis-kerakyatan yang lincah memasuki jagat santapan kemewahan. Ritual-ritual kebudayaan sampai keagamaan mempersepsikan dengan kudus dan jagat industri memastikan setiap bagian ayam tanpa terkecuali masuk dalam kepentingan berlaba yang meyakinkan. Selamat Lebaran, selamat hari menyantap ayam.

 

 

 

 

Leave a Response