Sejak kecil mungkin banyak pertanyaan yang bergulir di benak perempuan saat ia menyaksikan cara keluarganya memperlakukan tubuhnya dibandingkan dengan tubuh laki-laki yang sebaya dengannya di dalam keluarganya. Perasaan panik dan takut muncul di hati para anggota keluarganya begitu ia menginjak usia dewasa (baligh) seiring dengan tampaknya tanda-tanda keperempuanan di tubuhnya. Ia mulai dilarang bermain di jalan bersama teman-temannya, dan ia mulai dituntun untuk mengubah caranya dalam bergaul, berpakaian, berbicara, berjalan, dan duduk di tengah-tengah orang banyak.

Tetapi lihatlah, perlakukan keluarganya terhadap laki-laki di keluarganya sama sekali tidak berubah. Laki-laki di dalam keluarganya terus tumbuh dan berkembang seperti dirinya dengan kebebasan yang semakin bertambah dan luas. Sementara ruang kebebasan untuk perempuan di dalam keluarganya semakin diperkecil dan dipersempit.

Ia mungkin tidak akan meminta penjelasan mengenai hal itu kepada siapapun, sebab penjelasan itu sudah tersedia di dalam dirinya seperti nafas yang ia hembuskan setiap saat. Ia tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan membawa tubuh yang dilingkupi berbagai larangan, bahkan dilarang untuk para anggota keluarganya. Ia tidak mungkin duduk dengan santai, kedua betisnya harus dirapatkan satu sama lain, bahkan saat ia tidur.

Ia tidak boleh terlalu lama berdiri di balkon atau teras rumah, tidak boleh lebih dari waktu menjemur cucian, atau menyiram tanaman di taman, atau membersihkan dirinya sendiri di kamar mandi. Keluar rumah harus dengan pengawasan, sehingga ia tidak mungkin keluar rumah setiap hari untuk bertemu dan bermain bersama teman-temannya. Ia harus segera kembali ke rumahnya, tidak boleh lebih dari pukul delapan malam. Segala sesuatu untuknya diawasi dan diatur sedemikian ketat: menit, detik, senti meter, dan bahkan mili meter.

Kenapa begitu banyak pagar yang membatasi tubuh perempuan? Kenapa keluarga begitu takut dan peduli terhadap tubuh perempuan dibandingkan kepada diri perempuan itu sendiri? Apakah tubuh perempuan itu milik dirinya sendiri atau milik ayahnya, ibunya, dan seluruh anggota keluarganya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bisa saja muncul di benak perempuan. Ia takut melihat tubuhnya sendiri bahkan saat ia mandi. Ia begitu takut kehilangan sesuatu yang ada di antara kedua pangkal pahanya yang disebut “selaput darah keperawanan”. Ibu dan ayahnya sangat takut ia kehilangan sesuatu itu dibandingkan jika ia kehilangan kedua matanya, akalnya, atau bahkan nyawanya sendiri.

Siapakah pemilik tubuh perempuan? Apakah tubuh perempuan itu milik dirinya sendiri atau milik keluarganya? Apakah milik negara? Kenapa para pemuka agama tidak berbicara selain soal tubuh perempuan dan menganggapnya sebagai kehormatan dan kemuliaan  (syaraf)? Kenapa hanya tubuh perempuan yang dibelenggu dengan banyak pagar?

Kenapa semua orang kemudian mengabaikannya setelah perempuan menikah kecuali suaminya yang menganggap dirinya sebagai pengampu atau pelaksana wasiat yang telah mendapatkan ‘surat wasiat’ dalam selembar kertas yang ditulis seorang tokoh agama untuk memiliki tubuh istrinya?

Kalau kita mendaku sebagai umat Muslim, mengikuti firman Allah di dalam Alquran, dan mendaku bahwa adat dan tradisi kita diambil dari Islam, sesungguhnya Allah tidak membeda-bedakan di dalam syariat-Nya antara tubuh perempuan dan tubuh laki-laki, sebagaimana juga tidak memberikan wasiat kepada siapapun untuk memiliki tubuh orang lain, dan sebagaimana kita melihat tubuh perempuan sama dengan tubuh laki-laki yang mengalami fase-fase pertumbuhan secara alamiah: bayi, anak kecil, pemuda/i, kemudian tua.

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan [kamu] sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan [kamu] sesudah kuat itu lemah [kembali] dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Mahakuasa,” [QS. al-Rum: 54].

Bahkan dari Alquran kita mengetahui bahwa derajat tubuh perempuan setingkat lebih tinggi dibandingkan tubuh laki-laki, karena ia adalah ‘tangan’ Allah di muka bumi yang bertugas menyempurnakan ciptaan-Nya. Makanya Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua, dan ibu menjadi fokus utama dalam keberbaktian itu.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun,” [QS. Luqman: 14].

“Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah [pula]. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,” [QS. al-Ahqaf: 15].

Bolehkah kita berpikir lebih jauh dan mengatakan bahwa tradisi yang mengharuskan laki-laki untuk menguasai tubuh perempuan lebih dikarenakan rasa iri laki-laki yang begitu mendalam terhadap perempuan, karena derajat tubuh perempuan setingkat lebih tinggi daripada tubuh laki-laki dan Allah menjadikannya sebagai sarana ketuhanan untuk mewujudkan keberlanjutan kehidupan manusia?

Masyarakat kita yang sangat patriarkis, yang terpenjara di dalam hukum-hukum patriarkal, mengklaim perlindungan terhadap tubuh perempuan sehingga meniadakan kemungkinan perempuan untuk diperkosa oleh laki-laki haus seks yang terus-menerus berusaha memburunya seperti hewan buruan yang lemah! Karenanya tubuh perempuan harus selalu dijaga, dilindungi, dan diatur dengan sangat ketat.

Tetapi Allah Swt. di dalam kitab-Nya justru menegaskan bahwa tidak ada wasiat dan penugasan bagi manusia manapun untuk menguasai manusia lainnya di hadapan-Nya, dan bahwa setiap manusia—baik perempuan maupun laki-laki—bertanggungjawab atas dirinya sendiri di hari perhitungan kelak di akhirat, sebagaimana tergambar di dalam ayat-ayat berikut:

“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di dalam surga Firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim,” [QS. al-Tahrim: 11].

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya [masing-masing]. Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari [siksa] Allah; dan dikatakan [kepada keduanya], ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk [jahannam],” [QS. al-Tahrim: 10].

Di dalam ayat-ayat tersebut Allah menjadikan perempuan—baik yang kafir maupun yang beriman—sebagai perumpamaan, bahwa mereka akan dihisab di hari perhitungan atas dasar perbuatan mereka sendiri, bukan atas dasar perbuatan suami-suami mereka. Ini menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk berakal dan punya kemampuan yang bisa mengurus dan mengatur urusan-urusannya sendiri. Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih menjadi kafir atau beriman, di mana masing-masing akan mendapatkan balasannya kelak di akhirat.

Dalam konteks ‘mendekati zina’, misalnya, kita lihat dalam melarangnya Allah tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Allah memerintahkan larangan ‘mendekati zina’ kepada manusia secara umum.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk,” [QS. al-Isra`: 32].

Ketika Allah menetapkan hukuman (hadd) bagi zina, kita lihat hukumannya hanya satu yang dijatuhkan secara adil kepada laki-laki dan perempuan, tidak membeda-bedakan, dan tidak melipatgandakannya bagi suatu jenis di atas jenis yang lain.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [menjalankan] agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” [QS. al-Nur: 2].

Tampak di dalam ayat tersebut Allah memperlakukan manusia yang berzina secara seimbang dan setara antara jenis laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ketika memerintahkan untuk menjaga kemaluan (farj), Allah menjanjikan surga bagi orang yang menjaganya, baik laki-laki maupun perempuan. Karena kemaluan tidak hanya identik dengan perempuan, tetapi laki-laki dan perempuan. Menjaganya bukan hanya kewajiban perempuan, tetapi kewajiban laki-laki dan perempuan. Allah juga tidak menugaskan laki-laki untuk menjaga kemaluan perempuan.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat,” [QS. al-Nur: 30].

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut [nama] Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,” [QS. al-Ahzab: 35].

Dari sekian banyak ayat Alquran yang menjadi pedoman bagi umat manusia di muka bumi kita memahami bahwa perempuan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap seluruh tindakan yang dilakukannya, termasuk tindakan-tindakan spesifik yang terkait dengan tubuhnya. Sehingga tidak akan ada seorang ayah yang akan dihisab karena putrinya berzina, selama ia mendidik atau menjalankan perannya sebagai ayah terhadap putrinya itu.

Tidak akan ada saudara laki-laki atau siapapun laki-laki di dalam keluarga yang dihisab atas dasar dosa yang dilakukan perempuan di dalam keluarga tersebut: perempuan akan berdiri di hadapan Tuhannya di hari perhitungan dengan dirinya sendiri membawa dosa-dosa yang dilakukannya, dan ia punya hak untuk diampuni maupun disanksi oleh Tuhannya.

Jadi, dari mana datangnya pandangan-pandangan yang terkristalisasi di dalam bingkai konsep ‘kehormatan keluarga’ yang seluruhnya mengurung tubuh perempuan? Kenapa bukan laki-laki saja yang menjadi ‘kehormatan’ bagi keluarga? Apakah karena laki-laki tidak mempunyai ‘selaput darah keperawanan’ maka ia boleh melakukan tindakan apapun terhadap tubuhnya semaunya sendiri?

Sebaliknya, apakah karena perempuan mempunyai ‘selaput darah keperawanan’ lalu menjadikannya terbelenggu dengan ikatan-ikatan kehormatan? Lantas bagaimana dengan 30% perempuan yang lahir tanpa ‘selaput darah keperawanan’? Bagaimana dengan hilangnya ‘selaput darah keperawanan’ akibat hubungan-hubungan rahasia atau akibat kecelakaan yang tak ada kaitannya dengan hubungan seksual?

Dan bagaimana pula dengan perempuan yang sesudah menikah lalu kehilangan ‘selaput darah keperawanannya’, apakah ini menunjukkan bahwa ia bebas melakukan aktivitas seksual tanpa ikatan pasca ia menikah?

Jadi, apakah sesungguhnya yang disebut kehormatan (syaraf)?!!

Di dalam Alquran, di bagian manapun, tidak ada kata “syaraf” (kehormatan). Sementara di dalam sejumlah kamus, kata “syaraf” bermakna kehormatan dan kemuliaan dalam hal pekerjaan atau keturunan (nasab). Lalu dari manakah datangnya wasiat yang mengharuskan laki-laki berkuasa mengatur tubuh perempuan? Atas dasar hak apakah mereka boleh mengatur tubuh perempuan dengan dalih menjaga kehormatannya yang merupakan kehormatan keluarga? Apakah seluruh problem kehormatan di masyarakat bisa diselesaikan dengan mengatur tubuh perempuan?

Masyarakat patriarkis tidak benar-benar terdorong menjaga kehormatan profesi, atau kehormatan negara, atau kehormatan tanah airnya dibandingkan dengan keterdorongan mereka untuk menjaga kehormatan mereka sendiri dengan mengatur dan membatasi tubuh perempuan.

Islam merupakan agama yang memulai ajarannya dengan membebaskan perempuan dan hamba sahaya, serta mewujudkan kesetaraan paripurna di antara manusia. Tetapi karena kepentingan sekelompok orang yang tidak mau kehilangan kekuasaannya sehingga mereka kemudian menggunakan dalil-dalil agama untuk melindungi kepentingan mereka sendiri yang menuntut adanya penghambaan (perbudakan) dari perempuan agar menjaga urusan-urusan di dalam rumah tangga tanpa imbalan apapun.

Dalam hal ini mereka lalu membagi perempuan menjadi dua kelompok: pertama, kelompok istri/ibu yang terpenjara di dalam rumah untuk mendidik anak dan melayani suami. Kedua, kelompok pelacur yang menjadi pemuas nafsu seks kaum laki-laki secara bebas.

Kita lihat bahwa keberpegangan masyarakat patriarkis terhadap aturan-aturan patriarkal tidak akan membuat mereka terhormat, karena semua itu tidak bisa membantu kepentingan mereka di mata masyarakat dunia. Sementara memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang setara justru akan membantu mereka menuju masa depan yang bebas dan terhormat, serta membersihkan mereka dari keyakinan-keyakinan sesat berupa penjajahan dan kebodohan yang mengungkung mereka selama berabad-abad.

Sudikah masyarakat kita saat ini bergerak mencapai kehormatan mereka yang hakiki dengan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk menentukan sikapnya atas tubuhnya, dengan keyakinan bahwa ada Tuhan yang akan menghisab setiap amal perbuatan kita kelak di hari akhir?

Leave a Response