Dalam sebuah buku karya KH Husein Muhammad yang bertajuk ‘Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab’, dikisahkan perihal Gus Dur yang kala itu menjabat ketua DKJ. DKJ sendiri merupakan akronim dari Dewan Kesenian Jakarta.

DKJ adalah lembaga yang mewadahi para seniman di ibukota. Secara keanggotaan, DKJ bersifat umum, sehingga, orang yang berjiwa seni, entah dari latar belakang apapun, dapat masuk ke lembaga itu.

Tak heran, jika ada dari sebagian anggota DKJ yang berbuat tak senonoh, aneh, bahkan acapkali bertentangan dengan agama. Atas dasar itulah, seniman, dalam mata kalangan pesantren, seringkali dipandang negatif.

Lalu, tetiba Gus Dur didapuk sebagai ketua DKJ dengan masa jabatan selama 3 tahun (1983-1985). Tentu, jagat NU geger mendengarnya.

Bukan hal tak biasa, seorang kiai, cucu dari pendiri NU, menjadi ketua di lembaga yang dianggap sebagai perkumpulannya ‘orang-orang nakal’. Lembaga yang jauh dari nilai-nilai agama.

Ditambah lagi, sekaligus Gus Dur menjabat ketua DKJ, beliau juga saat itu terpilih sebagai ketua umum PBNU pada tahun 1984. Saat-saat itulah, banyak kalangan pesantren yang menaruh sebelah mata terhadap Gus Dur.

Banyak yang mencemooh dan mengkritiknya. Bukan hanya kalangan biasa, seorang kyai besar pun turut mengkritik Gus Dur.

Bahkan, ada yang mencap Gus Dur sebagai “Kyai Ketoprak”—kerana ikut mengurusi kesenian. Julukan ini, secara tersirat mengindikasikan bahwa Gus Dur dicap sebagai kiai yang abal-abal, tidak pakem dengan dunia keislaman.

Banyak dari tindakan maupun pemikirannya, tak lagi seirama dengan umumnya tokoh NU. Misalnya menjadi dewan juri pada Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1985 di Bandung.

Lalu menyusul sebagai pembuka acara di festival “Malam Puisi Yesus Kristus”. Demikian ini, acara yang membuat Gus Dur dikatakan kafir oleh Habib Jamalullail dari Kernolong Kramat, Jakarta.

Belum usai dengan itu, Gus Dur sudah membikin kejutan lagi dengan statement perihal ucapan salam. Ucapan “assaamu’alaikum”, katanya, boleh diganti dan ditukar dengan ucapan “selamat pagi”.

Menurut Gus Dur, hal itu sama dengan orang Arab menyapa temannya dengan ucapan “ahlan wa sahlan” atau “shabahul khoir”.

Akibatnya, bukan hanya orang NU yang kaget dengan perkataan Gus Dur, hampir semua muslim di negeri ini, merasa terpukul. Mereka lalu menuduh Gus Dur sebagai antek zionis, kaki tangan kaum orientalis, dan pengikut setia sekularisme.

Ditambah lagi, dengan pembelaannya terhadap kaum minoritas seperti masyarakat Tionghoa, membuat banyak pihak yang meragukan keislaman Gus Dur.

Namun, yang perlu diingat, bukan Gus Dur jika tidak nyeleneh. Bukan Gus Dur jika tidak bisa memberikan kejutan.

Beliau adalah tokoh yang multi talen. Beliau adalah seorang santri tulen sekaligus seorang akademisi. Pergaulan yang luas, membuatnya memiliki cara pandang yang holistik.

Hal itu pertanda bahwa Gus Dur memang sosok yang cerdas. Kalau tidak cerdas, mana mungkin seseorang bisa begitu mudah bergaul dengan semua kalangan. Modal sosial seperti itulah, yang membuat banyak orang, merasa nyaman dan membutuhkan Gus Dur.

Salah satu alasan yang membuat Gus Dur tetap keukeuh menjabat sebagai ketua DKJ walau sudah terpilih sebagai ketua umum PBNU, adalah karena secara administratif, beliau lebih dulu terpilih sebagai ketua DKJ ketimbang terpilih sebagai ketua NU.

Hal ini ada kaitannya dengan masalah laporan pertanggungjawaban sehingga tidak bisa langsung meninggalkannya begitu saja. Selain itu, karena juga ada permintaan agar dari orang pesantren ada yang mengurusi para seniman, dan bukan hanya mengurusi pesantren saja.

Nilai positif dari itu, banyak pula para seniman yang mulai memahami agama. Seturut pula penyimpangan-penyimpangan dalam dunia seni, bisa diperbaiki.

Mengurusi seniman memang berat risikonya, tapi sangat disayangkan jika mereka tidak mendapatkan perhatian dari kalangan pesantren. Gus Dur juga sering memberikan ceramah keagamaan kepada para seniman. Alhasil, banyak dari mereka yang menjadi ‘pembela’ Islam.

Misalnya ketika terjadi polemik Salman Rushdie, seorang penulis buku yang berjudul “The Satanic Verses”, yang isinya melecehkan Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Banyak para seniman yang angkat bicara dan mengutuk perbuatan Salam Rushdie.

Misalnya Danarto—seorang pelukis sekaligus sastrawan—mengatakan bahwa sebagai orang yang ber-Tuhan, dia takut kepada-Nya dan tidak akan pernah berbuat seperti yang Salman Rushdie lakukan.

Berkelindan pula dengan ungkapan Syu’bah Asa, seorang esais terbaik, yang berucap bahwa selama umat Islam masih ada, tidak akan mungkin menggambarkan Nabi SAW dan keluarganya seperti yang digambar Salman Rushdie.

Hadirnya Gus Dur sebagai ketua DKJ, memang awalnya tampak aneh. Namun, telah banyak memberikan perubahan yang positif. Para seniman bisa lebih dekat dengan agama.

Terlebih, Islam bukan hanya milik orang pesantren, bukan hanya milik orang-orang saleh. Lebih dari itu, orang bejad sekalipun berhak untuk mendapatkannya. Begitu pula, Gus Dur bukan hanya milik NU, namun, milik semua orang.

Oleh sebabnya, Gus Dur datang ke DKJ, tak lain ialah untuk menghantarkan rahmat Islam agar sampai kepada mereka—para seniman. Gus Dur telah merubah DKJ menjadi lebih islamis dan humanis.

Leave a Response