Memilih pasangan yang tepat menjadi bagian penting dalam menjalani rumah tangga. Sebab, dalam banyak kasus, ketidakcocokan antara suami dan istri dapat berujung pada konflik, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga puncaknya terjadi perceraian.
Karena itu, jauh sebelum menikah, umumnya setiap orang sudah menetapkan kriteria suami atau istri yang mereka idamkan untuk mengurangi potensi tersebut. Plus, demi meraih kebahagiaan yang dicita-citakan.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah bibit, bebed, bobot. Bibit, secara bahasa, bermakna benih. Dari mana dia berasal, seperti apa garis kuturunannya, dan apa latar belakang keluarga.
Bebed diambil dari kata bebedan yang dari segi bahasa berarti kain yang dipakai. Atau bisa dimaknai pula sebagai penampilan.
Di Jawa, terdapat ungkapan masyhur, “Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana.” Nilai dari hati seseorang bisa dilihat dari perkataannya, sedangkan nilai dari fisik nampak dari caranya berpakaian.
Sementara bobot menekankan pada kualitas diri. Sekurang-kurangnya terdapat 4 kriteria mengenai hal ini. Pertama, jangkeping warni yang berarti lengkapnya warna, yaitu kesempurnaan tubuh, terhindar dari cacat fisik.
Kedua, rahayu ing manah, mempunyai hati yang baik. Inner beauty, dalam bahasa anak muda zaman sekarang. Ketiga, ngertos unggah-ungguh, mengerti tata krama dan sopan santun. Keempat, wasis yang bermakna ulet atau memiliki etos kerja.
Adapun menurut Islam, sebagaimana dinyatakan dalam hadis, terdapat 4 kriteria calon pasangan yang patut dipertimbangkan untuk diajak menikah. Yaitu, kerupawanan (jamaal), harta (maal), garis keturunan maupun status sosial (nasab/hasab), dan agama (diin).
Poin terakhir, agama, diberi penekanan khusus oleh Rasulullah SAW untuk dijadikan patokan utama atau prioritas dalam mencari jodoh, karena dinilai dapat membawa kebahagiaan hidup.
Generasi kelahiran tahun 70-an atau sebelumnya, terutama orang Jawa, sangat mungkin masih mengikuti standar bibit, bebed, bobot. Terlebih jika dari kalangan ningrat, pihak keluarga akan mempertimbangkan betul tiga unsur tersebut.
Bagi keluarga muslim, empat kriteria di atas juga tentu dijadikan bahan pertimbangan sebelum menerima seseorang sebagai menantu. Lantas, bagaimana dengan standar jodoh kaum milenial?
Semula, saya menduga, kriteria jodoh di kalangan generasi milenial tak jauh dari penampilan fisik yang menarik dan kemapanan finansial. Maklum, pop culture, terutama K-Pop, yang demikian besar tentu sedikit banyak punya pengaruh terhadap pola pikir para pemudi. Apalagi di Indonesia, negara yang termasuk memiliki fan base terbesar idol group.
Sampai suatu saat, secara tidak sengaja saya melihat video singkat di Youtube yang tampaknya diambil dari story media sosial seorang tiktoker terkenal bernama Sisca Kohl. Di story itu, Sisca Kohl menjawab pertanyaan tentang tipe pria idamannya.
Ia menyebut lima kriteria lelaki idealnya, antara lain: takut akan Tuhan, seiman, cool, tidak genit dengan perempuan lain, dan sayang kepada dirinya.
Saya lumayan terhenyak ketika mendengar jawaban itu. Sisca, yang notabene termasuk kategori generasi milenial, menyampaikan jawaban yang “tidak biasa”. Pernyataan Sisca seolah mendobrak dinding kelaziman yang berlaku di kalangan gadis sepantarannya.
Ia membuat standar yang menitikberatkan pada aspek religiusitas. Padahal, para gadis sebayanya boleh jadi memiliki ekspektasi tinggi yang berorientasi pada materi dan fisik terhadap calon suaminya.
Kriteria pertama, takut pada Tuhan, dalam sudut pandang Islam, disebut dengan takwa. Ciri orang bertakwa, di antaranya ialah selalu merasa dilihat dan diawasi oleh Allah, sehingga membuatnya tidak berani berbuat dosa.
Saat mendapat masalah, bersegera mengingat Tuhan (QS. Al-A’raf: 201). Sebagaimana orang beriman, ketika menyaksikan kebesaran Tuhan ataupun mendengar ayat-ayat suci, hatinya bergetar dan keyakinannya juga kian bertambah (QS. Al-Anfal: 2).
Terkait kriteria kedua, memilih calon pendamping hidup yang seiman, terdapat penjelasan khusus dari Al-Qur’an. Dalam surah Al-Baqarah ayat 221, Allah melarang lelaki muslim menikahi perempuan musyrik serta tidak membolehkan orangtua menikahkan anak gadisnya dengan lelaki non-muslim.
Di antara alasannya, karena pasangan suami-istri itu berpotensi saling memengaruhi satu sama lain, termasuk dalam urusan keyakinan beragama.
Jika menilik skala prioritas yang dibuat oleh Sisca Kohl yang menempatkan sisi religiusitas pada posisi pertama dan kedua, rasa-rasanya tidak berlebihan bila Sisca dinilai memiliki basis spiritual yang baik. Ia boleh disebut sebagai perempuan “shalihah” dalam versi Kristiani.